Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

12 - Gadis Ambisius

PAGI itu, gelanggang Haydens sudah ramai oleh gelegar Mr. Sander dalam kelas Endurance-nya. Anak-anak akan diadu dalam pertarungan ringan untuk melatih seberapa kuat stamina mereka saat perang sungguhan. Sejujurnya, Alphia masih setengah hati ketika itu, mengingat bahwa sebagus apa pun dia, nilainya untuk semester penuh ke depan tetaplah nol. Kesannya agak sia-sia. Itu pun jika dia bagus, sementara kenyataannya dia sama sekali tidak bagus. Daya tahan tubuhnya lemah.

"Jangan khawatir," Ramirez menepuk pundak Alphia, "nilai kalian tidak mutlak nol selama kalian bisa mengesankan Mr. Sander. Ada banyak ajangnya selain kelas Endurance jika kamu memang kurang unggul di sini."

Alphia tertegun. Di pinggir gelanggang, tempat anak-anak yang sedang beristirahat sejenak, dia memerhatikan seorang gadis yang sangat bersemangat untuk menghabisi lawannya. Itu Eiries. Dengan seragam Haydens-nya dia tampak semakin gagah, meskipun dia perempuan, tetap saja sangat mengagumkan. Pertarungan itu dibagi menjadi beberapa babak. Tiap dua anak diadu, kemudian sesama yang menang akan diadu lagi.

Kali ini giliran kedua Alphia, sebab entah karena keberuntungan apa, dia berhasil mengalahkan seorang gadis lain tadi. Ketika Alphia sudah bersiap, dia melotot saat mendapati Eiries yang akan menjadi lawan tandingnya.

"Satu, dua, tiga!" seru Mr. Sander, sekoyong-konyong membuat Alphia kelabakan karena kaget.

"Tidak apa, santai saja," kata Eiries. "Tapi, aku tidak akan melemah walaupun kita teman. Aku tidak suka meremehkan orang."

Alphia bingung sekali apakah dia harus merasa tersanjung atau justru semakin takut. Anak-anak itu hanya pernah dibekali pelatihan bela diri dasar pada awal masuk Haydens, dan Alphia tidak mengingat seluruhnya. Ketika Eiries mulai menerjang, Alphia berusaha bertahan-mencoba memutar lengan Eiries untuk membalikkan serangan, namun mengambil gerakan yang salah. Eiries berhasil menangkap posisi vital lengan Alphia dan menjatuhkannya.

Sakit yang tidak seberapa dibanding rasa malu, pikir Alphia. Dia meringis sedikit, sebelum Eiries mengulurkan tangan untuk membantunya berdiri. Mr. Sander memerintahkan Alphia untuk push up sekian kali sebelum pergi ke pinggir gelanggang, tempat anak-anak lain yang juga sudah tersisihkan. Sementara Eiries harus kembali bersiap.

Di pinggir gelanggang itu, sudah ada beberap anak, tapi satu yang menarik perhatian Alphia. Taylor menyendiri jauh dari kerumunan sambil menutup kedua wajahnya. Dia pasti masih cemas memikirkan Jeantte yang tak kunjung ditemukan. Meski begitu, Alphia belum ingin menghampirinya karena hubungan mereka yang berjarak. Di antara banyaknya anak perempuan yang sudah kalah, hanya ada segelintir anak laki-laki. Salah satunya adalah Ethan. Dia bersandar di bawah pohon sambil memejamkan mata. Alphia duduk di sebelahnya. "Kamu kalah?"

"Bukan aku yang tidak hebat, tapi level Lloyd memang berbeda."

Alphia menghela napas. "Apa kamu tidak merasa kecewa dengan dirimu? Atau sedih? Atau menuntut kenapa harus begini?"

"Tidak."

"Bagaimana bisa?" Alphia memandang dedaunan merah yang gugur dari tajuk-tajuk pohon. "Aku saja marah sekali pada diriku. Kenapa aku harus lemah, kenapa aku harus tidak bisa apa-apa."

"Gagal di kelas Mr. Sander bukan berarti kamu tidak bisa apa-apa," kata Ethan, akhirnya membuka mata dan menerawang ke langit. "Setiap orang punya bidangnya masing-masing."

"Tapi, Ethan," Alphia mengulum bibir, "kita di Haydens. Tujuan sekolah di sini adalah agar kita bisa keluar ke metropolis di Adargan dan mengusir tentara Endsburg. Agar kita membebaskannya. Lalu, apa gunanya jika kita tidak menguasai apa pun di sini?"

"Aku tak tahu denganmu, tapi tidak masalah. Kita semua akan keluar sebagai prajurit pemerdeka Adargan, tapi tiap orang akan punya caranya sendiri." Tahu-tahu, Ethan tertawa renyah. "Lihat itu. Si Pongah Favre sepertinya sudah lelah. Dia mirip kakek-kakek."

Alphia mengikuti arah pandang Ethan. Memang benar, Favre kentara sekali lelahnya karena dia bertarung sampai terbungkuk-bungkuk. Mungkin dia juga lemah di kelas Endurance. Tanpa sadar, Alphia tersenyum ketika Ramirez bergaya seolah dia menjuarai pertarungan gulat melawan Favre. Lamat-lamat, dia dengar ucapan Ramirez yang sangat usil.

"Kamu butuh kekuatan di sini, bukan proyek helm pelindung."

Di sisi lain gelanggang, Eiries masih bertahan untuk menghadapi lawan-lawannya yang telah dipasangkan. Di babak lanjutan, duel tidak hanya dilakukan sesama perempuan atau laki-laki dan sesama usia, melainkan gabungan seluruhnya. Eiries bisa bertemu senior, atau anak laki-laki. Dan lawan Eiries kali ini adalah kombinasi keduanya.

"Aku tidak akan sungkan," tukas Lloyd.

"Aku juga," jawab Eiries. Mungkin ini kesempatannya untuk melampiaskan segala kekesalan selama ini. Jika di waktu biasa dia akan dicap kurang ajar saat memukul Lloyd, di sini tidak masalah bahkan jika Eiries menendang wajahnya. Tentu saja selama masih dalam taraf wajar dan tidak berlebihan.

Mr. Sander mengangkat sirenenya. "Satu, dua, tiga!"

Dalam waktu bersamaan, setiap anak yang telah dipasangkan akan memulai pertarungan. Eiries dengan cermat membaca gerakan dan menentukan starteginya. Lloyd bertubuh tinggi, kekuatannya pun pasti berkali-kali lipat darinya. Mr. Sander jelas tidak segan memasangkan mereka karena ingin mengetes kemampuan Eiries. Satu-satunya gadis yang sangat berambisi. Ketika Eiries maju untuk menyerang, mereka bertarung sangat cepat dengan kepalan kosong.

Alphia terbelalak. "Ethan! Bukankah itu Eiries melawan Lloyd?"

"Oh, wow. Kurasa aku siap melihat Eiries patah tulang."

"Ethan!" Alphia menyikut anak laki-laki itu. "Serangan yang mengakibatkan cedera parah melanggar aturan. Mr. Sander pasti akan marah besar."

"Aku tahu," Ethan mengangkat bahu, "tapi, itu Lloyd dan Eiries. Apa bahkan mereka peduli pada aturan? Kurasa tidak. Berbeda dengan Ramirez."

Alphia beralih kepada seorang anak laki-laki yang rambut pirang emasnya berkilauan diterpa cahaya matahari. Ramirez bisa tampil memesona setiap waktu, sekalipun ketika dia berada dalam posisi paling sulit. Lawannya adalah senior yang memiliki tubuh kekar seolah dia tekun mengangkat barbel setiap bangun atau sebelum tidur. Sedangkan Ramirez, dengan tubuh standar remajanya, tampak tidak gentar. Dan memang benar, dia bisa mengalahkan senior itu meskipun perlu usaha keras. Karena Ramirez punya otak, lawannya hanya punya otot.

"Oh tidak," gumam Alphia. Setelah dia senang melihat kemenangan Ramirez, hatinya mendadak jatuh gemetar saat Lloyd mengunci leher Eiries. "Apa itu tidak sakit?"

"Hm, sebenarnya dia bisa mati jika Lloyd melakukan yang lebih jauh."

"Astaga! Kita harus hentikan itu sekarang," pekik Alphia sambil bangkit. Tapi, Ethan segera menahan tangannya.

"Jangan. Lloyd bukan orang yang sembarangan. Dia tidak sebodoh itu untuk membunuh cewek. Lihat? Mr. Sander saja hanya memantau."

Alphia menepuk kedua sisi wajahnya sendiri dengan gemas. "Guru-guru di sekolah ini membuatku stres."

Ketika kelas itu berakhir, ada dua anak yang berhasil menjadi penyintas: Lloyd dan Ramirez. Mereka tidak diadukan lagi. Kata Mr. Sander, dia sengaja membiarkan itu meskipun duel antar mereka bisa saja dilakukan nanti. Semua anak diberi waktu istirahat dan berganti seragam. Alphia menghampiri Eiries dan memberinya sebotol air. "Kamu oke?"

"Terima kasih. Aku oke."

"Apa Lloyd menyakitimu?"

"Tidak ... sama sekali tidak. Semua gerakannya tidak bertujuan menyerang."

Di perjalanan menuju kelas, Ramirez bergabung. Entah bagaimana rambutnya masih kering tidak seperti anak-anak lain. "Selamat," kata Alphia. "Ternyata kamu kuat sekali."

"Terima kasih. Kalian juga hebat dengan kemampuan masing-masing," kata Ramirez.

"Seandainya aku punya kemampuan," Alphia tersenyum getir, "aku bahkan menang di babak pertama karena Taylor tersandung."

"Bukan masalah apakah dia tersandung atau tidak," Ramirez tertawa, "poinnya adalah kamu berhasil mengalahkannya, Alphia. Kadang, kita perlu untuk mengapresiasi diri sendiri bahkan dalam hal kecil."

[]

Jantung Alphia seperti mencelus ketika Mr. Kruz memasuki Ruang Z dengan masker Plague Doctor. Anak-anak yang lain pun sebagian besar terkejut karena kedatangannya.

"Meski langit mendung, dan Haydens selalu kelabu, tapi kelas-kelas akan bisa gembira, karena kelas tempat mengetahui hal baru. Selamat siang, Anak-anak."

Pria itu meletakkan kardus besar yang ia dekap di atas meja, lalu mulai mengeluarkan berbagai hal. Labu erlenmeyer, mortar, gelas arloji ... itu semua peralatan laboratorium versi lama! Alphia heran mengapa Mr. Kruz tidak memilih peralatan yang lebih kontemporer. Dia membagikan alat-alat itu di meja terdepan, sebelum diteruskan menuju meja paling belakang hingga semua anak memilikinya.

"Kita tidak akan mengerjakan stoikiometri. Kemarin, kita sudah mempelajari pencampuran antar senyawa. Sekarang, saya ingin lihat sejauh mana kemampuan kalian dalam praktiknya. Silakan pakai buku panduan yang ada dan buatlah kreativitas!"

Favre mengangkat tangan. "Apakah tidak ada patokan fungsi senyawanya? Seperti tugas kelas lain."

"Tidak." Mr. Kruz tersenyum lebar. "Saya ingin senyawa apa pun itu."

Alphia menekan kedua pelipisnya sendiri, kalut. Apa yang harus dia buat? Dia bahkan tidak mengerti soal pencampuran zat kimia yang membentuk senyawa baru. Itu sangat rumit dan menyusahkan! Alphia, seperti kebiasaannya, mulai melihat pekerjaan orang lain untuk dia pelajari--atau justru hanya menjadikannya semakin minder.

Ramirez membuka buku panduan dan membalik halamannya dengan cepat, seolah dia hanya perlu memindai sekali agar langsung paham. Lloyd membaca dengan tenang seperti biasa. Setidaknya, Eiries juga sama kesulitan seperti Alphia (bahkan Eiries yang sudah sangat jengkel dengan buku itu kini mencoretinya). Tapi, yang mengejutkan adalah Ethan.

Tidak seperti biasanya dia menyandarkan kepala ke dinding, atau meleungkupkan wajah di atas meja, Ethan duduk tegap dan menyortir barang dengan telaten. Seakan-akan dia bukan Ethan yang pemalas, tapi ilmuwan cerdas yang antusias. Alphia kaget saat Ethan dengan santainya sudah membuat berbagai senyawa, mencampurkannya, beberapa mengepulkan asap-tapi bukan ledakan. Sampai akhirnya dia memiliki senyawa buatannya sendiri.

"Warnya begitu indah, saya menyukainya," puji Mr. Kruz ketika sedang berkeliling memerhatikan kerja para siswa. "Apa itu?"

"Aku menyebutnya, stasioner. Saat diteteskan, udara akan membawa aromanya masuk ke indra penciuman, ke saraf pusat, yang akan menyebabkan kemampuan motorik seseorang berkurang."

"Dengan senang hati saya memintamu mempresentasikan itu," tutur Mr. Kruz. Ruang Z benar-benar tercengang mendapati anak paling pasif di kelas mereka maju ke depan seorang diri--bukan karena tuntutan kelompok.

Alphia sampai menganga kecil ketika Ethan mulai menjelaskan secara rinci, bahkan meminta salah satu anak sebagai percobaannya. Alphia sudah lupa bagaimana nasib tugasnya sendiri, seperti tugas itu tidak pernah ada. Ramirez tertawa dan menyuruh Alphia menutup mulutnya sebelum dimasuki serangga.

"Aku hampir setahun satu rumah dengannya, dan dia hanya bermalas-malasan," kata Alphia. "Bagaimana mungkin dia semahir itu dalam Kimia?"

"Apa kamu mengawasinya setiap waktu? Ketika dia makan, ke toilet, atau tidur?" tanya Ramirez.

"Tentu saja tidak." Alphia berjengit.

"Di waktu-waktu yang tidak ada kamu itu, dia bisa berlatih."

Alphia kembali mengingat-ingat. Memang benar setiap malam, Alphia melihat cahaya pancarona dari celah kamar Ethan. Tadinya dia pikir itu lampu disko atau apa. Tapi sepertinya, sekarang Alphia tahu jika itu adalah ledakan senyawa. Dia jadi ingin tahu seperti apa isi kamar anak itu. Jangan-jangan bukannya seperti kamar berantakan anak SMA, kamar Ethan lebih menyerupai laboratorium keren.

"Kamu sangat berbakat," kata Mr. Kruz setelah Ethan kembali duduk. "Saya tebak, keluargamu banyak yang ilmuwan ahli Kimia juga?"

"Hm, sepertinya tidak. Aku hanya punya ayah, dan dia tidak suka Kimia."

Mr. kruz tertawa, sambil memasukkan senyawa stasioner ke dalam tabung khusus. "Memang, seringkali kita menempuh jalan yang berbeda dari orang tua. Jika mereka melangkah sampai persimpangan, kita bisa saja tidak pernah berhenti sampai di ujung dunia."

"Kalian silakan lanjut penggarapannya. Saya tunggu minggu depan." Mr. Kruz mengemas kembali peralatannya. "Sekarang, alat-alat itu milik kalian. Gunakanlah sebaik mungkin!"

Mr. Kruz menutup kelasnya sebelum beranjak keluar. Masih ada beberapa waktu sebelum istirahat siang, dan kebanyakan anak Ruang Z ingin menyelesaikan tugas mereka lebih cepat. Ramirez tertegun sejenak, sebelum dia menyalakan Zapt.

"Ethan. Apakah stasioner-mu memang dibawa Mr. Kruz?" Ramirez memastikan.

"Entahlah, Kawan. Kupikir, tugas ini memang harus dikumpul?"

"Ya, lagipula senyawa itu tidak akan berguna jika ada pada Ethan," timbrung Lloyd. Selalu sempat mengejek di tengah kesempitan.

"Kalau begitu, tentu lebih berguna jika dimiliki Mr. Kruz," Ramirez berpikir sebentar, "berguna untuk apa?"

Keheningan merayap dalam sambungan Zapt, sebelum Alphia mematikannya. Dia merasa tidak enak. Selalu tidak ada yang beres jika pembicaraan itu meyangkut Mr. Kruz, dan hatinya terus menolak. Menolak seperti ada bahaya yang akan datang jika mereka mencari tahu lebih dalam.

[]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro