Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

13 - Percobaan Pembunuhan

KELAS Outdoor atau kelas yang berat biasanya mengambil jam pagi ketika anak-anak masih sangat segar, tapi entah kenapa, kelas Mr. Latriel diadakan pukul empat sore. "Kuharap kalian tidak mengantuk, karena ini akan menuntut kefokusan ekstra," katanya. "Kalian akan masuk ke gedung utama per tiga kelompok, tujuannya adalah bekerja sama sebaik mungkin sampai tiba ke balkon teratas secara utuh. Tantangannya berada pada kemampuan kalian mencari jalan, bersaing dengan kelompok lain, dan selamat dari penyerang. Gedung juga akan berfungsi mengubah cuaca, sebagai simulasi bagi kalian ketika harus berperang pada musim apa pun."

"Siapa yang menjadi penyerang?" tanya Favre.

Mr. Latriel tersenyum. "Tentu saja aku. Jika kalian melihatku, jangan berpikir untuk bertanya atau meminta tolong. Di dalam sana, aku akan berperan sebagai komandan tentara Endsburg."

"Gunakan kelompok yang ditentukan guru homeroom kalian sejak hari pertama. Sekarang bersiaplah, karena kalian tidak dibekali senjata apa pun. Hanya otak dan keselarasan sesama anggota kelompok."

[]

Alphia ingat, di gedung utama terletak aula tempat mereka disambut ketika tahun awal. Gedung itu seharusnya lapang, tapi sekarang sudah diberi sekat menjadi gabungan ruangan-ruangan seperti labirin. Karena akses cahaya telah sepenuhnya ditutup, mereka harus menggunakan senter yang melingkar di pergelangan tangan seperti arloji.

"Triknya adalah jalan terus, tapi waspada untuk setiap hal," kata Ramirez. "Dan jangan terlalu banyak berpikir."

"Kita punya seseorang yang tidak suka banyak berpikir," Lloyd menyindir Eiries yang hanya diam merengut.

"Oh, bisa 'kan kita hindari pertengkaran di sini?" tutur Alphia. "Ayolah."

Ethan meninju punggung Lloyd. Anak laki-laki itu meringis. "Aw. Baiklah, baik."

Kelompok kecil mereka mulai bergerak melewati beberapa ruangan dengan nuansa aneh yang merinding. Udaranya pun semakin dingin karena hari sudah sore. Alphia punya firasat jika kelas Mr. Latriel akan menabrak malam, atau ditunda besok. Tentunya yang kedua itu membuat kegiatan mereka tidak menarik lagi. Barisan mereka tersusun dari yang terdepan: Ramirez dan Ethan, lalu Alphia dan Eiries. Lloyd menjaga di belakang.

"Apakah hanya aku atau udaranya semakin dingin?" Ethan mengusap kedua tangannya. Napasnya mengeluarkan kepulan uap. Memang benar bahwa suhu di sana turun belasan derajat, bahkan Alphia mulai susah bernapas. Mereka bergegas melewati ruangan-ruangan untuk mencari tangga, sampai menemukan sebuah rak berisi mantel yang terbatas.

"Kita ambil itu," titah Ramirez.

Namun, tepat ketika mereka hampir meraihnya, kelompok lain tiba. Seorang anak laki-laki jangkung merengut. "Itu-milik-kami."

"Tidak bisa. Teman kami sangat membutuhkannya," tolak Ramirez. Ia sesekali memerhatikan Alphia yang mulai sakit, meski gadis itu sudah berjuang sebisanya agar tetap kuat.

"Kalau begitu, yang menang akan dapat," kata gadis dari kelompoknya.

"Tidak." Ramirez segera berlari mengambil mantel seperlunya dan melemparnya pada Ethan-sebelum meladeni tinjuan dari lawannya. Lloyd dengan cekatan memimpin kelompok mereka pergi ke ruangan selanjutnya, tapi dicegah. Tanpa banyak bicara, Lloyd menyingkirkan anak-anak itu dengan mudah agar mereka bisa lewat. Eiries juga sempat menangkis beberapa serangan, begitu pula Alphia.

"Ramirez," kata Alphia.

"Dia akan menyusul," tanggap Lloyd. Ketika beberapa ruangan terlewati, Ramirez akhirnya muncul. Tanpa sedikit pun napas yang tersenggal atau luka. Dia bilang, kelompok itu hanya sangat ketakutan, bukan benar-benar jahat. Ramirez sudah menyelesaikan masalah mereka.

"Tangga pertama," seru Eiries. Mereka bergegas naik dan tiba di ruangan yang lain. Alphia sudah lumayan bisa bernapas, tubuhnya tidak semenggigil tadi setelah memakai mantel itu.

"Kanan atau kiri?" tanya Lloyd. "Aku percaya kanan."

"Kalau begitu, kanan," jawab Ramirez.

Lorong-lorong yang mereka lewati dalam gelap memang sangat mencekam. Sesekali akan terdengar derit pintu atau benda jatuh di antara keheningan total. Bagi Alphia, hal-hal seperti itu sangat menganggu. Mereka melintasi ruangan yang beragam, berkelok beberapa kali, sampai menemukan perempatan.

"Ini mulai menyebalkan," rutuk Ethan. "Aku tidak suka memilih."

Tapi, sebelum mereka kembali bergerak, derap langkah berat terdengar dari salah satu ambang pintu. Kelima anak itu bersiaga, hingga sebuah sinar laser melesat cepat-mereka terkesiap. Tiga android rekaan muncul dengan senapan laser. Mr. Latriel ada di belakangnya.

"Tidak sekuat yang asli, tapi ini lumayan. Jadi, berhati-hatilah." Mr. Latriel terkekeh sebelum beranjak pergi. "Aku akan mencari kelompok yang lain."

Lloyd berdecak kesal. Mau tak mau, mereka harus menghadapi android palsu itu atau akan diteror sampai akhir. Eiries yang pertama kali menerjangnya, membengkokkan lengan android rekaan dan menendang senapan lasernya. Ramirez juga menghancurkan kepala android rekaan itu, Lloyd membantingnya. Ethan dan Alphia bertugas mencari jalan aman bagi mereka, kemudian memimpin di depan setelah ketiga android rekaan rubuh.

"Buang-buang energi saja," ketus Lloyd. "Dan sekarang semakin panas."

Sambil berjalan, mereka membuka mantel dan melemparkannya ke ujung ruangan. Ethan mendesah, melonggarkan kerah seragamnya. "Benar. Kita harus pergi dari lantai ini secepanya atau aku akan meleleh."

"Tangga!" pekik Alphia. Mereka beranjak lega dan bergegas. Namun, terdengar keributan di lantai tiga itu. Alphia terperangah.

Ada android rekaan yang sedang memukul Favre yang terpojok dengan senapan lasernya. Ramirez langsung menghajar android rekaan itu secara intuitif, begitu pula Lloyd dan Eiries yang menolong anggota lain kelompok itu. Alphia membantu Taylor yang sudah hampir menangis.

"Apa yang terjadi? Kenapa kalian kalah hanya oleh robot palsu?" tanya Lloyd berang. Dia tak habis pikir, sebab mereka telah dilatih selama ini menjadi lebih kuat. Tapi, kenapa ....

"Android itu gila!" pekik Favre. Temannya yang lain mengiyakan. "Dia nyaris membunuh kami karena hilang kendali. Bagaimana kalian tidak terpojok jika lima android menyerang dengan brutal secara mendadak?"

"Sepertinya ada kesalahan di sini," gumam Ramirez. "Tapi, itu untuk nanti. Sekarang kita hanya harus pergi ke lantai selanjutnya."

"Bagaimanan teman kami yang hilang?" Favre mengernyitkan kening. "Pertama Jeantte. Lalu, tadi baru saja, Edward. Ini gila!"

"Gila, terus kenapa?" Lloyd mendelik. "Sudah terlanjur kita mulai. Sekarang, kita selesaikan. Ayo," titahnya sebelum melenggang pergi. Ethan dan Eiries mengikuti di belakang. Ramirez menepuk pundak Alphia, menggeleng, lalu beriringan menyusul kelompoknya.

Ini persaingan, pikir Alphia. Memang seharusnya begini ....

[]

Pintu balkon menjeblak terbuka. Anak-anak itu menghirup napas dengan bebas dan mengembuskannya, bagaikan orang yang baru tenggelam dalam lautan gelap. Angin sejuk menerpa mereka. Eiries merebahkan tubuhnya di lantai balkon, menatap langit di bawah kubah translusens Haydens. Alphia duduk di sebelahnya, tangan bertelekan ke belakang. "Kita berhasil," bisiknya.

Ramirez mendekati pagar balkon dan melongok ke bawah, melihat kelompok lain yang sedang bergiliran masuk. Mereka tak akan mengira mimpi buruk apa yang akan mereka hadapi. Anak laki-laki itu berbalik. "Kita harus hentikan. Kelas Mr. Latriel yang ini sepertinya sudah di luar kontrol. Aku bahkan tak yakin Mr. Latriel bisa menjamin keamanan tiap lantai sendirian."

"Yeah, dan dia tentu akan segan untuk minta bantuan guru lain," imbuh Lloyd. "Menurutnya, seorang master akan berdiri sendiri."

"Hm, aku bertanya-tanya bagaimana kita turun. Sebentar lagi waktu makan malam. Aku ingin mandi." Ethan merengut.

"Sepertinya kita harus menunggu," kata Ramirez. Dia ikut duduk di sebelah Alphia dan merebahkan diri. "Terkadang, memang hanya perlu menunggu."

Keheningan menjalar di antara mereka, dan angin sejuk musim gugur yang berembus mengantarkan rasa kantuk. Lloyd pun mengalah, bersandar pada pagar balkon dan memejamkan mata. Tubuhnya sangat lelah setelah melewati berbagai hal di dalam gedung. Pada akhirnya, mereka semua terlelap. Tapi, Alphia masih terjaga sampai beberapa kelompok lain juga telah datang. Mereka membuat lingkup masing-masing yang saling berjauhan.

Pikiran Alphia berkecamuk seperti perang dahsyat. Banyak pertanyaan menggantung di sana. Dia hanya bisa memandangi langit yang sudah gelap.

"Hei, menurutmu langitnya bagus?" Ramirez menegakkan punggungnya.

"Tidak."

Ramirez tersenyum. "Langit yang paling bagus ada di atas balkon gedung pengajaran."

"Kamu pernah ke sana?" tanya Alphia.

"Entahlah. Tapi, kalau kamu ada waktu, cobalah untuk melihatnya."

Pintu balkon terbuka, ketika seorang pria naik dan bertepuk tangan. Di antara kegelapan, matanya menyala seterang api. "Selamat. Kalian semua lulus kelasku hari ini. Isi gedung ini sudah dibereskan, silakan kalian kembali ke asrama masing-masing. Oh, soal Edward dari kelompok empat, dia tidak hilang. Kalian meninggalkannya tersesat, sekarang dia sudah kembali lebih dulu."

Anak-anak menghela napas lega. Alphia menepuk pipi Eiries. "Hei, ayo kita pulang."

Eiries terperanjat. Dia menangkap tangan Alphia, termenung ... sebelum melepaskannya. "Sepertinya aku bermimpi buruk. Ruangan-ruangan itu penuh kutukan."

Ramirez tertawa redam. "Kutukan hanyalah mitos. Zaman sekarang, manusia sudah bisa logis soal itu."

"Aku tak yakin," gumam Alphia. Dia teringat kejadian di saluran air St. Haliholde ketika datang seseorang yang mengatakan tentang Scramton. Di sana, orang-orang masih sangat konservatif. Ada banyak kepercayaan termasuk untuk perkara mistis. Tapi, sejauh ini, Alphia tidak menemukan sesuatu yang berkaitan dengan paranormal. Hanya kasus hilangnya seorang siswi yang belum jelas, apakah dia kabur dari Haydens atau apa?

Tidak ada yang tahu.

[]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro