Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

14 - Balkon Gedung Pengajaran

DI SELASAR gedung menuju ruang makan, lampu-lampu meredup. Eiries heran mengapa pihak sekolah tidak menggantinya dengan yang lebih terang. Ini membuat Haydens seakan-akan sekolah kuno ketinggalan zaman. Tapi, seharusnya tanpa Alphia begini, Eiries tak perlu cemas. Meskipun dia berangkat sendiri karena mengambil gadget yang teringgal, toh tidak akan ada yang membahayakannya di jalan.

Namun, pemikiran itu terusik seketika ketika Eiries merasakan keberadaan seseorang di belakangnya-

Dia mencengkeram tangan orang itu dan hendak membantingnya, sebelum Eiries tahu bahwa dia tidak kuat. Jantungnya berdegup-degup.

"Refleks yang bagus," kata Lloyd. Mendengar suara yang dikenalnya, Eiries menghela napas. Dia masih agak trauma dengan kelas Mr. Latriel. Akhirnya mereka jalan beriringan menuju ruang makan. "Dari awal, aku lihat kamu lebih tangkas dari yang lain. Apa betul ini tahun pertamamu di Haydens?" tanya Lloyd.

"Yeah. Untuk apa aku mengulang?" Eiries heran.

"Tidak. Kamu seolah-olah sudah pernah menjalani pelatihan militer sebelum ini."

"Itu di khayalanmu."

"Dan soal buku itu, aku masih menyimpannya. Buku tebal ratusan halaman, tapi kosong. Buku itu membuka jalur rahasia di perpustakaan. Kamu sungguh tidak tahu apa-apa?"

"Mengapa aku harus berbohong?"

"Jujurlah, Eiries."

"Aku tidak-"

Lloyd menahan pundak Eiries dan menerawang tembus ke matanya cukup lama. Seperti mencari sesuatu yang terpendam di sana. Eiries terkejut. Dia menepis tangan Lloyd dengan kasar. "Apa-apaan!?" Eiries yang jantungnya sedang bertalu-talu, segera pergi lebih dulu meninggalkan Lloyd yang terpaku.

Seharusnya kamu tidak menyembunyikan apa pun dari kami, pikir anak laki-laki itu.

[]

Di sela-sela sesi makan malamnya, Alphia kerap melirik Eiries. Gadis itu makan dengan lemas dan wajahnya terus tertekuk. Merengut. "Ada apa?" tanya Alphia.

"Seseorang yang aneh menggangguku."

"Apa sangat parah?"

Eiries mengangkat garpunya. "Ya. Ya, sangat parah."

"Kalau ada Ramirez, dia tentu akan mengusir pengganggu itu. Sayang sekali Ramirez tidak ke ruang makan karena tidak lapar--katanya." Alphia kembali membaca ekpresi Eiries yang menunjukkan emosi buruk. Sepertinya Eiries butuh dihibur. "Hei. Aku tahu tempat yang keren. Apa kamu mau ikut?"

"Tempat apa?"

"Melihat panorama bagus. Kamu tahu, langit dari Haydens sangat menjemukan. Tapi, kata Ramirez, pemandangan akan berbeda dari atas balkon gedung pengajaran."

"Kapan kita ke sana?"

"Setelah ini?"

Eiries berpikir sejenak. "Bukankah gawat kalau kita kepergok Mrs. Huffle sedang berkeliaran di atas pukul sepuluh?"

"Kita tidak akan kepergok. Ikuti saja aku."

Kedua gadis itu menyelesaikan makan malamnya, dan dengan tak sabar beranjak menuju gedung pengajaran. Ketika orang-orang sibuk dengan urusan sendiri, tidak ada yang melihat mereka menyelinap. "Kata Ramirez, tidak ada guru berpatroli di selasar yang ini. Dan di sini, ada tangga ke atas. Menyenangkan, bukan?" bisik Alphia.

Undakan demi undakan tangga mereka lalui hingga akhirnya tiba di puncak. Mereka naik ke balkon yang sangat luas itu dan terpukau dengan taman kecilnya. "Kita tak pernah tahu ada tempat bagus di Haydens," ujar Eiries, menyentuh salah satu rumpun bunga.

"Benar," Alphia merapatkan syalnya. "Lihat, Eiries." Dia mendongak ke langit gelap yang bertaburkan bintang. Berkemilau seperti serpihan-serpihan kaca angkasa. Alphia dan Eiries duduk lantai keramik, bersama-sama menikmati panorama itu.

"Selama di Haydens, aku melupakan keindahan. Yang kupikirkan hanyalah menjadi kuat, kuat dan kuat. Seperti prajurit. Meskipun pada kenyataanya aku tak pernah bisa," tutur Alphia.

"Apa menurutmu kita seperti dituntut?"

"Aku ... tak tahu. Maksudku, tidak ada dari kita yang mengira atau mengharapkan agresi Endsburg. Dan bagaimanapun juga, Adargan butuh lebih banyak bantuan agar bisa mengalahkan negara kuat itu."

"Tapi, apakah kamu pernah berpikir ini adil atau tidak bagi kita?"

"Adil adalah ketika setiap pihak mendapatkan apa yang sesuai dengan mereka, bahkan jika saling berbeda. Dulu, menjadi prajurit perang mungkin tidak sesuai denganku. Tapi sekarang, ini satu-satunya jalan agar aku bisa bermanfaat bagi orang banyak. Dan itulah keinginanku."

"Apakah harapanmu hanya itu?"

"Tidak, tentu saja." Alphia mengulum senyum. "Harapan terbesarku adalah bisa pulang dengan selamat. Bersama keluargaku. Hanya itu." Samar-samar, Alphia mendengar sesuatu. Seperti derap langkah beberapa orang.

"Sembunyi!" bisik Eiries sambil mengendap ke belakang pot raksasa yang ditumbuhi pohon hias. Alphia turut berjongkok di sebelahnya, dengan jantung berdebar menunggu kejadian berikutnya.

Pintu balkon menjeblak terbuka, orang-orang berjubah hitam keluar dari sana. Ada satu, dua, tiga ... sampai tujuh orang. Sebagian membawa lilin dengan suram, sebagian menggeret seonggok tubuh. Eiries terbelalak. Alphia nyaris menjerit kalau dia tidak menutup mulutnya sendiri. Lututnya bergetar dan semakin lemas. Orang-orang membuat lingkaran dan meletakkan mayat manusia itu di tengah.

"Teknologi sudah mati. Tidak ada yang lebih aman dari waktu-waktu ini."

"Semoga Haydens selalu bertuah."

"Kita mulai ritual kedua untuk akhir tahun."

"Tunggu. Bukankah kita sepakat tidak menjadikan manusia tumbal--lagi?"

"Apa Anda tidak ingin mereka senang? Di mana rasa terima kasih Anda?"

"Tapi, kita bisa terancam."

"Semua akan baik-baik saja."

"Ya. Saya tidak keberatan."

"Baiklah."

Mereka mulai menggores lengan mayat untuk kemudian ditampung darahnya, digunakan untuk tahapan-tahapan ritual. Alphia tidak sanggup untuk menyaksikan itu semua. Dia menangis tanpa suara, seluruh tubuhnya terguncang. Eiries mengepalkan tangan, sepertinya akan putus asa jika mereka sampai ditemukan. Kedua gadis itu saling mendekap dan menguatkan.

Bertahan.

Di antara suara-suara suram yang merapalkan mantra aneh. Di antara bunyi pisau yang berdecit. Sampai ketika dini hari menjelang, kegiatan sakral itu selesai. Orang-orang berjubah hitam membubarkan diri dalam keheningan. Meninggalkan Alphia dan Eiries yang meringkuk, bersembunyi dalam ketakutan yang tak pernah terbayang.

[]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro