II. Toko Masa Depan
Hanum menangis tersedu di pelukan Arletta. Kata-kata menyakitkan yang keluar dari bibir Johan tidak dapat dimaafkan. Sebagai mahasiswa hukum, semestinya Johan paham yang dilakukannya adalah body shamming. Bisa saja Hanum menuntut lelaki itu, tapi pasti orang-orang akan lebih beranggapan buruk tentangnya. Cinta ditolak, hukum bertindak. Padahal, bukan begitu maksudnya.
"Memangnya aku jelek banget ya, Let, sampai dihina begitunya? Aku nggak pernah merasa aku jelek, kenapa harus dikatain begitu?" adu Hanum dalam tangisnya.
Arletta tidak pernah melihat keburukan di diri Hanum seperti yang dikatakan Johan. Wajah Hanum memang polos, dia tidak berdandan, tapi bukan berarti jelek, kan? Secara penampilan juga Hanum memang bukan perempuan yang modis atau pun mengenakan barang bermerek. Ia berpakaian senyamannya, dan di mata Arletta itu biasa saja. Ia tidak mengerti pandangan laki-laki yang mengatakan perempuan cantik berdasarkan fisik dan penampilan.
"Dia itu emang bukan lelaki yang tepat untuk kamu. Terjawab, kan, sekarang. Dia lebih mentingin fisik yang bisa cacat kapan aja daripada kemahiran kamu memasak yang bisa buat dia kenyang sepanjang masa. Udah, nggak perlu lagi mikirin lelaki yang namanya Johan. Bila perlu hapus semua memori tentang dia. Kamu menyia-nyiakan dua tahunmu untuk suka dengan lelaki begitu," ungkap Arletta.
Hanum menyeka air matanya dan turut membersihkan lendir yang mengalir dari kedua lubang hidungnya. "Aku titip absen ya," ucapnya seraya beranjak dan mengambil ransel yang tergeletak di kursi. "Bekal itu untuk kamu aja. Bawa pulang dan cuci kotaknya nanti."
Arletta tidak sempat menanyakan kemana perempuan itu akan pergi karena Hanum jalan bergegas. Ia hanya memandangi sekotak bekal yang telah disiapkan Hanum. Ia tidak sanggup menelannya lagi, karena di rumah tadi ia sudah menghabiskan dua piring.
"Aku kasih ayam kampus aja kali ya. Pasti habis," monolog Arletta dan berlari ke belakang kantin, di mana di sana ayam milik penjaga kantin terkurung.
Sementara itu, Hanum berjalan tak tentu arah. Ia hanya melangkah ke mana kaki membawanya. Di saat seperti ini, entah kenapa ia harus melihat beragam macam pasangan di depan mata. Ada yang sedang asik makan es krim, ada yang jalan bergandengan tangan, bahkan naik motor berdua sambil berpelukan. Ingin rasanya Hanum memaki mereka karena menampakkan kemesraan padanya. Hanum iri.
"Ya Tuhan, kenapa harus aku yang nggak ada pasangan di dunia ini? Padahal Kak Johan tinggal bilang iya dan urusan selesai. Kami berpacaran. Kenapa sesulit ini punya pacar? Dosa apa yang kulakukan di masa lalu?" teriaknya pada langit. Beberapa orang yang melewatinya menatap aneh sambil berbisik-bisik—berpikir mungkin dia orang gila.
"Apa kalian lihat-lihat? Mentang-mentang gandengan, ledekin aku yang jomblo ya?" tegurnya pada sepasang kekasih yang langsung berjalan lebih cepat.
Tak lama setelah ia mengeluh pada langit, matanya tertarik pada sebuah papan iklan di pinggir jalan berwarna merah. Di sana tertulis Lihat Masa Depanmu Bersamaku. Karena rasa ingin tahunya, Hanum mempercepat langkah untuk mendatangi tempat tersebut.
Tempat tersebut berbeda dari toko-toko jajarannya. Tempatnya kecil dan desainnya serba merah. Di depan pintu kaca yang tertutup tirai, ada sebuah lonceng merah yang lucu dengan aksesoris singa di sekelilingnya. Bukannya masuk ke dalam, Hanum malah tergoda untuk memainkan lonceng tersebut. Suaranya tidak seperti lonceng pada umumnya. Ketika disentuh, lonceng tersebut akan mengalun dengan sangat indah, menenteramkan.
"Kupikir anak kecil mana yang usil memainkan loncengku." Suara tersebut mengagetkan Hanum. Di belakangnya berdiri seorang kakek tua, kisaran usia 70an. Hanum memperhatikan si Kakek Tua dari ujung kepala hingga kaki. Rambutnya putih sempurna, tak ada sehelai pun yang masih hitam. Pakaiannya lusuh, bahkan ada beberapa lubang di bagian bawahnya. Kaki keriputnya hanya tertutup sandal jepit.
"Kakek jualan lonceng di sini?" tanya Hanum sambil menunjuk lonceng yang menggantung.
"Ayo kita masuk anak kecil yang sedang patah hati." Kakek Tua masuk ke dalam toko, sementara Hanum masih berdiri di pijakannya. Ia berpikir sejenak, dari mana beliau tahu bahwa dirinya sedang patah hati? Mungkinkah kakek ini salah satu dari beberapa orang di jalan yang melihatnya berteriak pada langit?
Saat Hanum memasuki toko tersebut, matanya terpukau melihat segala sesuatu yang ada di sana. Mulai dari guci-guci antik, perabotan antik, sampai jam-jam dinding yang terlihat kuno tapi mewah. Walau tempat ini kecil, tapi isinya penuh kemewahan yang menyenangkan mata.
"Kamu masih kecil, tak perlu bersedih hanya perkara asmara yang bukan takdirmu," ujar Kakek Tua sambil mengelap sebuah cangkir berwarna putih dengan pinggiran kuning keemasan.
Hanum segera mendekat. "Kakek tahu dari mana aku bermasalah perkara asmara?" tanyanya dengan mata menyipit, seolah sedang menyelidiki.
"Bukankah kamu datang ke sini karena hal itu?" Kakek Tua bertanya tanpa mengalihkan pandangannya sama sekali.
Pertanyaan itu menyadarkan Hanum. Ia memang mendatangi tempat ini karena papan iklan di depan, tapi terlalaikan dengan lonceng dan barang antik lainnya.
Hanum mengangguk pelan. "Apa maksud papan iklan di depan? Apa di sini ada seorang peramal yang bisa memprediksi masa depan?" tanyanya antusias.
"Apa yang ingin tahu tentang masa depanmu? Pasangan? Hanya itu?" Kali ini Kakek Tua memperhatikan wajah Hanum dengan intens. Bola matanya yang abu tampak tajam walau tertutup oleh pelipis yang keriput.
"Kakek peramal? Aku pikir perempuan berjubah seperti di drama-drama yang menjadi peramal. Mana bola kristalnya? Bukankah untuk meramal menggunakan bola kristal? Atau pakai kartu tarot?"
"Takdirmu bukan untuk bersama seniormu itu. Kamu hanya membuang waktu selama ini menghabiskan belanjaan untuk dia. Takdirmu akan hadir tak lama lagi."
Hanum menutup mulutnya dengan kedua telapak tangan. "Benar-benar peramal," gumamnya yang terdengar jelas di telinga Kakek Tua. "Siapa dia? Pegawai negeri? Pengacara? Atau—"
"Notaris."
Mata Hanum membola. Nggak mungkin. Mana ada peramal yang jelas-jelas mengetahui sejauh itu. Kakek ini terlalu mengarang. Dia nggak menggunakan alat apa pun untuk meramal. Apa yang dilihatnya sampai berani mengatakan pasanganku nanti seorang notaris? batinnya sambil melihat Kakek Tua dengan ujung mata.
"Aku melihat wajahmu, karena itu aku tahu," jawab Kakek Tua yang ternyata dapat membaca pikirannya. Hanum menjadi semakin 'gila'. Bagaimana ini mungkin terjadi? Biasanya hal-hal ini hanya ada dalam tontonannya, tapi kini ia mengalaminya sendiri.
"Kakek berbohong padaku. Apa buktinya?" tantang Hanum dengan ekspresi songongnya.
Kakek Tua tersenyum simpul. "Yakin kamu mau lihat buktinya?"
Hanum mengangguk mantap. Kakek Tua mengulurkan telapak tangannya yang disambut ragu oleh Hanum. Mereka berjalan ke depan sebuah pintu bergagang keemasan. Hanum mulas waswas ketika tangan keriput itu mulai memegang gagang pintu. Sekarang, pelecehan seksual terjadi di mana-mana. Ia tidak ingin menjadi salah satu korbannya, apalagi oleh seorang kakek tua.
Sebelum Hanum sempat melarikan diri, pintu pun dibuka dan Kakek Tua segera menarik Hanum ke dalamnya. Sungguh, yang tampak di depan mata tidak seperti apa yang dia kira. Matanya memastikan kembali bahwa ia masih hidup di dunia sekarang. Semuanya tampak berbeda.
"Di mana kita?" tanyanya pada Kakek Tua yang masih berdiri di sampingnya.
"Tahun 2029."
"Apa?"
Ketika Hanum menoleh, Kakek Tua sudah tidak ada lagi di sampingnya. Ia melihat ke belakang, pintu asal ia masuk juga sudah tidak di sana. bagaimana caranya ia kembali?
"Hai, sayang. Maaf, aku telat," ujar seorang lelaki menyapanya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro