Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

IV. Johan Mengikuti

Hanum yang penat, tidak sempat merebahkan tubuh di kasur kesayangannya. Pasalnya, kamar yang biasanya polosan, hanya ada lemari dan meja belajar, kini sudah berubah menjadi lebih ramai. Kamar yang dulunya hanya berwarna putih, kini telah menjadi kuning cerah dengan banyak tempelan di dinding. Ada foto-fotonya bersama Arletta menggantung, juga foto bersama lelaki tadi, Gibran.

Hanum menatap satu per satu foto itu. Fotonya bersama Arletta sebagian besar tidak diketahui kapan itu terjadi, tapi yang pasti bibirnya melengkung sempurna mengetahui bahwa hubungannya dan sahabatnya itu bertahan selama ini. Pasti banyak perselisihan yang terjadi dalam persahabatan mereka, dan pasti pula Arletta yang banyak mengalah dengan kepribadian cueknya.

Memandangi fotonya bersama Gibran yang mengaku sebagai tunangannya, perasaannya sedikit aneh. Terlalu banyak kebersamaan mereka yang diabadikan dalam bentuk gambar, dan Hanum memajang semua itu di kamarnya.

"Dari foto-foto ini aku terlihat sangat mencintainya. Senyumku selalu mengembang, bahagia banget kelihatannya. Jadi, penasaran, kami kapan jadiannya ya? Aah, kacau banget hari ini. Dia juga kenapa nggak percaya, sih, dengan omongan aku tadi? Padahal aku udah jelas-jelas bilang datang dari masa lalu. Secinta itu dia sama aku sampai nggak percaya dengan hal konyol yang sedang terjadi?"

Hanum kembali mengingat percakapannya dengan Gibran tadi siang.

Bukannya terpuruk atau kecewa atau menganggap Hanum gila dengan pengakuannya yang datang dari masa lalu, Gibran malah tertawa hingga matanya tertutup.

"Kamu lucu banget, sih? Aku benar-benar yakin kamu sekarang sedang stress. Atau kamu baru selesai nonton drama tentang time travel ya? Terus kamu ngaku-ngaku gini dengan sengaja memakai pakaian seperti zaman kuliah dulu? Astaga. Aku sekarang tahu kenapa kamu hari ini bertingkah aneh. Ternyata cuma karena drama. Kamu bikin aku panik, tahu nggak?"

Hanum masih mengingat jelas Gibran yang masih saja tertawa, sementara Hanum termangu melihat lelaki itu. Hanum sudah berkata jujur, tapi dikata karena terbawa drama. Akan tetapi, lelaki itu sepertinya sudah mengenal Hanum dengan sangat baik. Hanum memang tipikal yang suka terbawa arus dengan drama yang baru saja ditonton. Arletta sering menjadi korban arus tersebut. Seperti saat menonton drama yang tokoh utamanya hamil di luar nikah, ia akan bertanya bagaimana jika dirinya seperti tokoh tersebut, apa Arletta masih mau berteman dengannya? Arletta cukup menjawab dengan memukul kepala Hanum dan berdoa agar dia segera sadar.

Giliran sudah begini, ia merindukan perempuan itu. Ia ingin cerita tentang banyak hal. Sekarang, ia ingin kembali ke masa lalu. Bukan karena sudah mengetahui siapa yang akan menjadi pendampingnya kelak, melainkan terlalu banyak hal yang telah dilalui tanpa diketahui. Hanum dibuat bingung sendiri dengan situasi ini. Bagaimana ia harus menghadapi situasi ini seorang diri. Membayangkannya saja ia seperti sudah tidak mampu. Lebih baik memasak untuk Johan setiap hari daripada harus memikirkan cara mengatasi keadaan sekarang.

"Num, udah pulang?"

Hanum yang menenggelamkan wajah di atas meja langsung bangkit dan berlari ke pintu. "Mamaaa," sapanya cepat sambil memeluk perempuan berseragam cokelat itu.

"Tumben langsung meluk? Biasanya juga cuma cengar-cengir doang," balas Marika, mamanya Hanum.

"Aku harus gimana, Ma? Aku bingung banget sekarang, pengen balik aja," ungkapnya dengan nada sedih.

Marika mengelus rambut gelombang putri tunggalnya. "Apa yang mengganggumu, Nak? Kamu ada masalah dengan Gibran?" Marika menuntun putrinya duduk di tepi ranjang.

Hanum memandang mata mamanya. Ingin sekali rasanya mengatakan apa yang sedang terjadi pada dirinya, tapi mengingat reaksi Gibran tadi, tak menutup kemungkinan mamanya juga akan demikian.

"Nggak apa, Ma. Aku cuma lagi banyak pikiran aja," jawabnya dengan menarik napas dalam.

"Di kantor lagi padat-padatnya pekerjaan ya? Mama, kan, udah bilang, kalau kamu nggak sanggup handle sendirian, jangan terima semua job yang diberikan untuk kamu. Alihkan sama juniormu atau yang lain. Kamu selalu aja terima pekerjaan tambahan, padahal pekerjaanmu berjibun. Terlalu baik itu nggak baik untuk mental dan pikiranmu sendiri. Belum lagi kamu harus urus pernikahan. Awas aja kalau di hari pernikahan kamu lari ke pengadilan untuk urus persidangan klienmu," peringat Marika dengan tegas.

"Mama sangat menyukai Gibran?" pancing Hanum. Ia ingin tahu seperti apa sosok yang mengaku tunangannya tersebut.

"Tentu. Dia yang membuatmu menjadi seperti sekarang. Dia selalu tulus, selalu ada untuk kamu. Kamu beruntung memiliki dia sebagai pendamping. Dia juga nggak hanya mencintai kamu, tapi juga peduli pada Mama. Bukankah itu adalah nilai tambahan untuk seorang laki-laki?" sahut Marika dengan mengulas senyum. Marika benar-benar menyayangi Gibran. Hanum tahu itu, karena cara mamanya menilai Gibran sama seperti menilai Arletta dulu.

Dari jawaban Marika, Hanum menggarisbawahi satu kalimat. Dia yang membuatmu menjadi seperti sekarang. Ini menjadi tugas lagi untuk Hanum mencari tahu apa yang telah dilakukan Gibran terhadapnya.

Sebentar, mamanya menyebut tentang pekerjaan. Ini artinya dia bukan seorang pengangguran? Hanum bersorak senang dalam hati. Lalu, apa pekerjaannya? Akan sangat bodoh jika ia harus bertanya tentang ini pada mamanya. Pekerjaan yang berhubungan dengan pengadilan, mungkinkah dia seorang hakim? Luar biasa. Hanum menatap takjub pada dirinya sendiri yang bisa memegang palu di persidangan.

"Gimana perkembangan kasus Shelly yang dituduh memukul muridnya di sekolah itu? Kamu akan membelanya sampai tuntas, kan? Jelas-jelas orang tuanya mengada-ada, bukti udah di depan mata, masih aja ngotot guru SD itu bersalah," kesal Marika.

Membela? Maksud Mama aku seorang pengacara? Sh*t. Aku benci pekerjaan ini, kenapa malah menjadi kuasa hukum? Ternyata semua nggak sesuai ekspektasi semasa kuliahnya. Benar bahwasanya kita tidak bisa memprediksi masa depan. Hanum dan Arletta contohnya, mereka mendapati sesuatu yang mereka benci.

"Oh iya, Mama dengar kamu dan lelaki sialan itu bekerjasama dalamkasus pencemaran nama baik artis yang tersandung kasus penipuan itu ya? Kenapa kamu mau, sih, kerjasama dengan dia? Seperti nggak ada partner lain aja." Lagi-lagi Marika berkeluh kesah padanya.

"Lelaki sialan siapa, Ma?" tanya Hanum polos.

"Johan. Siapa lagi?"

Hanum mengerjap mata pelan-pelan. Dia ada di hidupku sampai tahun sekarang? Apa aku masih disakiti olehnya? Aku melarikan diri ke tahun sekarang untuk meninggalkannya, tapi ternyata dia ikut juga. Astaga. Takdir macam apa ini?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro