IX. Bertahan Sebagai Pilihan
Akhir pekan yang biasanya dihabiskan Gibran untuk quality time dengan Hanum, kini berbeda. Ia memutuskan untuk tidak kemana-mana dan masih saja menunggu pesan atau pun telepon dari tunangannya tersebut. Sudah tiga hari, tapi tidak satu pesan pun yang diterima dari Hanum.
Hal tersebut semakin membuat Gibran bertanya-tanya. Ia sampai memimpikan Kakek Tua itu dan semua pernyataannya yang terngiang jelas di telinga—tentang Hanum yang datang dari masa lalu. Bagaimana pun Gibran memikirkannya, itu semua tetap saja tidak masuk akal. Galen sekali pun yang sering menonton film dengan tema itu tetap sulit meyakini kebenarannya.
"Masih di rumah, Dek? Bukannya kalian ada janji ke butik hari ini?" Suara Farah menghentikan pikiran kusutnya. Farah datang dari dapur dengan sepiring nasi goreng yang ditindih telur mata sapi. Perut Gibran yang sedari semalam belum diberi asupan, bergemuruh di dalam sana.
"Katanya batal. Hanum nggak enak badan," sahut Raisa yang juga datang dengan segelas susu hangat.
Kehadirannya mengalihkan atensi kedua adiknya. Pasalnya, ia datang dengan penampilan yang sudah rapi dan tampak menawan dengan polesan lipstik ombre dan rambut yang digerai. Tidak seperti minggu biasanya—menghabiskan waktu dengan rebahan karena lelah memeriksa pasien di hari kerja.
"Mau pergi kencan buta lagi?" Kali ini Gibran mengalihkan pertanyaan pada kakak sulungnya.
Raisa mengangguk dan menghabiskan sisa susu di gelas. "Doakan ya, semoga kali ini berhasil."
Gibran dan Farah tentu saja mengaminkannya. Bagaimana tidak? Raisa sudah di penghujung kepala tiga, tapi sampai kini belum juga memiliki pasangan hidup. Omongan-omongan orang yang nyelekit membuat telinga mereka sakit. Padahal, Raisa nyaman-nyaman saja dengan kehidupannya yang masih sendiri. Hanya karena tidak ingin membiarkan orang tuanya selalu mendengar ocehan orang lain, Raisa pun memutuskan untuk ikut kencan buta—meski belum ada yang berhasil memikatnya karena seleranya yang tinggi.
Kini hanya tinggal Gibran dan Farah setelah Raisa pergi buru-buru untuk menemui teman kencannya. Farah memperhatikan wajah Gibran yang tidak bersemangat. Loyo.
"Kalian punya masalah? Hanum juga udah beberapa hari ini nggak datang ke rumah." Farah mencoba memancing percakapan antar keduanya, mana tahu Gibran akan bercerita.
Gibran menghela napas dan merapatkan tubuhnya dengan senderan sofa. Matanya menatap kosong. "Entah aku akan menikah dengannya atau nggak tahun ini," racaunya.
Farah yang tidak tahu persoalan adiknya, hanya menangkap satu poin; adanya keraguan. "Setiap orang yang ingin melakukan hal baik, pastilah ada rintangannya. Begitu pula dengan menikah, dikarenakan itu ibadah. Hanya orang yang kuat imannya, teguh pendiriannya yang mampu bertahan untuk memperjuangkan ibadahnya. Akan selalu ada yang berbisik-bisik tentang rasa mundur, pilihan lain, dan semacamnya. Kembali lagi pada diri sendiri, sudah sejauh ini kalian bertahan, masa disia-siakan begitu aja," ucap Farah berupaya dapat membuka pikiran adiknya.
Gibran menatap Farah. Kakaknya yang baru menikah satu tahun lalu dan ditinggal suaminya karena kasus perselingkuhan. Perempuan yang pernah—atau masih—tersakiti itu bisa saja sebenarnya melarangnya atau menghasutnya untuk mencari lain jika sudah merasa tidak cocok dengan Hanum, tapi ini malah kebalikannya. Farah selalu percaya, bahwa cinta akan tetap ada selama pasangannya melalui semua hal bersama, bukan saling diam dan berujung meninggalkan.
Gibran mengulas senyum. Ia tidak membantah apa yang diucapkan oleh Farah, meski hatinya ingin mengutarakan banyak hal. Membuat perempuan itu cemas dan khawatir pada hubungan keduanya bukanlah hal yang baik.
"Aku harus mempertahankannya apa pun yang terjadi, kan? Maka aku akan melakukannya," jawab Gibran meyakinkan kakaknya.
Ia segera mengambil ponsel dan mengirim pesan pada seseorang. Gibran merasa hanya seorang inilah yang dapat memberikannya pencerahan dan menolongnya saat ini.
***
Gibran mengaduk-aduk isi gelas yang baru disesapnya sedikit. Sebagai orang yang mengajak bertemu, ada baiknya ia yang lebih awal untuk menunggu.
Bibirnya tertarik membentuk senyuman kala seseorang yang ditunggunya muncul dari pintu masuk. Ia melambaikan tangan ke arah perempuan itu.
"Maaf, mengganggu akhir pekanmu," ucapnya dengan senyum pepsodent.
"Bukan masalah. Ada apa ini? Hanum nggak ada?"
"Aku ingin membicarakan Hanum, makanya aku cuma minta Kak Letta yang datang."
Mendengar lelaki itu memanggilnya dengan sapaan Kak, maka Arletta paham bahwa juniornya ini sedang menginginkan sesuatu. "Ngomongin orang dari belakang nggak baik, lho. Apa lagi dia orang terdekat kita," gurau Arletta.
Arletta merasakan hawa canggung. Ia seperti tahu apa yang ingin dibicarakan oleh Gibran. Tentu saja tentang perubahan Hanum yang tampak seperti masa kuliah dulu.
Tepat seperti dugaan, Gibran menceritakan kerisauannya atas perubahan sikap Hanum. Ia bahkan menyatakan kekecewaannya tentang Hanum yang tidak memberitahunya tentang cuti serta kerjasama dengan Johan terkait kasus perusahaan HL. Gibran benar-benar di ujung keputusasaan.
Tidak ada pilihan lain, Arletta pun berdeham. "Aku yang memintanya mengambil cuti itu. Dia harus mengenal siapa dirinya sekarang terlebih dulu. Dia nggak bisa gegabah menjalani hidup yang belum pernah dilalui. Bisa salah arah, dan kamu bisa jadi korban terparah," tanggap Arletta.
Gibran menautkan kedua alisnya. Jantungnya berdetak lebih cepat, sepertinya ia memang harus mempercayai hal yang hampir mustahil terjadi ini.
"Siapa pun akan sulit mempercayai ini, termasuk aku. Tapi, karena itu adalah Hanum, aku mempercayainya. Dia Hanum yang datang dari tujuh tahun lalu, di mana kalian belum bertemu. Wajar dia kaget ketika kamu datang dan mengaku sebagai tunangannya. Please, kita harus membantunya. Jangan sampai dia tetap menaruh harap pada Johan yang dulu menghinanya dan kini mengejar-ngejarnya. Di sini bukan hanya Hanum yang harus bertahan, tapi juga kamu. Kalau kamu nggak mau kehilangan dia," tandas Arletta.
Gibran mengacak rambut lebatnya. Ia menatap manik gelap milik Arletta, di sana ditunjukkan tentang keseriusan dan kepercayaan. Arletta yang selama ini tinggal seatap dengan Hanum, langsung mengetahui bahwa Hanum jujur berkata tentang yang dialaminya. Sementara Gibran, orang yang ingin menghabisi sisa umurnya dengan Hanum, malah meragukan perempuan tersebut. Salahkah? Atau wajar karena situasi?
"Apa itu artinya kami harus memulai kembali dari awal?"
Anggukan mantap dari Arletta menjawab pertanyaannya. Napas berat Gibran terdengar. Bagaimana ia harus memulai apa yang telah dilewati selama tujuh tahun ini?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro