03 - Saluran Air St. Haliholde
HARI menjelang siang meski langit begitu mendung, ketika derap langkahnya berderak di atas jalanan bersalju. Udara semakin menusuk tulang dan uap terus mengepul keluar dari mulutnya. Sesekali Alphia bersembunyi ke bawah rongsokan mobil, atau di balik reruntuhan gedung, ketika tank-tank baja tentara Endsburg melintas. Beberapa tentara android juga sering berlalu-lalang untuk berpatroli. Sekali saja Alphia menampakkan diri, senapan-senapan laser itu pasti akan menyasarnya.
Dengan kondisi tubuh yang sakit-sakitan dan jiwanya yang semakin rapuh, Alphia masih bertahan selama menempuh kiloan jarak menuju St. Haliholde. Alphia mampu mengingat pesan Marshall dengan kuat. Scramton, lewat saluran air St. Haliholde. Sandi: RA 14 derajat 39 meter 37 inci.
Alphia memang pernah dengar rumor dari teman-temannya tentang saluran air di bawah jalanan sekolah mereka. Katanya, gorong-gorong itu berbentuk mirip riol raksasa dan memiliki akses menuju dunia lain. Alphia sudah cukup umur untuk tidak memercayai hal supranatural seperti itu, tidak ingin tahu lebih lanjut. Tapi kali ini, dia justru mendatangi tempat itu atas perintah ayahnya sendiri.
Ketika keadaan aman, Alphia melintas ke dalam pekarangan belakang sekolah sebelum sebuah laser melesat ke atas pundaknya. Dia terkesiap saat sebuah android bergerak mendekat dan menembakkan laser. Alphia mengangkat revolvernya dan menembak android itu sambil berlari. Dia bergegas menyingkirkan gundukan salju yang menghalangi penutup logam saluran air dan memutarnya.
Alphia berhasil menghindari laser yang nyaris melubangi kepalanya, tepat saat penutup saluran air terbuka menguarkan aroma lembap. Dengan jantung berdebar-debar, dia turun ke bawah tangga besi dan menarik kembali penutup saluran air.
[]
Cahaya redup dari revolver canggih itu membantu perjalanan Alphia di dalam gorong-gorong besar yang gelap. Di sebelahnya, terpasang riol panjang dengan air yang mengalir cukup deras. Sejujurnya Alphia agak takut berada di sana tanpa mengetahui ke mana dia seharusnya berjalan. Bagaimana dengan tikus got? Atau buaya? Atau hantu?
Tidak mungkin. Tadinya Alphia juga tidak percaya, tapi sesosok siluet manusia muncul di hadapannya. Alphia mencengkeram revolvernya dengan gemetaran. Mengarahkan cahaya pada objek mencurigakan itu. Alphia tercengang ketika seorang pria ada di sana, terseok-seok dengan memegangi lengannya yang sobek. Pria itu menyadari sebuah cahaya dari belakang sehingga menoleh.
"Siapa Anda?" tanya Alphia berusaha terdengar kuat, meski kentara sekali gugupnya.
"Aku yang harusnya menanyakan itu," kata dia sambil meringis. "Bisa tolong singkirkan senter ini dariku? Aku tak suka disorot."
"Maaf."
Alphia masih menjaga jarak dan bersiaga. Tapi mereka terus berjalan dengan si pria asing memimpin di depan. Tentu saja Alphia harus waspada, karena meskipun orang itu terluka, dia tetaplah seorang pria dewasa yang lebih kuat dari Alphia. Jika terjadi sesuatu, tidak akan ada yang bisa menolong Alphia di gorong-gorong bawah St. Holiholde.
"Apa yang Anda lakukan di sini?" tanya Alphia.
"Menyelamatkan diri."
"Ke mana?"
"Kamu pasti tahu, karena apa yang kamu lakukan di sini selain ke sana?"
"Siapa Anda? Anda tahu jalan ke Scramton?"
"Orang-orang memanggilku Meg. Dan ya, aku tahu."
"Tolong tunjukkan jalannya."
"Aku sedang berjalan, Bocah."
Mereka terus menempuh perjalanan gelap dan sunyi itu dengan sedikit bunyi riak air dari riol. Alphia semakin khawatir kalau gorong-gorong tidak akan berakhir, atau berakhir pada sesuatu yang tidak bagus. Tapi, pasti ada alasan kenapa Marshall menyuruhnya ke Scramton lewat sini. Pasti memang ada jalur untuk ke sana.
"Dari mana kamu tahu kota itu?" tanya Meg. Sejak tadi memegangi lukanya yang masih meneteskan darah, seolah dia tak merasakan apa pun. "Itu bukan sembarang tempat yang bisa didatangi bocah asing."
"Kebetulan aku dengar," dusta Alphia. Dia harus berhati-hati untuk mengumbar keberadaan ayahnya yang bisa sangat riskan. Marshall adalah militer Adargan dengan pangkat tinggi, tak menutup kemungkinan jika banyak yang ingin menjatuhkannya.
"Apa kamu tahu seperi apa kota itu?"
"Tidak."
"Kuperingatkan. Di sana, orang-orang masih sangat konservatif. Ada banyak kepercayaan termasuk untuk perkara mistis. Kamu tidak boleh sembarangan melakukan ini atau melanggar itu."
"Baiklah."
"Sepertinya sudah dekat. Bisa tolong dekatkan sentermu ke depan?"
Alphia bergerak dengan waspada ketika melewati Meg yang berjalan agak di pinggir. Sesekali dia melirik pria itu sambil terus berjalan dan menyorot lantai besi dengan cahaya dari revolver. Semakin lama, Alphia merasa tidak enak jika Meg yang berjalan di belakang. Ketika Alphia lengah, dia melihat bayangan seseorang mendekat.
Alphia terkesiap saat Meg berusaha menyerangnya dan merebut revolver. "Apa-apaan Anda!?"
"Tidak ada orang asing yang boleh ke Scraaaaamton!" Meg berteriak seperti orang kerasukan dan berusaha mencakar.
Napas Alphia memburu saat dia dengan gesit menangkis serangan dan menonjok rahang Meg hingga terhuyung. Alphia menembak Meg beberapa kali tapi pria itu tetap bertahan, seolah dia memang benar-benar kebal. Alphia bergidik ngeri, berlari secepat mungkin meninggalkannya hingga menemukan sebuah tembok jalan buntu. Di sana Alphia naik ke atas tangga besi dan memutar penutup logam sekuat tenaga.
"Jangan ke sana!"
Alphia menjerit saat kakinya ditangkap dari bawah. Dengan refleks dia menendang kepala Meg, membuat pria itu goyah dan limbung ke belakang. Tercebur ke arus air di dalam riol. Alphia memutar penutup untuk yang ke sekian kali sebelum terbuka, sehingga cahaya matahari petang dapat menerobos bebas. Gadis itu bergegas keluar dan menutup penutup logam rapat-rapat, kemudian mengatur napasnya. Jantungnya masih bertalu-talu seperti genderang perang. Keringat dingin mengucur di pelipisnya.
Dia dikelilingi pepohonan lebat yang telah meranggas, seperti cakar-cakar kematian di bawah langit yang menggelap. Alphia tidak pernah tahu ada tempat seperti ini di Festherchapel, kecuali jika dia sedang berada di tepian yang jarang terjangkau. Alphia dengan intuisinya mulai bergerak dan menyibak semak-semak kering hingga tampak jalan setapak di sana. Tersamarkan oleh lapisan salju tipis, kerikil, dan sulur yang merambat. Belum jelas mengarah ke mana, tapi yang pasti memiliki tujuan. Lebih baik daripada tidak, pikir Alphia.
Dalam keheningan itu, dia menyusuri hutan tundra sambil bersiaga dengan revolver yang pelurunya sudah berkurang. Sesekali dia merapatkan mantel yang belum diganti sejak agresi tentara Endsburg waktu itu, sehingga warna dongkernya semakin kumuh. Mungkin dia sudah mirip gelandangan yang hampir gila. Sangat kelelahan dan hanya ingin menutup mata barang sekejap, yang kenyataannya tidak akan pernah bisa.
Di balik sebuah pohon pinus besar, ada pondok beton minimalis. Setelah Alphia perhatikan, pondok itu terhubung dengan sebuah palang yang menghalau jalan masuk menuju sebuah tempat. Itu portal menuju Scramton. Pasti menuju Scramton.
Alphia benar-benar menjaga langkahnya agar tidak gusar, perlahan melongok untuk mencari penjaga gerbang masuk itu. Ditemukannya seorang pria separuh abad sedang mengatur saluran radio dan memukulnya ketika gelombang kurang stabil. "Ayolah, mesin tua. Lakukan tugasmu."
"Permisi ...?"
Pria itu menengok dan membuka kaca dari dalam pondoknya. Keningnya berkerut seolah Alphia adalah manusia paling mengherankan sedunia. Ya, memang wajar jika pria itu heran melihat seorang anak perempuan di portal masuk Scramton, dengan pakaian lusuh, rambut kusut dan bercak darah di wajahnya. "Ya, ada yang bisa saya bantu, Nona Muda?"
"Saya ingin lewat. Ke Scramton."
"Sayang sekali tidak semua orang bisa, kecuali dia punya sandi untuk tujuannya."
Alphia teringat sesuatu yang dibisikkan Marshall ketika di kamp tentara Endsburg. Barangkali, itulah kegunaan sandi yang Marshall maksudkan. Alphia berdeham. "RA 14 derajat 39 meter 37 inci," bisiknya.
Si penjaga portal menunduk untuk mengecek sesuatu di layar komputer, menyipitkan mata, kemudian mengangguk. "Tujuanmu adalah rumah Tuan Albert di Lalin's Avenue. Silakan naik Stophold dan dia akan mengantarmu." Palang besi bergerak naik dan terbuka.
"Terima kasih." Alphia berlalu melintasinya, masuk ke dalam lorong dengan atap melengkung yang terbentuk dari batu bata merah. Di lorong yang mirip parkiran itu ada jajaran Stophold, minibus kecil yang dikendalikan kecerdasan buatan. Alphia menaiki salah satunya dan memilih tujuan. Setelah sekian lama, akhirnya dia bisa duduk dengan agak lebih tenang dan bernapas. Bahkan dia nyaris lupa bagaimana cara bernapas yang tidak tersenggal-senggal akibat terlalu sering dibuat sesak dan tergesa.
Dia memperhatikan bagaimana keadaan Scramton yang sunyi senyap menjelang malam. Rumah-rumah penduduknya tidak bersuara, hanya memancarkan cahaya lampu hangat dari dalam. Butiran salju mulai turun lagi, perlahan menghiasi jendela di sebelah Alphia.
Hawa dingin kembali merasuk ke atas permukaan kulit Alphia seolah darahnya tersedot. Kerongkongannya kering seperti kemarau dan tubuhnya lagi-lagi melemas. Sejenak dia hampir tumbang, namun Stophold telah berhenti dengan bel yang berdenting. Pintu terbuka. Alphia buru-buru turun dan bergeming di depan pagar metal sebuah rumah besar. Di papan pemberitahuan, Alphia menekan bel dan menyebutkan namanya.
"Alphia Centauri."
Sesaat setelah proses pemuatan, gerbang metal itu terbuka. Seorang lelaki berambut ivori keluar dari pintu ganda rumah, membenarkan mantelnya yang baru setengah terpasang. Alphia tak yakin apakah itu pamannya sebab mereka belum pernah bertemu--hanya mendengar ceritanya--terlebih karena pandangannya mulai kabur saat ini. Namun, sebelum lelaki itu sempat menyuruhnya masuk, Alphia sudah hilang kesadaran dan terhempas ke tanah salju.
[]
Mei, 5 2021
Airu
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro