V. Orang Kepercayaan
Hanum tiba di depan sebuah gedung firma hukum. Tidak seperti bayangannya, firma hukum ini begitu besar, dan ketika mencari di internet, firma hukum yang baru berdiri lima tahun ini adalah firma hukum terbaik di kotanya. Banyak orang-orang besar mencari mereka untuk meminta bantuan menyelesaikan kasus. Dan hal hebatnya, semua kasus yang dipegang oleh kuasa hukum yang berasal dari firma ini berhasil menang. Sekalipun lawan mengajukan banding, kemenangan tetap milik mereka.
Hanum melihat dirinya sendiri, apa yang telah dilakukan selama tujuh tahun belakangan sehingga ia bisa mendapatkan pekerjaan di tempat sebagus ini? Tidak mungkin ada andil mamanya, kan? Ah, mamanya polisi yang baik, tidak mungkin melakukan hal licik seperti suap-menyuap.
"Hanum." Suara yang begitu familiar menyapa. Suara yang sempat menghina dan mempermalukannya di depan umum kini menyapa dengan girang.
Wajah Johan sangat sumringah ketika mendekat ke arahnya. Tanpa rasa bersalah karena telah mengata-ngatainya. Setampan apa pun Johan sekarang, itu tidak meluluhkan Hanum karena rasa sakit hati yang telah ditinggalkannya.
"Kamu nggak terlihat seperti biasanya. Wajahmu pucat, kamu sakit?" tanya Johan dengan raut wajah khawatir yang membuat Hanum merinding. Sejak kapan dia peduli aku sakit atau mati?
"Kenapa? Aku terlihat seperti zaman kuliah dulu ya? Jelek, kuno, kayak sampah yang nggak pantas dipungut." Hanum mengulang apa yang pernah diucapkan Johan kepadanya dengan nada ketus.
Wajah Johan memerah, malu karena perempuan itu masih ingat atas apa yang pernah dia ucapkan. "Kenapa kamu masih membahas hal itu? Kita udah meluruskan semuanya."
"Nggak ada yang lurus. Semua udah bengkok sejak waktu itu," cetus Hanum dan berlalu meninggalkan Johan yang ternyata mengikutinya.
Hanum berpapasan dengan karyawan lain yang memberi senyum serta menyapanya. Hanum membalas semua itu dengan kikuk. Ia datang tanpa persiapan, ia tidak kenal dengan siapapun di kantor ini—kecuali Johan. Jika bukan karena mamanya yang mendesaknya untuk pergi kerja, ia akan lebih baik pergi mencari pintu jalan pulang ke masa lalu daripada datang ke tempat yang asing baginya ini.
"Kamu mau ke mana? Ruang kerja kita di lantai tiga," ucap Johan saat melihat Hanum melewati lift begitu saja.
Tidak ingin terlihat seperti orang bodoh, Hanum mengusap hidungnya dan beralasan, "Mau ke toilet," ketika melihat ada papan toilet di ujung koridor.
Hanum ketar-ketir. Ia tidak bisa bekerja seperti ini. Ia tidak mengenal siapa pun dan tidak paham apa pun. Ia bisa membuat reputasi perusahaannya jatuh jika seperti ini.
Ia mengambil ponsel dari saku. Ponsel yang dilihat terletak di bawah bantalnya kemarin. Ia merasa ponsel tersebut miliknya, sebab wallpaper-nya saja foto dirinya dan Gibran. Ia semakin percaya, mereka berdua adalah sepasang kekasih yang bucin.
Rencananya ia akan menghubungi Gibran dan mengakui ulang tentang yang terjadi, mencoba membuat Gibran percaya dan dapat menolongnya. Tapi, Tuhan mengirimkan pertolongan terbaik di saat sekarang. Panggilan masuk berdering dari manusia yang sedari kemarin tidak bisa dihubunginya. Arletta.
"Let, ke mana aja? Sulit banget dihubungi dari kemarin," cecarnya begitu simbol hijau digeser.
"Nggak usah heboh. Aku kirim sesuatu untuk kamu. Kurirnya udah di depan kantor kamu, katanya nomor kamu nggak bisa dihubungi," balas Arletta santai dari seberang.
Hanum menautkan alis. Apa kiranya yang dikirim oleh Arletta untuknya? Mungkinkah hadiah dari Paris dan perempuan itu tidak akan kembali lagi ke negara ini?
Tanpa mematikan ponsel, Hanum berjalan setengah berlari ke luar kantornya. Ia yang tidak biasa mengenakan sepatu hak tinggi, kali ini merasakan sedikit sakit di bagian tumit. Sepatu di lemarinya kini rerata heels. Ntah ke mana sudah dibawa sneakers yang dulu sering digunakan.
Hanum celingukan mencari kurir yang disebutkan Arletta, tapi tidak ditemukan orang berseragam kurir. Tiba-tiba pelukan dari belakang mengejutkannya.
"I miss you, Num," ungkap perempuan bersurai hitam pekat tersebut.
"Arletta!!!" pekik Hanum mengundang perhatian sekitar. Ia memeluk sahabatnya erat dan meringis pelan. "Kamu ke mana aja? Kenapa bulan madu tiba-tiba? Kenapa kamu nikah dengan si begajulan itu? Kamu utang banyak cerita sama aku," cerocosnya sambil terus memeluk.
Arletta terpaku. Matanya mengerjap pelan. Tidak paham dengan pertanyaan yang dilontarkan oleh Hanum. Padahal, jelas-jelas kepergiannya ke Paris adalah hadiah pernikahan dari Hanum. Arletta melepaskan pelukannya dan menatap Hanum lekat. Ada yang berbeda. Dia mendapati Hanum yang dulu, bukan yang belakangan hidup dengannya.
"Kenapa kamu kembali menjadi Hanum yang dulu?" Pertanyaan itu terlontar dari bibir Arletta. Tatapannya tidak berubah sama sekali, tetap tajam mengintimidasi.
Hanum menelan salivanya. Ia melihat sekitar dengan cemas. Ia pun menarik Arletta untuk menjauh dari kerumunan. Tidak ada pilihan selain menceritakan apa yang terjadi pada Arletta. Hanya perempuan itu satu-satunya harapan yang bisa menolongnya menjalani kehidupan di tahun sekarang. Ada. Ada satu lagi yang bisa dilakukannya andai Arletta tidak mempercayainya. Ia akan mengakibatkan kecelakaan dan berpura-pura amnesia, sehingga ia bisa mempelajari kehidupan sekarang. Walau pilihan ini adalah hal terbodoh, tapi tidak ada pilihan lain daripada ia dianggap gila oleh orang sekitarnya.
Arletta menyeringai saat mendengar pengakuan Hanum bahwa ia datang dari masa lalu. "Kamu pikir aku akan percaya? Kamu ada masalah apa, sih? lebih baik cerita permasalahanmu daripada berlagak kayak gini," cetus Arletta.
"Kamu nggak jauh beda dari orang yang ngaku-ngaku tunangan aku itu. Ngira bahwa aku ada permasalahan hidup dan jadi gila kayak gini. Iya. Aku punya masalah di masa lalu. Aku kesal dengan hinaan Johan. Karena itu aku protes pada takdir. Aku minta dikasih tahu siapa pasangan aku yang ada di masa depan. Sebab itu aku ada di sini sekarang!" tukasnya kesal dengan air mata yang menggenang. Hanum putus asa.
Arletta terpaku. Ini bukan candaan. Meski ia sering mengabaikan Hanum yang suka berlebihan, tapi ia tahu saat ini perempuan itu sedang berkata dengan sungguh. "Kalau kamu memang Hanum dari masa lalu, terus di mana Hanum yang di masa sekarang?" tanya Arletta ingin tahu.
Hanum mengangkat bahu. Ia juga tidak bertemu dengan Hanum di masa sekarang, baik di rumah atau pun di tempat kerjanya barusan. Ia bahkan tidak pernah berpikir bahwa akan bertemu dengan dirinya yang ada di masa depan.
"Kamu benar-benar nggak tahu Gibran?" selidik Arletta.
Hanum menggeleng. Ia memberitahu Arletta pertemuan pertamanya dengan Gibran kemarin yang membuat merinding.
"Jadi, karena itu kakimu berdarah?" tanya Arletta lagi menunjuk tumit Hanum yang terluka.
Arletta berjongkok dan membersihkan luka itu dengan tisu dari tasnya. "Hanum yang sekarang tidak akan terluka hanya karena sepatu hak tinggi. Ia juga tidak pernah datang ke kantor dengan rambut yang dicepol seperti ini. Rambutnya selalu tergerai menawan. Kamu harus menjadi Hanum 2029 jika ingin bertahan di masa ini," pungkas Arletta mendongakkan kepalanya menatap Hanum yang ragu untuk mengangguk.
"Meski sulit dipercaya, aku akan mencoba membantumu melewati kehidupanmu di sini. Ambillah cuti selama seminggu dan kembali sebagai Hanum yang sebenarnya," putus Arletta.
Hanum yang dulunya optimis dengan hari-hari yang dijalani, kini menjadi pesimis hanya karena terlalu banyak kejadian yang dilewati. Namun, tawaran dari Arletta tidak boleh diabaikan begitu saja. Perempuan itu telah memutuskan untuk mempercayainya. Maka, ia harus percaya diri bahwa bisa hidup di tahun ini dan menjalani kehidupan sebagai Hanum yang menawan di mata orang-orang.
"Aku akan menjadi Hanum 2029."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro