Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

XI. Mendukung; Salah Satu Bentuk Cinta

Veronica JF, seorang aktris yang sedang naik daun, diterpa isu tidak sedap. Ia dituding melakukan penipuan oleh sejumlah brand kosmetik yang telah ditandatangani kontraknya. Sampai batas waktu yang telah ditentukan, Veronica tidak juga mengiklankan barang yang disepakati. Sementara itu, bayaran yang diajukan telah diterima sebesar 75%. Para pemilik brand, beranggapan ia membawa lari uang mereka tanpa bekerja sebagaimana mestinya.

Sementara itu, pengakuan dari Veronica bertolak belakang dengan apa yang dituduhkan. Ia sudah melakukan tugasnya, dan malah sebaliknya, bayarannya yang belum tuntas didapatkan. Terlebih lagi, ia merupakan anak pengusaha tersohor yang siap maju untuk menutup aib anak semata wayangnya itu.

Gibran mengangguk-angguk paham ketika membaca sekilas tentang kasus yang ditangani oleh Hanum. "Wajar saja jika ia dituntut dengan alasan ini. Kurasa Galen akan menang," gumam Gibran.

"Galen? Galen yang akan menjadi lawan Hanum nanti? Bukankah jaksa penuntutnya si bapak tua itu, siapa namanya?" tanya Arletta sambil coba mengingat.

"Beliau sedang menjalani perawatan di rumah sakit akibat penyakit pneumonia yang dialaminya yang semakin parah. Makanya, kasus ini dialihkan pada Galen," jelas Gibran secara singkat.

Hanum melihat Gibran dan Arletta secara bergantian. Siapa Galen yang mereka bicarakan?

"Kamu ingat Galen sahabatku semasa kuliah dulu, kan? Yang dulu sering adu mulut denganmu hanya karena gaya berpakaiannya yang sering tabrak warna," ujar Gibran seraya melirik Arletta. Ia sudah meminta Arletta agar tidak memberitahu tentangnya yang sudah mengetahui dan mempercayai kondisi Hanum sekarang. Ia ingin semua berjalan sesuai kehendak Hanum, dan tugasnya adalah memberi pendampingan.

"Ah, Galen yang menyebalkan itu." Hanum tergagap dan berpura-pura mengingat tentang Galen. "Lama banget nggak ketemu dia."

Gibran mengangguk setuju dengan pernyataan Hanum. "Benar. Kalian terakhir bertemu sepertinya enam bulan lalu, di pesta pertunangan kita."

Hanum mengembuskan napas lega, ternyata ia melontarkan jawaban yang tepat. Untung saja ia tidak bertemu Galen minggu lalu, bisa kacau ia memikirkan alasan menggunakan kata lama dalam jawabannya tadi.

Hanum memperhatikan Gibran yang sedang fokus membaca berkas perkara di tangannya. Lelaki itu benar-benar menepati janjinya. Seusai keluar dari kantor pukul lima sore, tanpa pulang ke rumah untuk istirahat atau sekadar berganti pakaian, ia langsung bertandang ke rumah Hanum dengan beberapa buku yang mungkin bisa dijadikan referensi. Rasanya seperti sedang mengkaji kasus untuk persiapan presentasi di kelas.

"Kenapa kamu baik?" Pertanyaan tersebut terlontar begitu saja dari bibir Hanum.

"Setiap manusia juga dasarnya baik, Num," sahut Arletta tanpa mengalihkan pandangannya dari ponsel.

Arletta mengabaikan sejenak berkas perkara milik Hanum, sebab ia sedang fokus pada pekerjaannya sendiri. Ia bekerja sebagai reporter di departemen hiburan. Hal ini pula yang membuatnya sedikit banyak bisa membantu Hanum, karena mereka sama-sama mengorek kehidupan dunia hiburan.

"Num, Gib, aku harus pergi sekarang. Aku bantu besok-besok lagi ya," ucap Arletta buru-buru sambil mengemas tasnya.

"Kamu mau ke mana?" tanya Hanum bingung melihat Arletta bergegas.

"Aku harus ke bandara. Aktor Leon baru aja kembali dari bulan madunya dengan istri kedua. Sialan. Padahal isunya bakal pulang besok. Bisa-bisanya aku ketinggalan berita," ocehnya sendiri dan menghilang melalui pintu yang tidak tertutup.

Gibran menatap Hanum yang mulai jenuh dengan berkas-berkas di depannya. Perempuan itu tampak lelah mempelajari semua ini. Lihat saja lingkar hitam yang muncul di sekitaran matanya.

Gibran keluar dari kamar Hanum tanpa berkata apa-apa. Entah ke mana ia pergi, tapi tak butuh waktu lama untuk kembali. Ia kembali dengan dua cangkir lemon tea hangat, dan semangkuk masker yang telah diraciknya. Gibran pun menarik Hanum untuk duduk di beranda kamar.

Hanum yang tidak pernah mendapatkan perlakuan demikian merasakan kecanggungan, tapi tidak berkata apa pun. Ia mencoba mengatur napas, menerima perlakuan baik dari Gibran. Lelaki itu merebahkan tubuhnya di atas kursi serta duduk di hadapannya.

Tangannya mengambil mangkuk berisi masker warna krem tersebut dan mulai mengoleskannya menggunakan stik ke kulit wajah Hanum. Sensasi segar mulai dapat dirasakan oleh Hanum. Matanya mulai dipejamkan dan menikmati olesan Gibran hingga seluruh wajahnya tertutup masker.

"Kamu kelihatan banget lelahnya. Jangan terlalu dipaksa. Kamu tetap harus merawat diri, seberat apa pun situasi yang sedang kamu hadapi," tutur Gibran seraya meletakkan kembali mangkuk yang masih bersisakan sedikit masker. Ia memindahkan posisi duduk ke samping Hanum. Jemarinya mulai mengikat jemari tangan Hanum yang panjang.

"Dalam hidup pasti ada masalah-masalah yang nggak bisa kita ceritakan pada orang lain, sedekat apa pun ikatannya. Tapi, bukan berarti harus stres sendiri. Kamu bisa melepaskan stres itu dengan menghabiskan waktu bersama, keluar bermain dan semacamnya. Intinya, kamu nggak sendiri. Kamu punya orang-orang baik di sekelilingmu yang akan merangkulmu," lanjutnya dengan tatapan lurus ke depan. Melihat pohon besar yang ditanam di belakang rumah Hanum.

"Kamu ngomong gitu seolah aku lagi kesandung masalah besar aja," sahut Hanum diakhiri tawa kecil.

"Kamu ingat, nggak, dulu pas kita awal kenal, kamu nggak pernah mau ngobrol dengan aku dan Galen. Padahal kami duluan yang selalu ngikuti kamu dan Arletta," kenang Gibran. "Menurut kami, kalian berdua senior yang memiliki frekuensi yang sama dengan kami. Kita akan saling nyambung dalam berbagai hal. Tapi, kami harus menaklukkan kalian yang suka menarik diri, terutama kamu. Mau berteman aja udah seperti mau ajak berkencan. Akhirnya aku tahu apa yang membuatmu menarik diri dari kami. Johan. Cuma karena sikap lelaki itu kamu kehilangan rasa percaya diri dan melabeli semua laki-laki. Beruntungnya kamu bertemu dengan aku, laki-laki yang nggak bisa kamu samaratakan dengan yang lainnya. Aku senang karena bisa membawa perubahan dalam diri kamu. Berubah menjadi diri kamu yang sebenarnya, tanpa mengkhawatirkan omongan orang lain."

Hanum membuka matanya. Menatap lelaki yang sedari tadi berbicara tentang masa lalu mereka. Hal yang hanya dibaca sepintas di buku hariannya, kini bisa didengar lebih komplit melalui bibir sensual tersebut.

"Kenapa kamu membantuku kala itu?" tanya Hanum tanpa bisa menggerakkan bibirnya terlalu besar—nanti maskernya retak.

"Karena kamu bukan perempuan yang pantas jatuh karena seorang laki-laki. Masih banyak hal yang harus kamu gapai, dan itu nggak akan bisa kamu dapati jika kamu hanya terpuruk. Kamu harus bangkit untuk bisa mewujudkan mimpi. Berdiam diri dan merutuki kekurangan diri bukan pilihan yang tepat untuk seorang yang ingin menang," jawab Gibran tegas.

Ada getaran yang dirasakan oleh Hanum. Getaran yang berbeda dari yang dirasakannya untuk Johan dulu. Getaran yang belum dapat dipahami seperti apa maknanya.

"Aku akan membuatmu jatuh cinta padaku, hari demi hari," lirih Gibran, tanpa melepaskan tatapannya dari netra milik Hanum.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro