Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

06 - Haydens yang Tersembunyi


ADA kalanya, Alphia mematut diri di depan cermin hanya untuk melihat betapa rindunya dia pada Arietha. Mereka benar-benar seperti kloningan--jika memang boleh disebut begitu--dengan rambut pirang abu yang khas. Tapi rasanya, semakin diingat semakin sakit. Detik-detik ketika Alphia meninggalkan saudarinya dalam keadaan tertembak, selalu saja berkilat dalam benaknya seperti mimpi buruk. Datang dan mengatakan: inilah dirimu, Alphia, pengecut yang terus berlari dan lemah.

Kali ini, Alphia memangkas rambut bergelombangnya sampai helai demi helai jatuh, bersama dengan masa lalu. Kemudian Alphia mengikatnya dengan kencang, seakan-akan sedang mengikrarkan janji. Dia berdiri tegap, menarik napas untuk siap pergi ke Institut Hayden pada pertengahan September.

Ternyata, beberapa bulan yang dikatakan Ethan berarti nyaris setahun! Alphia sempat menghabiskan musim semi di rumah Albert yang penuh rumpun bunga, dan musim panas yang mengerikan karena Ethan bisa menghabiskan seharian hanya untuk mandi berkali-kali, membuat kamar mandi di rumah Tuan Albert jarang terbuka.

Sebuah remot kecil selalu siap di saku mantel Alphia, digunakannya untuk mengontrol roda koper yang tak perlu digeret-geret. Sekarang dia sudah berusia lima belas tahun dan siap pergi ke Haydens. Mereka memanh seharusnya berangkat subuh-subuh, dan Albert sudah bersiap--meski ternyata, bukan untuk mengantar Alphia dan Ethan. Janjinya beberapa hari lalu gagal.

"Maaf, Paman ada urusan ke Dawnford. Bone One akan menyetir untuk kalian. Berlatihlah yang tekun di sana." Albert mengusap puncak kepala Alphia sebelum melenggang dengan terburu-buru, pergi naik mobil.

"Mari, kita berangkat," kata Bone One. Dia bergerak kaku seperti biasa menuju mobil lainnya di garasi luas itu. Alphia menanyakan keberadaan Ethan, dan Bone One menjawab, "Dia akan datang dalam tiga, dua, satu."

Pintu rumah menjeblak terbuka ketika seorang anak laki-laki keluar dari sana, sedang mengunyah kue madu, jalan dengan mantelnya yang sengaja tidak dikancing. Dia selalu tampil acak-acakan sampai Alphia beprikir, orang ini sungguh tidak punya minat untuk hal apa pun.

Bone One mengaktifkan mode auto di mobil sambil mengontrolnya lewat cara yang tidak diketahui Alphia, hanya dengan memindai. Mereka menembus jalanan lengang Scramton yang dingin dan gelap, dengan sisa cahaya bulan yang hampir menghilang, dan dedaunan maple berguguran di tepi trotoar. Perjalanan ditempuh agak lama hingga mereka meninggalkan kawasan kota menuju perbukitan yang sepi.

Napas Alphia beruap di jendela. "Di mana Haydens? Ini mirip tempat antah berantah."

"Sebentar lagi," sahut Bone One. Tepat saat mobil mereka turun ke sebuah lembah agak terjal yang punya dataran luas, Bone One menghentikannya. "Kita sampai."

Alphia segera keluar dan memandangi bentangan alam yang mengepung mereka, hingga tanpa sadar tubuhnya berputar beberapa kali. Tapi, tetap tidak ditemukannya sebuah bangunan besar markas pelatihan militer. "Apa kamu tidak salah rute, Bo?"

"Tidak." Bone One memakai sebuah sarung tangan lateks dengan bentuk geometri yang timbul dan bercahaya, kemudian menempelkannya ke udara. Alphia mulai yakin bahwa robot itu sudah rusak atau apa, tapi kejadian selanjutnya membuat Alphia tak bisa berkata-kata.

Sebuah kubah tak kasat mata muncul setelah Bone One menyentuhnya, memperlihatkan tembok logam raksasa yang mengelilingi dataran di lembah kosong itu. Mereka sedang berdiri di salah satu gerbang masuk yang memiliki papan kode. Bone One mengetik sesuatu di sana, sebelum gerbang itu terbuka tepat ketika sinar matahari mengenai wajah Alphia.

Gerbang logam terbuka, menampakkan pekarangan halaman hijau yang megah dengan gedung-gedung elitnya. Semua itu, berada di dalam sebuah kubah translusen yang membuat segalanya tidak terlihat. Menyembunyikannya.

Bone One berbalik menghadap Alphia dan Ethan. "Selamat datang di Haydens."

[]

Ada banyak anak-anak remaja seusia Alphia atau bahkan lebih tua--seperti Ethan--yang sudah tiba dan berkumpul di depan lobi. Kelompok anak perempuan dan laki-laki dipisah untuk mengantre di depan seorang wanita-super-jutek berseragam. Namanya Huffle, Alphia melihat itu dari tanda pengenalnya. Semua anak berbaris dengan rapi dan tenang, tanpa ada suara selain bisikan-bisikan kecil. Satu persatu dari mereka mendapatkan kartu kamar yang terdiri dari dua orang atau lebih.

Alphia punya nomor 3-D4, yang artinya di lantai tiga dan pintu keempat. Dia menghela napas saat mengetahui bahwa Hayden tidak memiliki lift. Hanya ada tangga megah yang berputar ke atas seperti ular, dan Alphia harus rela capek untuk mendapatkan kamarnya. Tapi, dia semakin lengah saat di pijakan yang tinggi, sehingga remotnya terjatuh dan kopernya tergelincir. Alphia terkesiap dan hendak mengejar, sebelum seorang gadis menangkap kopernya.

"Hati-hati," katanya dengan suara tenang seperti ombak misterius di laut lepas.

"Terima kasih," tanggap Alphia, mengambil koper dan remotnya. Tanpa sengaja memperhatikan sebuah luka di pelipis gadis itu. Alphia hampir saja mengira dia laki-laki karena rambut auburn-nya dipangkas shaggy--tapi tidak mungkin. Tangga ini mengarah ke asrama perempuan, yang karena itu, Mrs. Huffle bisa dengan sangat tajam mendelik pada anak laki-laki yang mendekat. Lagipula, gadis penolongnya itu punya bulu mata lentik yang menaungi iris ambernya. Sebenarnya sangat cantik jika ekspresinya bisa lebih ceria.

"Kamu di lantai tiga?" tanya Alphia saat langkah mereka mulai seiringan. Mungkin mereka bisa menjadi teman, mengingat anak-anak perempuan lain yang lewat di sana sudah punya rekan mengobrol seru.

Gadis itu mengangguk, menaikkan tudung jaket hitamnya. Alphia menduga jika dia anak introver karena poninya yang panjang itu hampir menutup mata. Tapi, tidak apa menurut Alphia. Introver juga seorang teman yang menyenangkan.

"3-D4?"

"Yeah."

"Oh, kita sekamar. Aku Alphia." Dengan ramah, Alphia mengajaknya bersalaman. "Bagaimana denganmu?"

"Eiries," jawabnya. "Maaf, aku tidak berjabat tangan untuk sekarang."

"Tidak apa," hirau Alphia sambil tersenyum. Jika saja Eiries agak sial di hari pertamanya dan bertemu anak selain Alphia, tentu dia sudah ditinggalkan sejak tadi.

Mereka tiba di depan kamar dan membukanya dengan menggesekkan kartu. Asrama itu jadi terkesan kuno, sebab orang-orang di Festherchapel sudah menggunakan sidik jari untuk mengakses berbagai hal. Bukan lagi kunci atau gagang pintu seperti di rumah Albert atau di sini. Sepertinya, memang benar bahwa Scramton lebih suka membiarkan kota mereka tetap sederhana dalam cara-cara lama.

Perintah Mrs. Huffle adalah agar anak-anak baru itu mengganti pakaian mereka dengan identitas Haydens: seragam hitam bercorak, dilapisi rompi keras dan jogger biru dongker. Mereka juga harus memakai sepatu bot setengah betis dan topi perak. Kemudian harus tiba di aula gedung utama tanpa terlambat sedetik pun. Alphia sudah terbiasa bergegas dan cepat, dia hanya khawatir bagaimana nasib Ethan yang pemalas dan lambat.

Seluruh siswa telah memenuhi aula besar, tempat duduk mereka dibagi sesuai usia dari lima belas tahun di paling kiri, barisan enam belas di sebelahnya, dan seterusnya. Tiap kategori umur juga dibagi lagi menjadi barisan perempuan dan laki-laki ke belakang.

Alphia agaknya kurang beruntung. Di sampingnya ada anak laki-laki yang memakai parfum pekat--parfum mahal. Dan dia terus mengedikkan dagu atau membusungkan dada. Aneh sekali. Ingin tampak segagah prajurit, namun berbau seperti wanita golongan atas. "Hai, namaku Favre," katanya seolah semua orang harus mengenal dia. Logat Prancisnya yang memang cukup kentara.

Alphia tidak tahu harus menjawab apa, sampai seseorang di depannya berbisik, "yeah, dan kami tidak peduli."

Alphia terkejut dengan celetukan Eiries yang sama sekali tidak merasa bersalah. Sementara Favre dengan telinganya yang sangat tajam, berhasil mendengar itu sehingga wajahnya memerah. Ya, dia berubah drastis menjadi mirip bayi besar pemarah. Namun, sebelum ada perang silat lidah, mikrofon di podium sudah berdenging.

"Tes. Kupikir ini sudah semua." Pria itu sedikit kesusahan dengan kabel yang bersilangan demi terhubung ke pembesar suara. Alphia benar-benar heran mengetahui masih ada orang yang memakai peralatan repot seperti itu. "Bisa dimulai, Pak," lanjutnya.

Seorang pria lain, yang tampak lebih tua dan berwibawa, naik dengan punggung tegap. Mengenakan seragam dinas khas pengajar Haydens, namun punya sedikit lencana yang mencolok di atas dadanya. Kepala Institut Hayden, Libra Smith, kini memberikan arahan kepada prajurit-prajurit mudanya.

"Seluruh siswa diberikan gadget yang hanya berfungsi untuk informasi seputar akademi. Karena Institut Hayden adalah akademi milik pemerintah yang bersifat rahasia, tidak ada akses keluar. Dan pembatasan pemakaian teknologi sudah berlaku demi keamanan sinyal."

Beberapa guru membagikan gadget praktis kepada setiap siswa tahun pertama. Seorang pria muda dengan rambut putih nyentrik dan mata semerah darah memberikan itu pada Alphia. "Gunakan dengan bijak!" ujarnya riang.

Alphia entah bagaimana terganggu dengan penampilannya yang agak seram dan mempesona di waktu bersamaan. Tapi selain itu, dia lebih mirip guru yang ramah.

"Kalian adalah yang selamat dari penangkapan militer intermiran, sangat beruntung dibandingkan anak-anak yang tertinggal di setiap metropolis," kata Libra Smith. "Sekarang gunakanlah keberuntungan itu untuk mengabdi pada Adargan. Lawan kita bukanlah orang tua yang lemah. Mereka adalah negara federasi boreal-barat yang penuh kekuatan, bertingkat-tingkat di atas kita. Saya tidak ingin mendengar sedikit pun keluhan di sini, tapi beri kami pekik kekuatan kalian. Haydens bangkit bebaskan Adargan!"

"Haydens bangkit bebaskan Adargan!" sambut seluruh siswa hingga seolah aula itu bergemuruh.

Sebelum acara penyambutan berakhir, sang kepala sekolah izin pamit untuk beberapa waktu. Katanya, ada kegiatan lain yang urgent di luar Haydens. Para siswa itu segera bubar dengan teratur setelah dipersilakan, tanpa cekikikan atau gerutu. Semuanya memasang tampang yang paling serius. Sebab para remaja itu tahu, bahwa keberadaan mereka di Haydens bukanlah untuk main-main belaka. Mereka akan dibentuk menjadi prajurit yang akan bertempur melawan tentara Endsburg.

Menjadi prajurit sungguhan yang akan bertaruh nyawa di medan perang.

[]

Mei 7 2021
Airu

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro