02 - Kode Sang Letnan

SEBERKAS cahaya masuk dari kisi-kisi di bagian atas Gehenna, seolah matahari menggariskan harapan kecilnya bagi anak-anak yang rengsa itu. Sudah berapa lama mereka di sana? Ada yang berpikir setahun. Atau kurang tiga bulan. Atau bahkan hanya semalam? Tidak. Mereka baru menempuh beberapa hari ketidakadilan, dengan jatah makan sepiring roti beku dan air, dan bentakan keras. Kata sang sipir yang sok penting itu, mereka sedang menunggu militer intermiran dari metropolis lain untuk memulai pelatihan.
"Pelatihan apa?" tanya Arietha sangsi.
Sang sipir yang selalu merengut itu berkata angkuh, "Apa pun untuk membela Endsburg."
"Orang bodoh mana yang mau membela kelompok sebiadab kalian?" Arietha mendelik. "Keluarkan kami!"
"Diam!" pria itu mengentakkan kaki ke lantai logam sehingga bergema. "Energimu ini seperti tidak ada habisnya saja. Lihat anak-anak yang lain! Mereka sudah pasrah, dasar bocah nakal!"
Arietha membuat corong di sekitar mulutnya. "Keluarkan kaaami!"
Tahu-tahu, pintu berat Gehenna terbuka dan berderit. Arietha terkejut, begitu pula anak-anak lain yang membiarkan ruangan mereka hening. Alphia yang sedari tadi menunduk menutup wajahnya, kini mendongak. Arietha dan Alphia terperangah.
Itu sang komandan yang menyerbu rumah mereka tempo hari. Kali ini, Alphia dapat melihat tanda pengenal digitalnya yang tersemat di dada. Marcus.
"Pak Marc." Sang sipir menegakkan punggungnya, mendadak kalem dan sok berwibawa.
"Anda! Anda yang merusak segalanya!" teriak Arietha. Padahal, android yang mengawal Marcus bisa kapan pun menembak para pemberontak dewasa. Apalagi hanya anak-anak seperti Arietha? Itu membuat Alphia semakin cemas. "Kembalikan ibuku! Ayahku!"
Marcus dengan rahangnya yang keras dan berlekuk berhenti di depan sel milik Arietha. Tangannya terlipat ke belakang, dagunya terangkat. Dia bisa menjadi sangat gagah, namun akibat perlakuannya yang jahat, performa apa pun akan hancur lebur bagi siapa saja. Matanya yang besar dengan pupil kecil itu menatap tajam. "Jostein. Keluarkan dua anak kembar ini."
Sang sipir yang dipanggil Jostein itu melotot. Titah macam apa yang tidak masuk akal seperti itu? Ternyata atasannya sudah gila! Jostein bicara perlahan. "Maaf, Pak. Maksud Anda, benar-benar dikeluarkan?"
Marcus mendelik pada Jostein sampai-sampai dia nyaris jatuh berlutut jika tidak menahan gemetar. "Apa lagi arti dikeluarkan bagimu?"
"Tidak ada," Jostein menelan ludah, "tentu tidak ada, Pak." Dia bergegas mematikan mesin listrik yang mengalir untuk sel Alphia dan Arietha, lalu memindai sidik jarinya pada kedua pintu mereka.
Semua anak tercengang. Hati mereka berharap untuk dibebaskan seperti itu juga, namun sebagian yang lain berpikir ini bukan ide yang bagus. Siapa yang tahu kedua gadis itu akan diapakan setelah keluar nanti? Tidak ada kebahagiaan lagi di Festherchapel. Hanya ada kesengsaraan, baik di luar maupun di dalam Gehenna.
Jantung Alphia berdebar-debar. Dia dan Arietha perlahan bangkit, dan melangkah keluar setelah jeruji besi melesak ke dalam lantai. Marcus mendengus tak acuh sambil berbalik pergi. Kedua androidnya berganti mengawal Alphia dan Arietha menuju pintu Gehenna yang terbuka lebar, tempat mereka tersiram cahaya matahari lembut. Tak begitu kentara hangatnya karena musim dingin sudah tiba sejak beberapa hari lalu. Hujan salju semalam membuat tanah yang mereka pijak telah penuh oleh gundukan putih beku.
Alphia baru menyadari bahwa Gehenna terletak di pinggir lapangan sedang yang dikelilingi pagar kawat bertegangan. Tentara android dan manusia berlalu-lalang, sebagian lagi berbaris dengan menyeru-nyerukan nama agung negara mereka. Dan di tengah-tengah lapangan itu, ada dua orang yang bertekuk lutut dengan tangan disegel borgol hologram. Sang pria memakai seragam militer yang penuh bercak darah, sementara sang wanita masih bertahan dengan mantelnya yang sudah lusuh.
Alphia dan Arietha tersentak saat mereka digiring menuju kedua orang itu. Ayah dan ibu mereka.
"Papa, Mama," gumam Arietha sambil berlari terseok-seok.
Kathleen mendongak dengan wajah babak belurnya yang sudah sangat lemah, memaksakan senyum. Marshall masih menunduk, belum akan mengatakan apa pun. Keluarga kecil itu berkumpul kembali meski mereka tak bisa saling mendekap karena tangan yang tersegel. Alphia tak sanggup menahan haru, ia menangis ketika Kathleen mencium keningnya.
Masih berdiri angkuh, Marcus memandang mereka penuh cemooh. Menjijikkan. Hanya itu yang dia pikirkan. "Tidak lebih dari lima menit, Marshall. Kamu tahu apa yang terjadi kalau sampai begitu."
Marshall menahan napasnya yang memburu, berusaha menjaga dirinya agar tetap tenang. Ketika Alphia mendekat dan menangis di atas pundaknya, Marshal mencium kepala Alphia. Saat itulah dia berbisik di telinganya dengan suara yang sangat kecil dan samar. Diulang sampai tiga kali.
"Scramton, lewat saluran air St. Haliholde. Sandi: RA 14 derajat 39 meter 37 inci."
Alphia terkejut, tapi dia tidak menunjukkan reaksi apa pun seolah-olah Marhsall tak pernah bicara.
"Apa kita bisa pulang?" tanya Arietha pada Kathleen. Kemudian dengan sengaja menyaringkan suaranya. "Bisa pergi dari tempat orang-orang biadab ini?"
"Sshh ... tenanglah, Sayang," kata Kathleen. Paras cantiknya seolah mencoba bertahan di antara memar biru, luka dan darah yang mengering. "Papa dan Mama hanya akan pergi sebentar. Kalian berdua boleh menunggu ke pengungsian."
"Pergi ke mana?" tanya Arietha. Dia melirik Marshall. Tapi, sebelum ayahnya sempat bicara, sebuah tembakan mengagetkan mereka. Marcus menembak langit dengan eskpresi dingin yang paling tak berbelas kasihan.
"Sudah? Kalau belum, peluru ini akan menembus kepalamu selanjutnya."
Alphia gemetaran di tempatnya, namun Arietha langsung berdiri. Dia menyalang pada Marcus, tangannya terkepal kuat. Alphia segera bangkit untuk menenangkan Arietha. "Bersabarlah sebentar lagi."
Dua tentara android kembali mengawal Alphia dan Arietha, sementara orang tua mereka masih tertekuk di atas tanah salju yang dingin. Marshall ditendang oleh Marcus hingga tersungkur dan terbatuk-batuk. Kathleen berusaha membantunya, namun ditepis oleh moncong senapan milik Marcus.
Pria bengis itu terus menagih sesuatu dari Marshall, tidak jelas apa, tapi Arietha tidak peduli untuk itu. Ketika jarak mereka belum terlalu jauh, Arietha menyelip keluar dari kawalan android dan menendangnya hingga roboh--merebut senapan laser. Alphia terkesiap sampai jantungnya nyaris copot, saat android yang lain mulai menembak, sedangkan Arietha sudah berlari menerjang Marcus--menghantamkan senapan lasernya ke belakang kepala pria itu.
Seluruh tentara di kamp terperanjat dan mengangkat senjata mereka, termasuk para android yang berderap mendekat. Marshall terbelalak melihat anak gadisnya baru saja membuat kepala komandan tentara Endsburg terluka. Kathleen sendiri nyaris akan pingsan. Alphia masih gemetaran di pinggir kamp, padahal dia bisa keluar dengan sangat mudah. Namun, tidak ketika saudarinya berada di tengah-tengah lingkaran tentara yang mengacungkan senjata.
Rahang Marcus semakin keras, tepat ketika dia berbalik dan menembak pundak Arietha yang menggerang. Lalu menembak kakinya hingga dia tersungkur ke tanah salju yang mulai memerah oleh darah segar. Marshall meraung, dengan segenap tenaganya menerjang Marcus yang langsung menembak perutnya--menyingkirkan Marshall dari tubuhnya. Marshall kembali memuncratkan darah sementara Kathleen bersegara mendatanginya sambil menangis tersedu-sedu.
"Aaargh!" Arietha menembak membabi buta dengan senapan lasernya--sebelum diamankan para android. "Lepaskan aku!" dia meronta-ronta sampai tersadar bahwa saudarinya masih menunggu di gerbang keluar. Arietha terus memberontak dan berteriak, "pergilah Alphy! Pergi sekarang!"
Seketika itu juga terdengar bunyi tembakkan untuk ke sekian kalinya. Kemudian, teriakan parau Arietha lenyap. Tubuhnya jatuh dengan lemas. Para tentara manusia dan andorid semakin berkerumun, ketika sebagian yang lain bergerak menuju Alphia untuk ditangkap.
Alphia yang sudah sangat frustrasi segera menyambar sebuah revolver yang sempat terlempar dari android, kemudian berbalik dan berlari sekencang yang dia bisa. Terus menggerakkan kakinya yang sudah sangat gemetar dan hatinya meraung sakit. Perih sekali. Dia berlari di jalanan rusak yang telah diselimuti salju, yang dingin dan berkabut di antara siluet reruntuhan gedung. Entah menuju ke mana. Alphia hanya ingin pergi sejauh mungkin dari tempat terlaknat yang telah menjadi pemakaman keluarganya.
Keluarganya yang tersisa.
Sementara itu, gerbang kamp kembali tertutup. Marcus memerintahkan tentaranya untuk membereskan semua hal, namun tidak perlu mengejar sang gadis yang sudah lolos. Ketika salah satu bawahannya bertanya kenapa, Marcus menatapnya tajam.
"Apa kamu bodoh? Bocah itu tentu tidak akan sanggup bertahan."
[]
Mei, 5 2021
Airu
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro