09 -Simulasi di Gelanggang Haydens
SEJAK Eiries keluar dari unit kesehatan dan beraktifitas seperti tidak pernah terjadi apa-apa, Alphia kerap memperhatikannya, tak lekang sedetik pun. Bahkan saat pagi itu mereka sedang berjalan di selasar gedung menuju Ruang Z, susah untuk menghilangkan kejadian tempo hari dari pikiran Alphia. "Kamu sungguh baik-baik saja?" tanyanya untuk ke sekian kali.
"Apa kamu tidak memercayai keahlian Dr. Kira, atau berharap aku masih sakit?"
"Tentu saja aku percaya. Tapi, maksudku ...," Alphia menyentuh keningnya sendiri, "apa luka itu tidak cukup parah sampai pendarahannya seperti kemarin? Dan terjadi secara mendadak."
Eiries mengedikkan bahu. "Luka ini memang aneh. Entah ada bencana apa ketika aku lahir."
"Apa kamu tidak pusing, sekarang? Atau mual? Karena setelah ini adalah kelas Simulasi Perang yang dibawa Mr. Sander." Alphia menatapnya khawatir. "Itu cukup berat. Dan kata Ramirez, Mr. Sander galak seperti singa yang tidak makan daging seminggu."
"Tak apa. Ini hanya luka kecil, tidak akan memengaruhi ketahananku," pungkas Eiries. "Simulasi Perang adalah kelas Outdoor yang penting. Aku tak akan mau melewatkannya. Kamu tahu, Alphia? Aku tidak sabar untuk menghabisi android-android rekaan itu. Dan nanti, pasti akan kuhabisi android yang sebenarnya. Adargan sudah terlalu lama dibelenggu."
"Kamu sangat berambisi mengalahkan android. Tapi, tidakkah kamu ingat siapa dalang di balik penyerangan mereka?"
"Oh, aku tidak segegabah itu—sudah pasti mempertimbangkan mereka. Para diktator Federasi Boreal Barat. Masalahnya, mereka tidak seperti android yang bisa kita jebak sebelum diserang. Mereka itu seperti aligator-aligator berotak licik yang bisa bergerak mulus."
Anak-anak Ruang Z telah berkumpul di sisi utara gelanggang. Barisan anak perempuan dan laki-laki masing-masingnya dua deret ke kanan-lima belas ke belakang. Seorang gadis di depan Alphia berdecak dan menyikutnya. "Bisa mundur sedikit, tidak?"
"Maaf," tutur Alphia meski keningnya berkerut heran. Anak perempuan itu, yang pada tanda nama di atas sakunya tertera Taylor, adalah anak yang sama dengan si penyerempetnya pada hari pertama. Alphia masih tidak tahu apa masalah anak itu dengannya, karena Taylor terkesan tidak bersahabat hanya terhadap Alphia.
Mr. Sander bertubuh kekar, langkahnya berat di tengah-tengah barisan prajurit angkatan Prima itu. Suaranya menggelegar. Terkadang, Alphia suka kaget ketika Mr. Sander bicara tiba-tiba. "Brooksville telah diserang oleh tentara android, penduduknya dibantai hingga bersembunyi ke hutan. Kalian adalah para penduduk itu, tapi kalian punya daya tahan yang lebih kuat dan kecerdasan. Tujuannya adalah bertahan, temukan bendera sebanyak mungkin, lalu kembali."
"Waktu kita satu jam. Bekal kalian hanyalah revolver udara untuk keadaan sangat genting—bukan untuk menyerang. Indikator keberhasilan kalian pada misi ini adalah selamat ke pos dengan minimal tiga bendera. Ada pertanyaan?"
Taylor mengangkat tangan. "Apa android itu sungguhan?"
"Tidak. Mereka hanya hologram, tapi kekuatannya nyata. Jadi, jika kalian tertembak atau terpukul, unit kesehatan siap menampung seisi kelas." Mr. Sander memandang seluruh siswa dengan serius. Mencari-cari jika ada sedikit saja rasa gentar di wajah mereka. "Tapi, tentu tidak sefatal android sungguhan."
"Kalau tidak ada pertanyaan lagi, kita akan mulai. Silakan membentuk kelompok atau perorangan, terserah pada kalian. Saya hanya ingin melihat siapa yang berhasil selamat," tukas Mr. Sander. "Bersedia. Tiga. Dua." Dia menekan alarm nyaring bersamaan dengan keluarnya puluhan tentara android.
Alphia menelan ludah.
[]
"Eiries, menurutmu ke mana anak yang lain bersembunyi?" tanya Alphia dengan napas tersenggal, ketika dia dan Eiries sedang merunduk di balik semak belukar. Salah satu android hologram baru saja mengejar mereka dan kehilangan jejak. "Tidak ada tempat aman di hutan."
"Tidak penting, Alphia," tukas Eiries. Dia memeriksa keadaan sekitar dari celah-celah kecil di antara daun dan duri. "Kita hanya harus dapatkan bendera dan kembali dalam satu jam. Sepertinya aku lihat satu di atas sana. Ayo kita ambil."
"Aku akan menjagamu di bawah. Aku tak bisa memanjat pohon."
"Baiklah."
Kedua gadis itu menyelinap keluar. Eiries dengan tangkas segera memanjat pohon, memanfaatkan sulur-sulur kecil yang cukup kuat. Alphia siaga di sekitarnya. Meski samar-samar lutunya gemetar, Alphia tetap berdiri tegak. Matanya tajam mengawasi sekeliling hutan yang mulai bernuansa jingga kecokelatan. Musim gugur sungguh merayapkan udara dingin menuju tengkuknya.
Sebuah sinar laser melejit melalu pundak Alphia yang terkesiap. Dia mengangkat revolver udara ke arah sebuah android yang bergerak mendekat. Tapi, tembakan udara itu sama sekali tidak melenyapkan hologram itu. Alphia mulai gelagapan ketika android semakin dekat dan tampak jelas: itu bukan hologram.
Android itu menembakkan laser sungguhan dari pistolnya dan berusaha menerjang Alphia. Dia memekik kaget sehingga Eiries menoleh ke bawah, terbeliak. "Apa-apaan!?" Eiries segera melompat turun dan menyusul Alphia yang sedang dikejar android.
"Menyingkir!" hardik Eiries sembari memukulkan revolvernya ke kepala android. Mesin cerdas itu memutar kepala seratus delapan puluh derajat dengan mata yang menyala terang. Tangannya terangkat dan meninju Eiries sampai terjerembap ke belakang.
Alphia meringis. Dia melemparkan revolvernya hingga memecahkan helm kaca android, yang kembali berbalik ke arahnya. Android itu semakin cekatan untuk menerjang Alphia, dan ketika benar-benar dekat, Alphia tersandung akar pohon yang menonjol di tanah. Android dengan separuh wajah rusak itu mengangkat pistolnya dan menghantamkannya pada Alphia—yang menyilangkan kedua tangan di atas kepala. Jantungnya bertalu-talu.
"Argh!" Eiries muncul dari belakang dengan sudut bibir yang meneteskan darah, menendang android sampai terhempas. Tanpa ampun, Eiries menusukkan ujung revolver udaranya ke seluruh tubuh android itu. Menghancurkannya hingga ke inti kesadaran.
"Kurang ajar. Katanya hologram. Jelas-jelas ini yang asli!" Eiries berang, menendang tubuh android yang tergolek tanpa daya. Napasnya menderu. "Kita laporkan sekarang."
Alphia perlahan-lahan berdiri, memaksakan kakinya yang mulai lemas. Keringat dingin mengucur di sudut pelipisnya. "Tapi—lihat itu ...." Alphia menunjuk android yang berkilat seperti glitch. Semakin lama, dia berubah bentuk dari yang sangat nyata menjadi cahaya-cahaya biru hologram. Kedua gadis itu terbelalak.
"Tidak mungkin," desis Eiries.
Dalam sekejap, sebuah alarm berbunyi. Alphia dan Eiries bergegas kembali ke pos di pinggir gelanggang tempat seluruh siswa berkumpul. Namun, Mr. Sander berdiri di sana dengan wajah keruh. Di antara anak-anak lain yang sunyi senyap, dia hanya menatap tajam Alphia dan Eiries. Rahangnya keras seperti baja.
"Saya bilang tidak ada penyerangan. Ini kelas pertahanan. Kenapa kalian menyerang android hologram!?"
Eiries terperangah. "Kami—"
"Nilai kosong untuk satu semester!"
Alphia tercengang. Sekolah ini mulai terasa tidak waras.
[]
Kaki Eiries gatal sekali untuk menendang seluruh properti di kelas, ketika sebagian besar anak telah keluar setelah tiba jam istirahat. Mereka sudah berganti pakaian dari baju lapangan yang penuh saku menjadi seragam formal. Membersihkan sisa luka dan bercak tanah yang sempat melekat. Eiries menghempaskan tubuhnya di kursi lalu bersandar. Memejamkan mata. "Masih sulit dipercaya."
"Aku tahu benar," timpal Alphia. "Itu teknologi yang hanya ada di metropolis besar Adargan. Perwujudan hologram menjadi realita dengan teleportasi. Bukankah alat untuk melakukannya mahal?"
"Sangat mahal," koreksi Eiries. Dia melirik dua orang yang baru masuk dengan rambut tersibak, masih basah setelah disiram air keran. Dia kira, melepas topi selama sekolah berlangsung adalah terlarang. Ternyata tidak. Atau barangkali, aturan di Haydens seperti karet yang elastis.
"Kenapa kalian menyerang?" tanya Lloyd seraya menarik kursinya untuk duduk. "Sudah kubilang, ikuti perintahnya. Jangan membangkang."
"Kalau tidak menyerang, kami mati," sungut Eiries. "Orang bodoh mana yang tidak melawan ketika berhadapan dengan android sungguhan?"
"Android sungguhan?" Ethan mulai tertarik, meski dia sudah menyiapkan posisi yang nyaman untuk tidur dan tidak peduli apa-apa. "Sepertinya kalian kurang tidur. Ayo, tidurlah. Ini jam yang pas walaupun tidak seefektif jam pelajaran."
"Kami tidak mengigau sepertimu, Ethan," sanggah Alphia. "Kami benar-benar melihatnya. Menyentuhnya. Merasakan sakitnya ketika dia melayangkan pistol laser."
Lloyd bersedekap, masih menatap dengan sangsi. "Akan lebih mudah jika kalian punya bukti nyata."
"Semua memar dan luka kami itu apa, menurutmu?" Eiries mendelik. "Kami bergulat dengan angin, hah?"
Derap langkah gusar terdengar mendekat. Ramirez memasuki Ruang Z dengan ekspresi yang sukar ditebak. Dia mencari-cari dua gadis yang baru saja mendapatkan nilai kosong untuk hari ini dan semester ke depan. Bukannya prihatin. Namun, dia juga menemukan kejanggalan yang sama.
"Kalian sungguh bertemu android asli itu?" Ramirez menatap kedua temannya dengan serius.
Eiries mendesah. "Apakah ini April Mop?"
Ramirez duduk di sebelah Alphia, agak menunduk untuk berbisik, "Aktifkan Zapt."
Ketiga anak itu menekan tombol pada Zapt mereka dan mulai berdiskusi.
"Aku memikirkan teori yang cukup logis, tapi kalian bisa mengira ini gila," kata Ramirez.
"Katakan saja," titah Eiries. Alphia mengangguk tak sabar.
"Akses dari luar ke dalam Haydens terkunci. Kemungkinan besar, hanya penghuni Haydens yang bisa mengirim android sungguhan melalui hologram. Pertanyaannya, bagaimana dia melakukan teleportasi tanpa menunjukkan tanda?"
"Siapa penghuni Haydens yang gila yang melakukan itu?" Alphia mulai geram.
"Tidak, Alphia. Semua penghuni Haydens memang gila. Sepertinya," celetuk Eiries.
"Yang jelas, kita tidak bisa terlalu percaya pada orang di sini. Kalian tahu tidak? Scramton adalah bekas kota separatis. Ketika mereka kembali menjalin relasi dengan Adargan, kita tidak mengerti kenapa."
Ramirez menonaktifkan Zapt. Dia mengerling pada Lloyd yang sedari tadi memantau mereka dengan sengit. "Aku tahu kamu ingin bertanya."
"Aku tak perlu bertanya, sudah tahu," bantah Lloyd. Dia memastikan bahwa kelas itu sudah sepi, hanya tertinggal mereka berlima, kemudian bicara dengan serius. "Kamu bawa sesuatu. Untuk komunikasi rahasia."
Ramirez tersenyum lebar. Dia suka sekali memamerkan gigi yang putih tak bercela, seolah tak pernah tersentuh oleh makanan apa pun. Alphia pikir, terlepas dari kulit Ramirez yang dingin dan mirip porselen, dia sebenarnya sangat hangat. "Eh, ketahuan," celetuk anak laki-laki itu.
"Jangan anggap ini hal remeh," tegas Lloyd. "Kamu tahu akan dapat apa jika guru yang memergokinya."
"Oh, tak masalah. Tapi, apa kamu tidak tertarik?" Ramirez menghampiri meja Lloyd dan meletakkan sesuatu di atas genggaman tangannya. "Cobalah."
"Aku hanya memastikan." Lloyd memasang Zapt dan mengetesnya. Dia cukup terpukau, namun bisa lebih menyembunyikan ekspresinya dengan wajah dingin. "Akan kamu gunakan untuk apa? Berkencan diam-diam?"
Ramirez tertawa. "Tidak." Dia beralih pada Ethan yang sudah terlelap sejak tidak terlibat percakapan, lalu memasangkan Zapt pada telinganya. Dia berbisik, "gunakan ini dengan baik."
Ethan baru saja akan mendorong wajah Ramirez yang terlalu dekat sebelum anak laki-laki itu beranjak sambil tertawa. Ethan mendengus. "Kamu tidak perlu seolah hendak melakukan itu."
Eiries merotasikan mata, meski ia juga berpikir hal yang sama ketika Ramirez memasangkan Zapt pada Alphia.
Ramirez menatap teman-temannya. "Aku percaya pada kalian, jadi aku memberikan itu. Semoga kalian memercayaiku."
[]
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro