Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

VI. Mempelajari Diri

Kamu di mana?

Katanya ke toilet, kok nggak masuk-masuk ke ruangan?

Hanum menunjukkan pesan yang dikirimkan Johan tersebut pada Arletta. Sekarang mereka telah kembali ke rumah untuk menyusun rencana Hanum menjalani hidup di tahun sekarang.

Arletta mendengus sebal. "Dia itu kemakan karma. Karena kamu udah pintar merias diri, dia mendekat seolah lupa bahwa dulu dia pernah mencampakkanmu," ketusnya.

Hanum menjentikkan jari. "Iya, kamu kemarin ada sumpahin dia, di kantin."

"Kemarin?"

Hanum menepuk jidat. "Tujuh tahun lalu maksudku. Ketika aku ditolak di kantin waktu itu, kamu menyumpahinya. Nggak ingat?"

Arletta mengendikkan bahu. Ia tidak mengingat kejadian lampau tersebut. Pun, menurutnya itu bukan hal yang sangat penting saat ini. Bisa jadi Johan memang terkena karma karena sudah terlalu kasar dalam menghina orang lain, bukan karena omongan Arletta yang terkesan menyumpahi.

"Kamu kenapa nikah dengan Mario?? Ayo, cerita dulu," rengeknya sambil menggoyang-goyangkan lengan Arletta.

"Menurutmu kisahku dan Mario lebih penting daripada situasimu sekarang?" Sindiran tersebut sedikit nyelekit, tapi tidak diambil hati oleh Hanum.

"Kalau begitu kisahkan sekilas apa yang terjadi pada hidupku." Hanum membenarkan duduknya dengan mengambil sebuah bantal untuk menumpukan sikunya.

"Aku nggak bisa bercerita secara rinci. Orang yang membawa perubahan dalam hidupmu adalah Gibran. Dia dan kakaknya yang membantumu sejauh ini. Dia lelaki yang tulus sejak awal, yang nggak pernah meremehkan kamu, nggak pernah sekali pun berkata kasar padamu."

Hanum tidak menyela, walau pun ia ingin sekali bertanya kenapa Arletta hanya menyampaikan pujian untuk Gibran. Arletta bukanlah sosok yang mudah memuji orang lain. Jika dia sudah memuji, berarti benarlah memang begitu adanya orang tersebut. Tanggapan Arletta terhadap Gibran tidak berbeda dengan tanggapan mamanya kemarin. Hanum mengambil kesimpulan, bahwa dirinya tidak perlu bersikap waswas lagi pada laki-laki tersebut.

"Kamu akan menikah dengannya Juni nanti, tolong jangan bersikap yang membuat hubungan kalian renggang. Selama ini hubungan kalian tidak ada masalah sama sekali, selain kecemburuan Gibran terhadap Johan yang selalu mengejarmu. Kalian sering menghabiskan waktu bersama—hampir setiap hari. Aku nggak bisa menyebutkan detail tentang Gibran, karena yang mengetahui dia lebih dalam adalah kamu. Setahuku, Gibran akan datang menjemputmu setiap jam dua belas untuk makan siang bersama. sisanya, mungkin kamu bisa melihatnya dalam buku harian yang kamu tulis," papar Arletta menjelaskan singkat tentang hubungan Hanum dan Gibran.

Hanum menganga dan menunjuk diri dengan telunjuknya. "Aku? Nulis buku harian? Sejak kapan? Ngaco! Mana pernah aku bertingkah seperti anak zaman 2000-an begitu," kilahnya tak percaya dengan apa yang disampaikan sahabatnya.

Arletta menarik napas dalam demi menjawab pertanyaan Hanum, "Dicampakkan oleh lelaki sialan itu membuat kamu sedikit gila. Kamu uring-uringan setiap hari dengan berkaca di depan cermin mencari di mana letak kekuranganmu. Awalnya niatmu menulis buku harian adalah untuk tips move on dari dia, tapi lama kelamaan kuperhatikan kamu terlalu nyaman dengan hal itu dan terbawa sampai sekarang. Jadi, dapat kupastikan apa yang kamu rasakan pada Gibran pun tertuang di sana. Kalau kamu ingin tahu seperti apa harus bersikap pada tunanganmu tanpa menimbulkan kecurigaan, bacalah semua buku harianmu."

Hanum menelan salivanya. "Ternyata aku seterpuruk itu karena Johan," lirihnya. "Tapi, Gibran bukan pelampiasanku, kan? Akan sangat jahat kalau aku melakukan itu."

Arletta menepuk pundak sahabatnya. "Kamu bukan perempuan kejam yang memutuskan jatuh cinta pada laki-laki lain hanya karena ingin melupakan masa lalumu. Aku tahu itu."

Sedang berbincang mereka, ponsel Hanum berdering. Panggilan dari Gibran. Ia baru ingat, sejak kemarin tidak satu pun pesan lelaki tersebut dibalasnya—lebih tepatnya ia tidak tahu bagaimana membalasnya. Ia tidak tahu apakah harus membalas dengan perasaan berbunga-bunga atau cukup ala kadarnya.

Hanum melirik ke arah Arletta, bertanya melalui tatapannya apa yang harus dilakukan. Arletta hanya menggerakkan dagunya pertanda bahwa ia harus mengangkat panggilan tersebut.

"Halo."

"Kamu sakit? Cindy bilang kamu nggak masuk kantor hari ini," tanya Gibran dengan nada khawatir.

Hanum menggerakkan bibir tanpa suara ke arah Arletta, bertanya tentang siapa Cindy yang dimaksud. Arletta pun menuliskan di ponselnya bahwa Cindy adalah rekan sekantornya, tergolong dekat dengan Arletta. Bertambah lagi kini tugasnya, yakni harus mengenal teman-teman sekantornya.

"Ah, iya, aku merasa kepalaku sangat pusing hari ini. Tadinya aku udah ke kantor, tapi karena nggak sanggup tahan sakit, aku pulang," alasannya.

"Aku akan ke rumahmu, sebentar lagi pekerjaanku selesai."

"Nggak, nggak perlu. Ada Arletta di sini yang menemaniku. Kupikir rasa sakitnya akan hilang beberapa saat lagi. Kamu nggak perlu khawatir," cegahnya. Tentu Hanum harus mencegah kedatangan Gibran. Ia belum siap harus bertemu lelaki itu dan bersikap sebagai tunangan yang manja dan penuh kasih sayang. Membayangkannya saja Hanum masih geli.

"Arletta udah kembali? Syukurlah kalau begitu."

Hanum menghela napas lega. Ternyata Gibran termasuk lelaki yang mudah mengerti tanpa berbelit-belit.

"I love you."

Hanum bergeming. Ini kali pertama ia mendengar seorang laki-laki mengucapkan kalimat itu padanya. Biasanya jika ia menonton drama, saat lelaki mengucapkan kalimat tersebut, ia akan mesem-mesem dan bersemu. Kali ini, apakah juga demikian? Ah, ia terlalu lama melamun hingga tersadarkan oleh panggilan Gibran, "Sayang?"

"I-iya," jawabnya tergagap.

"Kamu nggak membalasnya."

"Aku harus membalasnya?"

Cubitan Arletta di lengannya membuatnya mengaduh. Mata Arletta melotot dan memintanya membalas ungkapan tersebut.

"I love you too." Hanum melontarkan empat kata itu dengan bulu kuduk yang berdiri. Tidak menyangka bahwa akan sampai waktu di mana ia dapat membalas kalimat paling istimewa di dunia percintaan.

"Kembalilah bekerja, aku mau istirahat," ucap Hanum buru-buru. Ia tidak tahu harus membincangkan apa lagi pada Gibran. Tanpa menunggu persetujuan dari seberang, ia pun memutuskan panggilan sebelah pihak.

Arletta tertawa puas. "Pipimu memerah. Aku ingat sekali, dulu ketika kamu menerima pernyataan cintanya kamu juga seperti ini," ungkapnya masih dengan tawa tersisa.

Hanum meninggalkan Arletta yang masih terkekeh. Ia beranjak menuju meja kerjanya, mencari buku harian yang dimaksud oleh Arletta. Sebagai perempuan yang terbuka, ia yakin tidak akan menyembunyikan buku tersebut di balik baju atau pun di kolong tempat tidur. Ia selalu percaya pada Arletta atau pun mamanya, mereka tidak akan lancang untuk menerobos keprivasiannya.

Tepat. Ternyata hal satu ini tidak berubah. Ia menemukan beberapa buku yang disusun berjejer sesuai tahunnya. Dimulai sejak tahun 2022 hingga tahun sekarang. Bibirnya melengkung ke bawah, "Haruskah aku membaca buku ini hanya untuk bertahan di tahun sekarang?"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro