17 - Gudang Senjata
MEREKA berada di tengah-tengah ruangan dengan lantai marmer biru koral berbentuk lingkaran. Pada seluruh dinding putihnya yang seperti bagian dalam tabung, terpajang berbagai senjata modern. Mulai yang teringan sampai yang paling berbahaya. Sangat lengkap.
"Apa-apaan." Lloyd tak bisa lagi menyembunyikan keterpukauannya. Hatinya melambung takjub, sekaligus marah. "Sejak kapan pihak Haydens membangun tempat ini?"
"Mereka melarang teknologi canggih dan persenjataan," gumam Eiries. Matanya berbinar memandangi seluruh senjata terbaik yang belum tentu dapat dimiliki setiap penduduk. "Omong kosong."
"Setidaknya ini bukan kamar mayat," sindir Ethan, tepat sebelum Lloyd menggebuk pundak anak laki-laki tu.
"Tunggu. Kalau ini tempat persenjataan, di mana anak-anak yang hilang?" Alphia memandang teman-temannya dengan heran.
"Kalian tahu? Bukan hanya siswa yang hilang," kata Ramirez tiba-tiba. "Apa kalian tidak mempertanyakan ke mana kepala sekolah kalian? Mr. Libra Smith."
"Aku ingat dia memiliki urusan genting di luar Haydens," terang Alphia.
"Tentu saja tidak. Dia disekap. Dan beberapa anak lain juga akan disekap sebentar lagi." Ramirez menyeringai getir. "Aku sudah memindai kepala Mr. Kruz ketika kami bertemu di gazebo waktu itu. Dia tahu segalanya. Termasuk tentang organisasi gelap yang memanfaatkan situasi sekarang."
"Kamu-apa?" Lloyd menatapnya tak percaya. Yang lain pun turut menatap Ramirez dengan intens dan waspada. "Memindai?"
Ramirez tersenyum lebar. "Ya. Aku android humaniter pertama. Salam kenal, Manusia."
"Wow, kamu pikir aku akan percaya?" Lloyd bersedekap. "Kami tidak bodoh, Ramirez. Jangan menipu di saat-saat krisis begini."
Sekonyong-konyong, Ramirez menekan bagian pergelangan tangan sebelum menariknya hingga lepas, menampakkan bagian dalamnya yang terdiri dari jaringan kabel rumit dan besi. Alphia menutup mulut saking kagetnya, dan jantung Eiries nyaris mencelus.
Lloyd tercengang, dia menyugar rambutnya ke belakang seperti orang frustrasi yang mendapatkan tugas lebih banyak. "Gila."
Ethan menyipit, sangsi kepada Ramirez. "Lalu, kenapa kamu ke sini dan membantu kami?"
"Aku diutus untuk menyelidiki Haydens setelah datang kabar mencurigakan pada Tuanku. Dan ternyata memang sesuai dugaannya. Organisasi terlarang yang sempat dihapuskan, kini berkembang lagi seperti jamur di bawah batang pohon. Kita harus menyelamatkan penghuni Haydens yang masih murni, atau kalau perlu, melawan organisasi itu."
"Sekarang, mulai dari kalian." Ramirez mengambil salah satu senapan laras panjang modern. "Carilah senjata yang pas untuk berlatih. Setelah itu kalian bisa mengajarkannya pada siswa yang lain. Lalu kita selamatkan mereka yang disekap."
Lloyd, Alphia dan Eiries mengangguk. Mereka mulai menarget senjata yang paling cocok dengan tipe masing-masing. Sementara Ethan masih mendekati Ramirez, menatap matanya dalam-dalam. Iris zamrud yang cemerlang itu benar-benar seperti mata manusia asli. Dan Ethan tahu, siapa yang paling berbakat untuk merekayasa hal seperti itu.
"Kutebak, yang membuat dan menugaskanmu adalah Profesor Whittaker?"
"Ya."
"Apa kamu hanya ditugaskan menyelidiki Haydens?"
Ramirez menyeringai. "Tentu saja untuk melindungi anaknya juga."
"Harusnya tidak perlu," ketus Ethan. "Aku bukan anak kecil lagi. Dia harus memahami itu."
"Dia hanya menyayangimu."
Ethan menghela napas. Sekali lagi dia memandang Ramirez, menggelengkan kepala sangat heran, sebelum ikut memilah senjata yang akan dia gunakan. Sementara di sisi lain ruangan, Eiries berusaha menjangkau sebuah busur dan panah elektrik di gantungan teratas. Namun, seseorang lebih dulu mengambilkan untuknya. "Kamu sangat gesit dan cekatan, tapi kurang tinggi. Itu mengapa kamu kalah melawanku."
"Aku tidak kalah karena kurang tinggi." Eiries mengerutkan kening, mulai memasangkan panah pada busurnya dengan cara yang praktis.
"Sejujurnya, kamu sangat mengesankan. Sekaligus menjengkelkan. Dan kasus yang terjadi belakangan membuatku berpikir tentang seorang penyusup."
"Alphia juga berpikir begitu."
"Yeah. Tapi, dia tentu tidak mengira jika itu kamu." Lloyd meraih sebuah senjata api, membolak-balikkannya. "Aku hanya ingin bilang. Andaikan tentara Endsburg menemukan Haydens, itu tidak sepenuhnya salahmu."
Eiries tertegun, mendapati Lloyd bersikap aneh. Tapi, itu sebelum Lloyd melanjutkan kalimatnya.
"Tidak sepenuhnya salahmu, tapi kamu bertanggung jawab." Lloyd berbisik dengan tajam di telinga Eiries. "Camkan itu."
[]
Memang seharusnya masa tenang sudah meninggalkan Haydens sejak lama. Tidak sesuai dugaan mereka, tepat keesokan harinya anak-anak kembali heboh. Salah satu siswa hilang untuk kali ketiga. Beberapa senior mulai bicara lantang dan menuntut para guru. Suasana di Haydens semakin pelik sampai ketika musim dingin tiba, merubah Haydens semakin suram.
"Tidak ada waktu berlatih," kata Lloyd gusar, ketika di ruang makan pada siang itu anak-anak semakin menjadi emosinya. "Kita harus segera menyelamatkan mereka yang hilang dan menghabisi organisasi brengsek itu."
"Aku sedang mencari tahu letaknya," terang Ramirez. "Tidak mudah jika kamu harus memindai isi kepala orang, sementara dia tidak memikirkan apa yang ingin kamu tahu."
"Ramirez dan Eiries juga tidak boleh sampai dicurigai." Alphia merenung sejenak. "Itu pasti akan menyusahkan gerak kita selanjutnya."
"Kita harus bergerak cepat, tapi halus." Ramirez memandang mereka dengan serius. "Sebentar lagi aku akan mengetahui tempat mereka."
Meski keadaan di Haydens sedang genting, kelas-kelas tetap dilaksanakan seperti biasa. Yang berbeda hanyalah sesekali akan ada orang yang memprotes soal lambatnya kinerja para guru, atau mempertanyakan keamanan di Haydens. Terkadang, hal seperti itu memicu konflik yang besar jika dihadapkan pada guru yang temperamental.
"Argh, otakku tidak bisa bekerja sekarang." Eiries menyugar rambutnya dan berbaring di lantai gazebo yang dingin. Dia melihat butiran salju yang telah turun sejak beberapa hari lalu, tiba-tiba menggigil. Eiries merapatkan mantelnya.
"Aku tahu semua ini berat. Tapi, guru kita hanya memberi soal hitungan aljabar. Kita sudah mempelajarinya di sekolah dulu," tutur Alphia.
"Gila saja masih ada pelajaran ketika siswanya hilang satu persatu," gerutu Eiries. "Haydens benar-benar berubah dari ekspektasiku yang pertama."
"Memang," sahut Alphia. "Setidaknya, kita diberikan kebebasan untuk memilih tempat belajar. Para senior itu sungguh penuntut ulung." Alphia melirik ke jalan setapak di sekitar gazebo, saat seorang pria sedang berjalan mendekat. Rambut auburn-nya sangat kontras dengan butiran salju putih, dan netranya yang beragam tampak redup. Dia terperangah melihat dua gadis sedang mengerjakan tugas di sana.
"Oh, Anak-anak," ujar Mr. Kruz. "Kenapa tidak ke kelas?"
"Kami ingin udara segar," kata Eiries.
"Benar sekali." Mr. Kruz naik ke gazebo dan ikut duduk, menghela napas. "Belakangan ini saya sangat stres. Kasus berat yang tahu-tahu terjadi, tuntutan para siswa, dan perdebatan di antara guru."
Eiries dan Alphia saling menatap, diam-diam mengaktifkan Zapt.
"Bukankah Mr. Kruz yang mengetahui segalanya?" tanya Eiries.
"Ya. Ramirez bilang begitu," jawab Alphia.
"Dia tersangka paling kuat," kata Eiries.
"Apa kalian sedang bersamanya?" Ramirez terhubung. "Di mana?"
"Gazebo di belakang gedung asrama," jawab Alphia.
"Kalian pasti juga lelah," kata Mr. Kruz, otomatis membuat Alphia tersentak dan berusaha terlihat normal. Aku tidak baru saja bicara dengan orang lewat pikiran, batinnya. "Ya, lumayan."
"Saya jadi ingin membuat sajak lagi," Mr. Kruz berdeham, "sudah tiba musim dingin, membawa salju dan keceriaan, tapi di satu sisi harus ada pertumpahan darah, kini kita melihat danau yang beku, danau merah."
Seorang anak laki-laki bersyal hijau mendekati gazebo mereka. Dari kejauhan, Alphia sudah tahu bahwa itu Ramirez karena rambut pirang emas dan mata zamrudnya yang sangat terang. "Hei," sapanya.
"Oh, ada lagi," Mr. Kruz tersenyum, "kalian jadi gemar belajar di sini, ya."
"Ini tempat yang bagus," balas Ramirez. Dia duduk dan mengambil posisi yang nyaman-tentu saja untuk memindai kepala Mr. Kruz. Selama pembicaraan mereka, Alphia kerap memerhatikan gelagat Ramirez. Teringat ketika mereka pertama kali bertemu.
Alphia baru sadar. Ramirez adalah android tercerdas yang pernah diciptakan Profesor Whittaker. Dia pandai berpura-pura dan mengecoh. Bahkan, Ramirez sempat membuat Alphia salah mengiranya sebagai anak laki-laki sungguhan. Ketika pertemuan mereka berakhir, Ramirez tersenyum getir. Aku sudah tahu di mana, katanya melalui Zapt, serta-merta membuat jantung Alphia, Eiries, Lloyd dan Ethan berdegup tak sabar.
Orang-orang terkurung di bawah kaki kita.
[]
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro