Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

15 - Kepanikan di Haydens

DERAP langkahnya gusar. Keringat dingin mengucur dari pelipisnya, napas tersenggal-senggal. Dia sudah muak dengan semua ini. Dan dia ingin, semua orang mengetahuinya. Favre memasuki ruang makan dengan membanting pintu dan mendapat perhatian orang-orang. Hening menjalar.

"Ada mayat siswi Haydens di pembuangan sampah belakang!" pekik Favre. Semua anak terkejut dalam sentakan napas cepat. Sedetik kemudian, Taylor menangis sampai menjerit-jerit. Menyebut nama temannya yang telah lama hilang. Jeanette.

Guru-guru yang sedang berada di sana serta merta bangkit, bergegas mendatangi Favre yang menunjukkan jalan. Mr. Tarence terus mengerut sepanjang jalan, berpikir bahwa dia telah memastikan semua sudut Haydens aman. Mr. Kruz memberi isyarat kepada para siswa untuk tenang, lalu mengarahkan guru lain agar mengosongkan kelas pagi itu. Mrs. Huffle menuntun para siswa untuk kembali ke asrama masing-masing dan tidak melipir ke mana pun.

Jantung Alphia berdebar. Dia saling tatap dengan Eiries, merasa hati mereka terusik oleh banyak prasangka terburuk. Alphia sempat melihat Ramirez, tapi anak laki-laki itu bahkan tak mengacuhkannya. Dia memiliki aura yang berbeda dari biasa. Raut wajah Ramirez tegang dan serius, sepertinya banyak pikiran, ketika dia berlalu menuju asrama laki-laki. Alphia tak menemukan Ethan atau Lloyd.

Di antara kerumunan anak perempuan yang bergegas, Alphia menabrak seseorang. Ternyata Taylor yang berjalan terhuyung-huyung seolah nyawanya sudah mau lepas. Eiries membantu Alphia memapah Taylor. "Kamu bisa tinggal bersama kami dulu untuk sementara," kata Alphia.

Air mata Taylor semakin deras bercucuran sepanjang jalan. Sampai saat mereka tiba di kamar, Taylor duduk di kasur, Alphia mengusap pundaknya di sebelah. Eiries tertegun di seberang mereka. Kamar sempit itu kini diselimuti kesuraman yang kentara.

"Semua ini gara-gara aku, kalau saja aku tidak membiarkannya pergi sendiri. Ini tidak akan terjadi." Taylor terisak. "Apa yang harus kukatakan pada ibunya nanti? Aku bahkan tak bisa membayangkan wajahnya ... uh ...." Taylor menangkupkan kedua tangan di wajah, kembali membanjirinya dengan tangisan.

"Kami juga sedang menyelidiki kasus Jeanette," kata Eiries. "Kamu akan sangat membantu jika bisa menceritakan kronologinya."

Taylor menyusut ingus. Mengelap air matanya dengan tisu yang disodorkan Alphia. "Dari awal, dia bilang ada yang membuntuti. Kupikir itu hanya perasaannya karena belum terbiasa dengan suasana Haydens yang remang waktu malam. Terakhir kali kami bertemu, dia seperti mabuk. Katanya, dia seperti menghirup sesuatu yang membuat ngantuk. Aku ... masih tidak menganggapnya serius. Sampai ketika dia ke toilet saat sedang kelas, dia tak kembali."

Eiries terpekur, berusaha memahami alur yang disampaikan Taylor. Menghubungkannya dengan kejadian di balkon gedung pengajaran. Mayat itu perempuan, pikir Eiries. Jeanette. Kepalanya mendadak pusing, seperti tidak mampu untuk menampung berbagai informasi yang mengerikan itu.

"Sekarang, kita bisa bersama bertiga," kata Alphia. "Kalau kamu hendak pergi, jangan pernah sendiri, oke?"

Taylor tercenung menatap Alphia dan Eiries bergantian. Kemudian menunduk. "Aku sungguh minta maaf. Kalau selama ini aku pernah menyinggung kalian. Aku tahu tak seharusnya begitu. Maafkan aku."

Alphia mengulum bibir. "Tidak apa-apa, itu sudah berlalu. Sekarang ada hal lebih besar yang harus kita hadapi bersama."

[]

Kelas-kelas masih berjalan untuk hari itu, namun terbatas pada kelas Indoor. Sementara sebagian guru yang penting mengadakan rapat urgent sambil terus melacak pelaku. Alphia tidak bisa fokus memerhatikan teori Fisika yang dibawa gurunya, dan dia yakin semua anak begitu. Bagaimana tidak? Ada mayat di sekolah mereka!

"Teman-teman."

Gadis itu tersadar dari lamunannya ketika dia mendengar suara Ramirez. "Ada apa?"

Lloyd menyela, "Kita terlambat memeriksa ruangan itu. Seharusnya tidak kita tunda."

"Tidak. Ruangan itu tidak ada hubungannya dengan kematian Jeanette," tutur Ramirez. "Salah satu atau dua dari kita akan menjelaskannya. Silakan."

Alphia terkesiap. Dia melirik Ramirez yang balas menatapnya. Mengangguk. Alphia menelan ludah. "Aku dan Eiries pergi ke balkon gedung pengajaran setelah jam malam. Di sana ada ritual sekte yang aneh. Orang-orang itu menggunakan mayat manusia untuk diambil darahnya."

Lloyd terperangah, seolah sebagian dirinya ingin mendustai pernyataan itu. "Siapa mereka dari suaranya?"

"Tidak tahu, apakah itu guru atau siswa. Tapi di sana ada perempuan dan laki-laki," jawab Alphia.

"Kemungkinan besar, merekalah dalang di balik kematian Jeanette," imbuh Eiries.

"Aku memilih diam," pungkas Lloyd. Lidahnya sudah kelu. Dia tak pernah membayangkan keberadaan organisasi gelap seperti itu: sekte yang menyembah sesuatu dengan tumbal manusia. Sungguh biadab. Seharusnya kejadian seperti ini sudah musnah puluhan tahun lalu sejak pola pikir modern menghampiri setiap kepala. Oh, bagaimana dia bisa lupa? Lloyd memijat pangkal hidungnya. Haydens berada di Scramton, Bodoh, pikirnya. Dan Scramton termasuk yang mempertahankan tradisi mereka.

"Lalu, bagaimana dengan ruangan di perpustakaan itu?" tanya Ethan. "Sudah ada yang memeriksanya?"

"Belum terlalu jauh," tanggap Lloyd.

"Kita akan ke sana segera setelah kondisi agak stabil," titah Ramirez. "Tidak boleh lagi ditunda."

"Oh, tunggu." Alphia mengernyit heran saat menyadari sesuatu. "Bagaimana kamu tahu kami ke sana, Ramirez?"

Anak laki-laki itu tersenyum simpul. "Sejujurnya, aku tahu apa pun."

[]

Keadaan masih tegang untuk seharian itu, meski Jeanette telah dimakamkan dengan layak di tanah subur wilayah utara Haydens, dan para siswa dialihkan dengan kegiatan kelas. Tapi, siapa yang dalam ingatannya tidak berbekas ketika Favre datang ke ruang makan pagi itu? Tak lama lagi, kejadian itu bisa berubah sebagai awal sejarah kelam pada tahun pertama mereka di Haydens.

Keesokan harinya, hujan mengguyur sepanjang sore yang gelap, baunya menguar hingga ke lantai tiga di kamar Alphia. Gadis itu menghela napas, mulai meragukan keberadaannya di Haydens dan keamanan setiap anak. Mr. Tarence adalah ketua keamanan Haydens. Sayang sekali dia termasuk orang yang gampang meremehkan sesuatu. Itu bisa jadi celah besar untuk hal-hal berbahaya yang tak diinginkan semua orang.

"Pernahkah kamu berpikir jika Haydens kedatangan penyusup?" tanya Alphia.

Eiries mengangkat bahu. "Entahlah. Mereka bilang, kubah translusens itu cukup ampuh. Sejauh ini, kita juga tidak lagi mencolok jika dideteksi dari peta digital. Begitu yang dikatakan Mr. Tarence."

Zapt kedua gadis itu berbunyi bip. Tanda seseorang sedang mengaktifkannya.

"Bagaimana kalau kita lihat sekarang?" tanya Ramirez. "Kondisinya sudah agak aman. Ini lebih baik daripada kita menganggur di kamar setelah kegiatan ekskul libur."

"Aku dan Ethan bisa. Kami pergi lebih dulu agar kita tidak bergerombol," kata Lloyd.

"Kami menyusul," tutup Alphia. Dia dan Eiries segera memakai jaket dan sepatu, lalu turun ke bawah. Lorong-lorong di gedung asrama sunyi senyap. Sebagian besar siswanya memilih beristirahat setelah menjalani hari yang berat belakangan ini. Hujan yang dingin seperti tanda bahwa mereka lebih baik tinggal di kamar, bergemul dalam selimut yang sangat langka. Sebelum besok, dan seterusnya, kembali berlatih keras menjadi prajurit gagah.

"Hei," sapa Ramirez ketika mereka bertiga berpapasan. "Hari ini Haydens sangat lengang."

"Yeah. Tidak banyak yang ingin mengurangi waktu istirahatnya untuk berburu misteri." Eiries tertawa hambar. "Kurasa kita anak-anak unik."

"Atau sial," Ramirez tertawa, "tidakkah kalian berpikir kenapa kalian yang harus mengetahui soal pintu rahasia itu? Kenapa tidak anak lain saja?"

"Tidak," kata Alphia. "Memangnya, kenapa kalau kita?"

"Artinya, itu takdir kalian." Ramirez mengangguk. "Hanya takdir yang tidak bisa dijelaskan secara logis karena itu di luar kendali manusia."

Mereka tiba di depan pintu ganda perpustakaan yang terkunci rapat. Di sana juga sudah menunggu, Lloyd dan Ethan, sambil membicarakan sesuatu. "Mrs. Huffle ingin jatah libur," kata Lloyd datar. "Kita bisa datang besok."

"Di mana dia tinggal?" tanya Alphia. "Mungkin kita bisa meminjam kuncinya."

Ethan tertawa. "Jangan harap."

"Guru-guru tinggal di asrama guru. Gedung kecil di antara gedung asrama siswa," kata Ramirez. "Sepertinya memang harus besok."

Sebuah siluet muncul dari tikungan selasar disertai derap langkahnya yang tegas. Mr. Tarence melotot saat menjumpai anak-anak homeroom-nya berkeliaran di waktu itu. "Apa yang kalian lakukan? Ayo, kembali ke asrama. Bubar! Bubar."

"Di sana menjemukan," celetuk Ethan.

Mr. Tarence menggeleng geram. "Saya tidak peduli jika itu menjemukan atau apa pun. Saya hanya ingin tidak ada korban lagi. Makanya, saya himbau agar kalian tidak menjelajah ke mana-mana. Para guru sedang mencari tahu jika terdapat penyusup di Haydens."

"Menurut Anda, bagaimana bisa penyusup masuk?" pancing Lloyd.

"Bisa dengan apa saja. Jika dia dari negara luar, ada banyak teknologi canggih."

"Oh," Lloyd manggut-manggut, "saya pikir karena ada kelonggaran sistem keamanan."

"Sebaiknya kalian kembali," kata Mr. Tarence lagi. Dia mulai emosi jika ada orang yang menyebut-nyebut kinerjanya selama ini. Sungguh sensitif.

[]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro