7). Decision
I'll keep this distance myself. -F.M.
*****
"Yan, hanya kamu yang Mama punya sekarang."
Ferdian mengangkat wajah, kemudian menunjukkan tawanya yang terdengar hampa dan terkesan menyindir, mengabaikan ekspresi mamanya—–Helen, yang balas menatapnya dengan tatapan sedih karena sepasang matanya tampak berkaca-kaca sekarang.
Mereka sedang berkomunikasi via video call melalui laptopnya Ferdian. Meski zaman sekarang teknologi sudah sangat canggih yang mana komunikasi kedua belah pihak gampang dihubungkan hanya lewat video call atau media sosial lain, nyatanya mereka tidak memanfaatkannya dengan baik, bahkan dengan papanya—–Danny, pun tidak. Kedua orang tuanya terlalu sibuk untuk menghubungi cowok itu.
Itulah sebabnya Ferdian melepaskan tawa hampa tersebut, karena segala sesuatu tentang keluarganya memang seironis itu.
Tidak ada yang tahu seretak apa hubungan ketiganya karena semua ditutupi dengan begitu rapat oleh Helen, yang bagi Ferdian tidak ada bedanya dengan munafik.
Kecuali Orion Lovandra, satu-satunya saudara tanpa hubungan darah yang berani kepo dan mendekat padanya.
Munafik. Ya, kata itu tidak asing. Selain julukannya cocok untuk keluarganya, kata itu juga mendeskripsikan dirinya sendiri seperti yang Krisna nilai atas dirinya.
"Yan, seperti yang pernah Mama ungkapkan sama kamu, Mama sangat ingin mempertahankan keluarga kita tetap utuh, tapi—–"
"Aku mau tanya, Ma. Apa Papa segitu bencinya sama aku?" bisik Ferdian, dengan kedua mata yang telah memerah tanpa bisa dicegah, sangat berharap kalau semua ini adalah mimpi.
Meski umur Ferdian sudah layak disebut dewasa dan telah dibiasakan hidup sendiri sejak SMP, tetap saja dia juga seperti anak-anak lain yang membutuhkan perhatian dan juga bisa terluka di saat eksistensinya tidak diharapkan oleh kedua orangtuanya.
"Yan, itulah sebabnya Mama mau berusaha untuk—–"
"Persetan dengan status itu, Ma! Jawab pertanyaan aku!" hardik Ferdian keras, sekali lagi mengabaikan Helen yang menangis sesenggukan sekarang. "Seperti yang pernah Papa bilang waktu itu, kan? Aku udah bukan anak kecil lagi, jadi kalian udah nggak perlu sandiwara lagi."
Helen terkesiap mendengar semua itu, lantas mengusap air matanya dengan cepat dan membuang napas panjang dengan keletihan yang kentara di raut wajahnya. "Papa bukannya benci kamu, Ferdian. Lebih tepatnya, Papa kamu benci sama pernikahan ini dan bisa dibilang... ini semua kesalahan Mama."
"Itu kurang lebih sama maknanya, Ma. Terlepas dari ending kalian, aku juga tetap bakal diabaikan, kan? Seperti biasa."
"Yan, dengerin Mama...."
"Sebenarnya walau kalian berhasil menutupi semuanya, aku bisa merasakan bagaimana kecanggungan hubungan keluarga kita yang semakin lama semakin hambar. Mama sama Papa hanya mengandalkan modus kerja berpindah-pindah dari satu kota ke kota lain, padahal Papa memanfaatkan itu untuk hidup terpisah dari Mama, sedangkan Mama berusaha mengejar Papa dengan berharap agar hubungan kalian bisa rujuk.
"Tapi Mama jadi melupakan satu hal penting," lanjut Ferdian setelah jeda beberapa saat dan Helen tidak kunjung mengeluarkan suara seakan semua yang diungkapkan anak semata wayangnya seperti menamparnya dengan telak. "Mama lupa kalo Mama punya anak yang membutuhkan kasih sayang seperti anak-anak normal lainnya, padahal kalo ending kalian ternyata memang harus berpisah, aku masih bisa memakluminya—–cepat atau lambat. Bukankah perceraian itu sudah biasa di zaman modern ini? Tapi Mama malah berusaha mempertahankan hal yang tidak mungkin sehingga sekarang Mama tidak hanya kehilangan suami Mama sendiri, tetapi juga kehilangan aku."
Kumpulan air mata baru mengalir kembali dari pelupuk mata Helen, yang efeknya segera menular ke Ferdian meski bedanya air mata cowok itu hanya sebatas mengalir turun tanpa dibarengi emosi.
"Empat tahun, Ma. Itu bukan waktu yang singkat," kata Ferdian lagi setelah menguatkan diri sendiri dengan susah payah. "Selama aku sakit, kesepian, dan bahkan dalam keadaan senang sekali pun, aku nggak punya orang tua untuk menyalurkan keluh kesah aku sebagai anak. Aku belajar keras, menjadi anak yang sangat layak dibanggakan oleh semua orang, berharap jika setidaknya aku punya sejumlah prestasi, orang tuaku mungkin bakal kembali dan berkumpul bersama aku. Alih-alih menjadi anak nakal yang mendominasi buku catatan hitam di sekolah, aku menjadi anak teladan, berharap setidaknya seorang Ferdian Michiavelly layak dibanggakan tidak hanya menjadi murid, tetapi juga anaknya Helen sama Danny.
"Tapi apa? Empat tahun aku tunggu, tapi kalian kayak nggak punya anak di sini. Aku nggak ada bedanya kayak anak yatim piatu yang dikasihani sama keluarga Lovandra, walau aku beruntung punya mereka karena setidaknya aku nggak jadi punya sejenis gangguan mental atau apa. Juga karena kalian, aku nggak berani terlalu dekat dengan siapa pun atau bahkan menjalani kehidupan normal seperti anak abege lain yang bisa kasmaran sama gebetan yang disukainya. Mama mau tau kenapa?"
Helen mengangkat kepalanya dengan tatapan luka, menatap dengan ragu anak kandungnya karena rasa malu telah mendominasi sekarang.
"Karena hancurnya pernikahan kalian membuat aku fobia dengan status. Kedengarannya mungkin lebay, tapi itu yang aku rasakan sejak tau kebenarannya. Selain itu, aku juga mempertimbangkan kemungkinan Mama bakal bawa aku pindah suatu saat, jadi aku nggak mau memberikan luka persis seperti yang aku rasakan, yaitu diabaikan."
Ferdian tertawa, kesannya jadi menyedihkan karena masih dibarengi dengan aliran air mata yang belum kunjung berhenti. "Tapi setelah ngomong sama Mama, aku baru sadar ternyata selama ini cuma angan-angan aku doang. Sampai kapan pun, mungkin aku nggak bakal dibawa kemana pun karena prioritas Mama hanyalah seorang Danny."
"Ferdian...."
"Aku bakal baik-baik aja kok, Ma. Tenang aja. Empat tahun cukup untuk aku recovery dan sadar sama kenyataan pahit dalam hidup. Lagian, aku bersyukur setidaknya aku terlahir sebagai cowok. Nggak bisa aku bayangkan kalo aku lahir sebagai cewek tapi harus hidup sendiri dengan status di bawah umur. Jadi, Mama teruskan aja misi Mama untuk bujuk Papa."
Helen sudah capek menangis sehingga air matanya telah mengering sedari tadi dengan sendirinya. Wanita itu menatap Ferdian dengan raut wajah bersalah, lantas berkata, "Seperti yang Mama bilang tadi, Yan, tinggal kamu yang Mama punya sekarang. Benar yang kamu bilang, empat tahun bukan waktu yang singkat. Meski terlambat, Mama ingin menebus semua kesalahan Mama sama kamu. Jadi, izinkan Mama berada di sisi kamu. Boleh kan?
"Pertama-tama, seperti yang kamu harapkan dari dulu, Mama ingin bawa kamu pindah. Yan, kita kembali ke Bandung ya, kembali ke kampung halaman Mama. Mama udah memutuskan nyerah sama papamu, walau seharusnya keputusan ini sudah dibuat sejak dulu. Mama tau ini udah terlambat untuk memulai semuanya dari awal, tapi Mama masih ingin tau pendapat kamu. Jika Mama mau ajak kamu pindah, apa kamu bersedia?"
~~~~~
Luna memberengut kesal sembari mengentakkan sebelah kakinya, lengkap dengan bibir yang dimanyunkan hingga membuat Mia menghirup banyak-banyak oksigen supaya kesabarannya tidak habis.
"Kamu selalu aja nolak tiap disuruh mampir ke apartemennya Nak Ferdian," omel Mia. "Di mana-mana tuh ya, semua cewek senang banget ampe mau terbang kalo disuruh soal ginian. Lah kamu? Udah langsung parno gitu!"
"Harusnya Mama bangga kalo anak perempuan Mama ini adalah cewek baik-baik," kilah Luna membela diri. "Lagian udah aku bilang berkali-kali sama Mama kalo dia udah bukan gebetan aku lagi, jadi bisa nggak sih Mama jangan terus-terusan comblangin aku sama dia? Suruh Orion aja yang nganter, dia pasti nggak bakal nolak deh."
"Aku sama Kak Iyan memang akrab banget, tapi aku merasa udah terlalu sering mampir ke apartemennya sejak Kakak ngaku mau move on," kata Orion yang tahu-tahu menunjukkan eksistensinya di ruang makan di mana kakak dan mamanya berada. "Apa kata tetangga nanti? Apalagi aku tau password apartemennya Kak Iyan. Gitu-gitu aku nggak mau dicap sebagai penyuka sesama jenis, apalagi muka aku manis-manis gini bahaya dong kalo disangka aku punya kelainan."
Luna lantas memicingkan matanya. "Kamu sama aja kayak Mama. Ini semua modus, kan? Biar aku selalu ada alasan buat ketemu sama dia. Di sekolah udah cukup aku liat muka narsisnya dan aku harus ke apartemennya lagi?"
"Yang penting ganteng, kan?" tanya Mia dengan senyum puas, yang segera mendapatkan tatapan jengah oleh Luna. "Kalian itu masih muda. Mungkin aja Nak Ferdian maunya pacaran serius tunggu kalian lulus SMA atau apa. Yang kayak gini malah Mama suka. Cowok kayak Nak Ferdian itu susah didapet loh."
"MAMA!!!!"
"Udah deh, cepetan kasih berkas ini ke Nak Ferdian sekalian sama soto ayamnya. Udah sore gini pasti Nak Ferdian udah laper."
"Mama lebih tau dari aku kalo Ferdian yang Mama sayangi itu jago masak. Kalo Mama kasih asupan makan terus, dia nggak bakal mandiri dong!"
"Iya, Mama tau. Dia sempurna ya, kayaknya nggak ada yang nggak dia bisa deh. Calon menantu idaman banget!"
"Dia memang serba bisa dan serba mampu, kecuali balas perasaan aku kayaknya." Luna berbisik, mendadak baper sementara Mia dan Orion saling melempar pandang, lantas kembali lagi ke arah cewek itu secara bersamaan.
Si bungsu dan Mia juga memasang ekspresi wajah yang sama; sama-sama dibuat kicep oleh pernyataan si sulung tadi.
Meski menolak, Luna akhirnya keluar dari apartemen lantas melangkah ke apartemen Ferdian yang bertetanggaan dengan tempat tinggalnya. Cewek itu menekan bel malas-malasan dengan tangan yang bebas dari tas bekal dan selembar surat resmi yang Luna tidak ingin tahu apa isinya. Yang jelas, berkas itu dialamatkan pada Ferdian yang selalu dititipkan pada keluarganya.
Bel berbunyi sekali. Dua kali. Tiga kali.
Ceklek.
Pintu dibuka dari dalam, tetapi tidak ada kepala yang menyembul dari baliknya padahal Luna mau langsung menyerahkan semua titipan tersebut pada Ferdian tanpa perlu repot-repot masuk ke dalam.
Karena tidak punya pilihan, Luna akhirnya masuk. Ini bukan kali pertama cewek itu masuk sendirian ke apartemen Ferdian, tetapi tetap aja dia merasa canggung dan tidak terbiasa.
Namanya juga apartemen, desain interior milik Ferdian sama saja dengan apartemen keluarga Luna meski bedanya, isi perabot di dalam tidak banyak sehingga luas apartemennya terkesan jauh lebih lapang.
Tidak hanya tampan dan serba bisa, Ferdian juga rapi dan bersih. Luna bisa menilai semua itu hanya dalam sekali pandang di apartemennya. Mungkin itu jugalah yang menyebabkan adik semata wayangnya senang mengunjungi apartemen cowok itu.
Setelah membukakan pintu untuk Luna, Ferdian sepertinya lebih tertarik untuk kembali melanjutkan me-time-nya; berbaring di sofa dengan salah satu lengan memblokir matanya sendiri. Bagi Luna, ini situasi yang menguntungkan jadi dia tidak perlu berlama-lama di sana.
Luna segera meletakkan barang bawaannya di atas meja dekat sofa dan hampir saja berhasil berputar balik untuk kembali ke apartemen ketika tangannya ditarik oleh tangan Ferdian satunya yang bebas.
Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro