Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

VII. Lelaki Romantis

Jam weker di atas nakas menunjukkan angka 16:30. Hanum masih saja memejamkan mata di balik selimut motif bunga-bunga. Rasanya lelah sekali ketika memasuki tahun lain. Jika dulu kegiatannya sebagai mahasiswa hanya sebatas belajar dan bermain, di sini ia harus bekerja dengan pikiran yang dikuras ekstra, serta masalah-masalah hidup lainnya.

Tidak. Hanum belum merasakan semuanya, ia hanya membaca hal tersebut sekilas dari buku hariannya. Membaca hal tersebut saja sudah membuatnya lelah hingga tertidur, apalagi menjalaninya nanti.

Dahinya terasa hangat, bukan karena sinar matahari sore yang masuk melalui celah ventilasi, melainkan seperti sentuhan lembut yang melekat dengan kulitnya.

Matanya dibuka pelan. Sayup terlihat sosok yang tersenyum manis ke arahnya.

"Lelap tidurnya. Sakit banget, ya, kepalanya?"

Hanum yang tersadar bahwa tunangannya ada dalam kamar, segera bangkit dan melotot. "Ngapain kamu masuk-masuk kamar aku? Nggak sopan. Keluar sana," usirnya.

Gibran mengernyitkan dahi. "Sepertinya ini bukan pertama kali aku masuk kamar kamu. Lagian kita nggak pernah berbuat aneh di kamar. Aku cuma mau memastikan keadaanmu, sayang."

Hanum menepuk jidat. Lagi-lagi ia bertindak salah karena tidak mengetahui hal ini. Ternyata aku udah liar sekarang. Berani-beraninya bawa laki-laki masuk kamar, gerutunya.

"Aku bawa jeruk. Dimakan yuk. Sanggup bangun?"

Hanum tidak menanggapi. Dia bangun sendirinya dan berjalan ke dapur dengan sempoyongan. Mungkin Gibran menganggap ini karena tunangannya sedang sakit kepala, nyatanya karena Hanum pusing bangun tidur. Rambutnya yang sedikit acak, dirapihkan oleh Gibran seraya berjalan. Hanum mencoba kuat menahan kegelian dalam dirinya. Tidak pernah dibayangkan sebelumnya bahwa akan ada lelaki lain yang merapikan rambut kusutnya saat bangun tidur. Bahkan, segila apapun dia mencintai Johan, ia tidak membayangkan hal ini.

Ini laki-laki romantis banget, sih? Saking romantisnya bikin merinding. Ya ampun, Num, mau bilang beruntung tapi menggelikan. Hanum terus memperhatikan Gibran saat mereka sudah duduk di meja makan. Lelaki itu mengupas kulit jeruk untuknya, termasuk mencabut serabut putih yang menempel padanya. Hanum tidak suka makan jeruk dengan serabut tersebut.

"Kamu tahu banyak tentang aku," ucap Hanum tanpa melepaskan pandangannya dari Gibran.

"Tentu. Semua tentang kamu aku tahu, sampai hal kecil sekali pun," jawab Gibran bangga.

"Coba sebutkan hal-hal kecil yang kamu tahu tentang aku?" tantang Hanum. Ia benar-benar penasaran dengan lelaki yang telah bertunangan dengannya ini. Benarkah seperti alasan yang ditulis dalam buku hariannya?

Gibran menyuapi jeruk yang disambut langsung oleh mulut Hanum. "Sepertinya aku sedang dites untuk menjadi suami ya? Biar nggak salah-salah nantinya?" Gibran menarik napas sejenak. "Kamu pribadi yang gigih saat ingin mendapatkan sesuatu. Kamu tipikal perfeksionis yang kalau udah—"

"Terlalu umum," potong Hanum.

"Kamu kalau udah stres dengan kerjaan suka ngupil. Kamu kalau makan pilih-pilih—yang enaknya belakangan. Kalau mau jalan tentukan tempat sebelum pergi. Kalau udah sampe ke rumah nggak mau keluar lagi, alasannya nggak mau ganti baju lagi. Kamu bakal telepon aku tengah malam kalau lagi gabut dan aku wajib angkat kalau nggak kamu akan ngambek seharian," luap Gibran dengan cepat.

"Ternyata nggak ada yang berubah," lirih Hanum, meski kini ia mengetahui fakta baru di kalimat terakhir.

"Mana pernah kamu berubah. Dari awal kita kenal, kamu udah begitu," sahut Gibran enteng. Kini lelaki itu beralih mengambil piring dan menyajikan kebab yang tadi dibelinya. Sepertinya dia memang sudah sering bermain ke rumah ini hingga hafal di mana letak peralatan dapur. "Kamu makan ini. Mau disuap juga?"

Entah angin apa yang mengelilingi Hanum, ia mengangguk dengan cepat.

Gibran memotong bagian bawah kebab dan menyuapinya untuk Hanum. Hanum dapat merasakan ketulusan Gibran. Lelaki itu tampak begitu peduli padanya. Dapat dipastikan ia baru pulang dari kantor, terlihat dari pakaiannya yang belum diganti.

"Aku sempat berpikir kamu berubah kemarin, saat kamu berpura-pura nggak kenal aku. Kamu tahu seberapa takutnya aku? Aku mikir, drama apa yang sedang kamu perankan untuk coba pergi dari aku? Ternyata aku salah. Kamu gitu karena selesai nonton drama dan mempraktekkannya di depanku," ujar Gibran sambil tertawa.

"Andai benar aku datang dari masa lalu atau pun masa depan, gimana?" tanya Hanum kembali. Ia masih penasaran dengan hal ini.

"Selama yang datang itu kamu, mau dari masa depan, masa lalu, planet sebelah, aku nggak masalah."

"Tapi, kalau aku datang dari masa lalu, akan banyak hal yang nggak aku tahu. Tiba-tiba udah tunangan aja dengan kamu. Gimana, tuh?" Hanum memajukan tubuhnya untuk lebih dekat dengan Gibran.

Jemari putihnya menyisir sebagian rambut Hanum. Matanya terfokus pada netra indah itu. "Aku akan mengajarimu tentang banyak hal yang terlewati. Tentang gimana kamu harus mencintaiku dan akan kutunjukkan betapa aku selama ini mencintai kamu. Anggap aja kamu sedang kehilangan ingatan. Aku nggak akan lari hanya karena kamu datang entah dari mana."

"Bisa jadi aku akan kemakan bualan ini," ucap Hanum sambil angguk-angguk.

Gibran tertawa, tidak menanggapi lebih lanjut.

"Oh iya, kamu nggak lupa, kan, kalau akhir pekan ini kita akan ke butik untuk ukur badan?" peringat Gibran sembari menuangkan air ke gelas untuk diminum Hanum.

"Kita udah sampai ke tahap sana ternyata," gumamnya. "Oke. Nanti kabari aja tempatnya," tanggap Hanum santai.

Gibran tidak memberikan minuman yang telah memenuhi gelas tersebut kepada Hanum. Ia menatap perempuan di depannya dengan penuh kecurigaan. Raut wajahnya yang sedari teduh berubah menjadi lebih dingin. "Aku menahan diri karena aku mencoba pertahankan pikiran bahwa mungkin kamu memang sedang stress, banyak pikiran, atau sedang iseng belaka. Tapi, kali ini aku benar-benar nggak tahan. Kamu nggak berencana lanjutkan pernikahan kita? Bisa-bisanya kamu minta kabari alamatnya, sedangkan kamu sendiri yang memilih butik itu. Kamu kenapa, sih, sebenarnya?" Gibran berbicara dengan nada yang lebih tegas. Hanum yang sedang santai mendadak takut dengan aura yang ditunjukkan Gibran. Ia tidak tahu perihal butik itu.

"Apa yang sebenarnya kamu sembunyikan dari aku, Num? Kamu udah mulai ragu sama aku? Atau ada orang lain yang tiba-tiba datang dan buat kamu nyaman? Kamu beda banget sejak kita ketemuan kemarin. Kamu kayak bukan Hanum yang aku kenal. Bahkan hari ini kamu mempertanyakan hal-hal yang nggak pernah kamu pertanyakan, seolah kamu nggak yakin dengan hubungan kita," keluh Gibran seakan frustasi. Gibran menarik napas beratnya. Ia tidak lagi memandang Hanum dengan hangat, ia lebih memilih memandang sekitar dengan tatapan kekecewaan.

Sementara Hanum yang tidak tahu harus bagaimana, hanya bisa bergeming. Meminta maaf pun akan memperumit keadaan seolah ia benarlah bersalah. Berkata jujur pun, Gibran tidak akan percaya. Ia sedang mencoba untuk hidup sebagai Hanum yang baru, tidak mungkin bisa langsung berhasi 100 persen, kan? Semua butuh proses.

Di tengah keheningan antar mereka, ponsel Hanum berdenting. Sebuah pesan masuk, dan Gibran yang melihat notifikasinya.

Aku dengar kamu ambil cuti selama seminggu. Kamu nggak apa-apa, kan?

Gibran mendengkus kesal. Ia menyeringai, "Ternyata laki-laki yang dulu kamu kejar-kejar lebih tahu tentang apa yang kamu lakukan dari pada aku, tunanganmu sendiri."

Gibran mengambil langkah dengan penuh kekesalan. Hanum memandangi layar ponsel yang menampilkan pesan dari Johan. Hatinya memaki Johan, tapi langkahnya tak jua menyusul Gibran yang pergi meninggalkannya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro