III. Dunia Hanum Berubah
April, 2029
Segala yang terpampang di depan mata Hanum tidak tampak seperti biasanya. Ia berdiri di jalanan yang tadi dilaluinya, hanya saja semua berbeda. Jajaran toko yang tadinya hanya dua-tiga tingkat, sekarang sudah berubah menjadi gedung-gedung tinggi di bagian kanan dan sebelah kiri telah menjadi taman.
Hanum melangkahkan kakinya. Ia mulai gelisah. Pintu yang membawanya ke tempat ini tidak ada. Dan sekarang, toko Kakek Tua itu juga ternyata sudah tidak ada lagi di sini. Semua sudah berubah menjadi taman kota yang dipenuhi dengan pohon rindang juga bunga warna-warni.
"Sayang, kenapa kamu terlihat sangat cemas?" Lelaki yang sedari tadi memanggilnya dengan sebutan 'sayang' sangat meresahkan.
"Kamu salah orang atau gimana?" tegur Hanum pada lelaki tersebut. Dilihat dari perawakannya, wajah lelaki itu sangat tampan—melebihi Johan—dan penampilannya rapi dengan setelan kemeja.
"Num, kamu lagi prank aku ya? Ini nggak lucu, sayang," tanggap lelaki itu dengan tatapan khawatir.
Hanum menatap lelaki itu lekat. Pikirannya kembali ke beberapa waktu lalu di mana ia menantang Kakek Tua untuk membuktikan ucapannya. Mungkinkah lelaki yang dimaksud Kakek Tua itu adalah dia? Ganteng banget. Tapi, kalau memang dia, aku harus bicara gimana? Masa' iya aku bilang datang dari masa lalu. Dia bakal ngira aku gila. Bilang kalau aku amnesia, aku nggak tahu sebelum aku ketemu dia aku ada mengalami apa. Ya Tuhan, aku memang benar ingin tahu siapa pasanganku di kemudian hari, tapi nggak setiba-tiba ini juga. Aku nggak ada persiapan apa pun, omel hatinya karena dibuat bingung oleh situasi.
"Apa kepalamu sakit lagi?" Lelaki yang tidak diketahui namanya itu meletakkan punggung tangan di dahi Hanum. Sedikit terasa hangat.
Lagi? Seingat Hanum, ia tidak pernah punya masalah dengan kepalanya. Apa dalam rentang waktu tujuh tahun yang dilaluinya dalam sekejap ini terjadi sesuatu pada dirinya?
"Kepalaku kenapa? Ayo ceritakan apa yang terjadi padaku belakangan ini," desak Hanum seraya melebarkan kedua bola matanya. "Oh iya, siapa namamu?"
Lelaki yang berdiri di depannya mengernyit, "Kamu nggak tahu aku? Sebentar, apa kamu sedang diikuti oleh orang-orang lagi? Penampilanmu nggak seperti biasanya. Kamu ada masalah apa?"
Bukannya mendapat jawaban, Hanum malah mendapatkan pertanyaan yang semakin membuatnya bingung. Bukankah penampilannya memang sedari dulu begini? Kenapa orang-orang hanya membicarakan tentang penampilan.
"Siapa namamu?!" bentak Hanum kesal.
Lelaki itu menghela napas. Ia mencubit gemas hidung Hanum. "Aku Gibran, sayang. Sekarang aku tahu kenapa kamu begini. Pasti kamu lagi datang tamu, kan? Setiap datang tamu kamu mencari perkara denganku. Sekarang kamu sedang berlakon seolah nggak ingat siapa aku. Baiklah, ayo kita mainkan peran itu," sahut lelaki yang ternyata bernama Gibran. Segala cemasnya hilang berganti dengan senyum karena berpiki ini bukanlah masalah besar.
"Kamu pasti sangat mencintaiku," lirih Hanum tiba-tiba tanpa disadarinya.
"Tentu aja. Kita akan menikah karena aku benar-benar mencintaimu," balas Gibran sambil mengecup kening Hanum.
Hanum mematung. Apa yang baru saja didengarnya. Menikah? Aku akan menikah di usia sekarang? Gimana mungkin? Aku masih mahasiswi. Jangankan untuk lulus kuliah, judul skripsi aja belum kepikiran. Eh, tunggu. Aku sedang berada di masa depan, itu artinya aku udah lulus, kan? Kalau begitu apa pekerjaanku di tahun ini? Nggak mungkin aku seorang pengangguran, kan?
Dibanding memedulikan omongan Gibran tentang mereka yang akan menikah, Hanum lebih memikirkan bagaimana kehidupannya sekarang. Ia harus mencari tahu terlebih dahulu tujuh tahun yang telah dijalani tanpa diketahui ini, agar tahu bagaimana harus bersikap terhadap orang lain. Ia yakin pasti ada yang berubah. Buktinya, lelaki di depannya saja mengaku sebagai orang yang akan menikah dengannya.
Hanum mengambil ponsel dalam ranselnya. Ia menghubungi nomor yang berada pada panggilan teratas. Siapa lagi kalau bukan Arletta. Ia yakin, perempuan jutek tersebut akan sangat bisa membantunya dalam situasi ini.
"Kamu masih menyimpan ponsel lamamu? Bukankah katamu kamu kehilangan ponsel itu?" tanya Gibran yang membuat Hanum linglung.
Hanum melihat orang-orang yang berjalan di sampingnya, tidak ada lagi yang menggunakan ponsel sepertinya. Milik mereka lebih berkelas. Ia benar-benar terlihat ketinggalan zaman. Kuno.
Hanum mengabaikan pertanyaan Gibran, atau lebih tepatnya ia tidak tahu bagaimana menjawabnya. Panggilannya tidak terhubung pada nomor Arletta. Apakah jaringan di tahun 2029 bermasalah sampai ia tidak bisa menghubungi sahabatnya?
"Siapa yang kamu hubungi sedari tadi?" Gibran penasaran sambil mengintip ke layar ponsel kuno milik Hanum.
"Aku menelepon sahabatku, tapi nomornya nggak bisa dihubungi. Ada apa dengan tahun sekarang? Menyebalkan!" keluhnya tanpa mengalihkan pandangannya dari ponsel.
"Kamu juga lupa bahwa sahabatmu itu sedang bulan madu di Paris?"
Hanum mendongakkan kepalanya dengan mata lebar. "Bulan madu? Dia nikah dengan siapa?"
"Siapa lagi? Jelas dia menikah dengan kekasihnya, Mario," jawab Gibran enteng.
"Mario???" Hanum memegang kepalanya. Ia tidak habis pikir. Setahunya, Mario adalah mahasiswa paling nakal di kampus yang selalu membuat masalah dengan Arletta. Nilai akademik tidak pernah bagus, ke kelas cuma untuk tidur di sudut ruang lalu pulang.
Hanum benar-benar penasaran dengan apa yang telah terjadi selama tujuh tahun ini. Bagaimana bisa Arletta terpaut dengan lelaki begajulan itu? Apa Mario menggunakan guna-guna untuk memikat hati sahabatnya? Ya Tuhan, Hanum benar-benar diserang rasa ingin tahu sekarang.
"Sayang, lihat aku," pinta Gibran seraya mengangkat dagu Hanum. Ia menatap manik cokelat itu dan tidak menemukan yang dicarinya. Tatapan Hanum datar, tanpa rasa apa-apa. "Kamu kenapa sebenarnya? Kamu tiba-tiba tadi menghubungiku ingin bertemu, dan yang kudapat kamu malah bertingkah aneh seperti ini. Apa yang mengganggumu?" Cara Gibran bertanya tidak mengintimidasi sama sekali. Ia seperti seorang Bapak yang bertanya pada gadis kecilnya. Hati Hanum tersentuh. Pagi tadi ia dihina oleh Johan, dan siang ini dia diperlakukan selembut ini oleh lelaki yang baru ditemuinya.
Hanum menelan ludahnya. Ada sebuah pertanyaan yang sedari tadi ingin diajukannya. "Apa kita berkencan?"
Gibran tertawa mendengar pertanyaan Hanum. "Aku memanggilmu 'sayang'. Aku katakan kita akan menikah. Dan kamu bertanya tentang kita berkencang? Kita udah tunangan. Apa yang ingin kamu pastikan sebenarnya, sayang?"
Mengabaikan pertanyaan-pertanyaan Gibran, ia melanjutkan pertanyaannya. "Kamu percaya dengan perjalanan waktu?"
Gibran mengernyit. Ia tidak mengerti dengan pertanyaan yang diajukan tunangannya itu. "Aku sering mendengar teori itu. Tapi, kalau ditanya tentang percaya atau nggak, aku nggak bisa menjawabnya. Terdengar sangat mustahil. Kenapa, sayang?"
"Aku datang dari masa lalu untuk bertemu dengan pasanganku yang ternyata kamu," ungkap Hanum dengan sangat serius.
Sekarang, giliran Gibran yang mematung. Wajahnya tak berekspresi memandang Hanum yang tidak tersenyum sama sekali.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro