6). Jealous? Absolutely, Yes
I'm always consumed with jealousy.
-F.M.
*****
Luna sebenarnya tidak terbiasa dengan usul Yoga yang menawarkan bantuan untuk membantunya move on dari Ferdian. Bukannya cewek itu merasa risih, lebih tepatnya dia merasa tidak enak karena terkesan memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan sesuai dengan apa yang sempat diutarakannya pada Yoga sepulang dari ruang guru waktu itu.
Gimana ya, meski ini semua adalah gagasan dari Yoga sepenuhnya, tetap saja Luna merasa ini tidak benar.
Luna termasuk tipikal yang senang memikirkan konsekuensi atas keputusan yang dibuat, terlepas apakah konsekuensi tersebut bermakna positif atau malah negatif, karena semua kemungkinan bisa membantunya lebih waspada terhadap risiko yang mungkin saja lebih berbahaya daripada tidak memikirkannya secara matang.
Bagaimana jika Yoga akhirnya benar-benar menautkan perasaan pada Luna? Jawabannya mungkin akan bagus jika pada akhirnya dia juga bisa membalas perasaannya. Lantas bagaimana jika kemungkinan terburuknya, cewek itu masih tidak bisa melepaskan status bucinnya dari Ferdian?
Yoga akan tersakiti juga, dan jujur saja ini adalah keputusan paling terakhir yang ingin dipilihnya sekarang.
"Ga, soal kemarin...." Luna memulai tetapi mendadak suara dalam tenggorokan seperti menahannya untuk menyelesaikan kata-kata, karena otaknya buntu dan juga cemas jika Yoga akan tersinggung dengan perkataannya.
Sekarang sedang jam istirahat kedua di saat sebagian besar murid masih tersebar ke mana-mana, entah ke kantin atau sekedar duduk santai di bawah naungan pohon rimbun di sudut sekolah. Meskipun demikian, penghuni bangku barisan belakang kelihatannya tidak berminat untuk keluar kelas, lebih tepatnya memilih untuk me-time di bangku mereka masing-masing; Virga tidur ayam di atas meja dengan sebelah lengan sebagai bantal kepalanya sementara Nara mendengar lagu dari earpods-nya. Krisna lain lagi, cowok itu sibuk mengambil foto selfie sambil sesekali mengecek ponsel untuk menyeleksi foto-fotonya.
Tidak usah bertanya di mana Ferdian dan Elina berada karena Luna tidak ingin kepo.
Atau mungkin, berusaha menahan dirinya untuk tidak kepo.
"Kemarin kenapa?" tanya Yoga, masih asyik dengan kegiatan menggambar diagram yang sebenarnya adalah PR yang barusan dihadiahi oleh guru mereka sebelum jam istirahat kedua.
"Gue rasa kemarin bukan ide yang bagus. Kalo gue nolak, lo nggak bakal marah, kan?"
Yoga lantas mengalihkan fokusnya dari tugas, menatap Luna lebih intens dan serius dari biasanya, sukses membuat cewek itu salah tingkah. "Ternyata selain cantik dari luar, lo cantik dari dalam juga, ya."
Luna kontan dibuat membeku sementara rona merah mulai menjalari pipinya sekarang, membuat Yoga menunjukkan senyum paketnya lagi dengan begitu manis yang lama-kelamaan berubah menjadi tawa lepas hingga kacamatanya melorot. "Dan lo ternyata bisa malu juga. Gue kira dewi kayak lo udah biasa dipuji dan dipuja-puja. Am I right?"
"Hmm... kayaknya hampir nggak ada sih," jawab Luna pelan, diiringi senyum canggung.
"Hmm... iya juga ya. Mungkin lo sibuk fokus sama Ferdian jadi nggak ada yang berani gombalin lo."
Luna terdiam, sedangkan Yoga berusaha menahan diri untuk tidak terus menggoda teman sebangkunya.
Karena Yoga mulai ketagihan menggoda Luna.
Apakah ini normal? Yoga mulai menertawakan kekonyolannya sendiri yang merasa kalau progress-nya terlalu cepat. "Soal pertanyaan lo tadi, gue nggak marah kok. Tapi tetap aja penawaran gue tetap berlaku sampai kapan pun. Lo diizinkan untuk bebas bersandar ke gue kapan pun lo butuh."
"Lo baik banget," puji Luna bersungguh-sungguh, tidak sadar kalau sedari tadi duo Nara dan Virga menguping secara diam-diam pembicaraan mereka. Keduanya lantas saling berpandangan satu sama lain dan seringai iseng mereka terbit begitu saja.
"Pujian yang bagus, nilai gue bertambah dong," kata Yoga senang. "Berapa nilainya untuk sementara?"
"Lo mau gue nilai dari segi apa?" pancing Luna, mendadak ingin menjahili Yoga. "Penampilan? Kepintaran? Karakter?"
"Semuanya," jawab Yoga sembari menutup tugas Matematika, jelas sudah tidak tertarik lagi untuk meneruskannya.
"Kalo nilai dari segi kasih sayang lo ke Yoga, udah berapa nilainya?" goda Virga dengan menaikturunkan alis matanya nakal, segera membuat duo Luna dan Yoga hampir terlonjak dari bangku mereka sementara Nara juga memandang mereka dengan tatapan yang sama dengan pacarnya.
"Kayaknya gue bisa rasain chemistry kalian," goda Nara. "Good job, Mister Pradipto! Lebih jago dari Mister Aditya, malahan!"
"Gue nilai dari penampilan dulu deh ya," kata Luna, mengabaikan dua teman dekatnya seakan mereka adalah bagian dari bangku. "Kayaknya lo lebih cocok tanpa kacamata deh."
Luna lantas mengulurkan tangannya untuk menarik kacamata Yoga. Sebenarnya dia refleks melakukannya karena pada detik berikutnya, cewek itu segera mengembalikan kacamata tersebut ke pemiliknya dengan ekspresi kaget sekaligus malu.
Situasi ini tentu saja sukses menjadi bahan ledekan bagi Virga dan Nara karena mereka sibuk meneriakkan 'cieeeee' pada pasangan di hadapan mereka sesuka hati, yang lantas memancing kepo sebagian besar murid yang berada di dekat mereka.
Lagi-lagi, termasuk Ferdian yang kebetulan langkahnya hampir tiba di kelas, disusul Elina di belakangnya.
Entah kebetulan semata atau memang Ferdian ketiban karma, dia tidak tahu. Yang jelas, cowok itu seperti merasakan denyut tidak nyaman di dalam paru-parunya, membuatnya sesak hingga merasa ingin melerai kebersamaan Luna dengan Yoga saat itu juga.
"Nggak nyangka ya, Luna bisa secepat itu move on." Elina meledek. Jelas, cewek itu sengaja mengatakan itu untuk memanas-manasi Ferdian supaya ilfil dengan sepupunya. "Yoga jadi pihak yang beruntung karena nggak perlu bersusah payah memikirkan metode apa biar bisa menarik perhatiannya Luna."
Keduanya sedang berada di balik jendela yang terbuka lebar di mana mereka bisa menyaksikan dengan jelas bagaimana Luna sedang menjalin komunikasi mesra dengan Yoga.
Elina lantas menyandarkan punggungnya ke ambang jendela, menatap intens Ferdian yang membeku di tempat dengan tatapan yang masih melekat pada duo Luna dan Yoga. "Yan, sama seperti mereka, bukankah kita juga perlu progress?"
"Apa maksud lo?"
"Lo tau maksud gue dan gue juga nggak cukup bego untuk tau kalo lo suka sama sepupu gue.
"Ada alasan kan kenapa lo nggak bisa balas perasaannya Luna?" tanya Elina lagi karena Ferdian tidak kunjung membuka suara. "Meski sakit, tapi gue yakin lo tetap akan berakhir sama gue. Lo mau tau kenapa?"
Ferdian mengalihkan tatapannya ke arah Elina dan menemukan betapa seriusnya dia, yang sangat berbeda dari biasanya mengingat hampir setiap saat dia menatap dengan pandangan memuja atau ngambek karena kurang mendapat perhatian dari dirinya.
"Selama Luna ngejar lo, lo bisa bertahan untuk nggak balas perasaan dia. Durasinya bahkan lebih dari cukup untuk membuat Luna akhirnya nyerah sama lo. Ini kesempatan emas buat gue, kan? Gue hanya butuh selangkah lagi, yaitu perasaan lo aja sekarang."
"Gue--"
"Gue hanya perlu bersabar sedikit lagi untuk menunggu hati lo terbuka dengan sendirinya buat gue," potong Elina dengan tatapan yang begitu yakin hingga jika dikonversikan dalam komik, mungkin bakal ada api yang membara dari pancaran matanya. "Your heart will be a start for our story, Yan."
Mendadak, Ferdian menyadari efek sedahsyat apa yang timbul karena tindakan bodohnya.
Tidak hanya memberi luka pada Luna Lovandra, tetapi juga dia menghadiahi luka yang sama besarnya pada Elina Fredella.
Waktu memang tidak bisa diulang kembali, tetapi tetap saja Ferdian berharap jika saja dia bisa mengulang waktu, setidaknya dia tidak boleh melibatkan Elina karena ketidaksanggupannya membalas perasaan cewek itu, baik sejak awal maupun finalnya.
Karena seperti yang pernah diakui Ferdian sudah-sudah, meski hanya sebatas dalam hati, dia sudah jatuh terlalu dalam pada cewek bernama Luna Lovandra.
Sejak awal.
Bukannya lebay, tapi hanya Luna satu-satunya yang berhasil menyentuh ke dalam dasar hatinya, menariknya dari relung kesepian yang dalam, hingga memberinya kasih yang tidak terbatas.
Bahkan mungkin melebihi kasih dari kedua orangtuanya sendiri, ironisnya.
Oleh karenanya, meski ini sudah terlambat, setidaknya Ferdian tidak akan membiarkan Elina jatuh lebih dalam lagi. Cowok itu balas menatapnya dengan tatapan yang sama yakinnya dengan cewek itu, bahkan dia meremas kedua bahunya dengan begitu erat seakan mengharapkan pengertian yang besar.
"Elina, there's no starts between us till the end. So please stop or you'll get hurt."
Pernyataan tegas Ferdian seperti pisau yang berhasil menusuk ulu hati Elina, membuat cewek itu mengerjapkan kedua mata sebelum bagian putihnya memerah, sementara rasa sesak dalam dada serasa mencekik tenggorokannya di saat yang sama.
Efek sakit hati ternyata lebih berbahaya daripada mencintai seseorang.
Elina memang sudah tidak asing dengan penolakan Ferdian, tetapi kali ini dia bisa merasakan keyakinan cowok itu yang begitu kuat hingga membuatnya serasa ditampar.
Penolakan kali ini benar-benar menyadarkannya kalau dia sudah kalah telak dari sepupunya sendiri.
"Apa ini semua karena Luna? Hanya karena dia?" bisik Elina seakan dia takut jika bersuara lebih nyaring dari ini, air matanya akan mengalir. Untuk sementara cewek itu berhasil menahannya dengan sangat baik bahkan dia sengaja membawa pertanyaan ini dengan gaya seakan sedang mengajak bercanda.
Namun, Ferdian menggeleng. "Perasaan gue hanya milik gue sendiri, nggak ada kaitannya sama siapa pun, termasuk Luna."
"Kenapa nama gue dibawa-bawa?" tanya sebuah suara dengan nada sindiran yang kental, membuat baik Ferdian maupun Elina menoleh ke sumber suara secara refleks.
Luna berada di dekat jendela sekarang, balas menatap mereka dengan tatapan benci sembari melipat kedua lengannya di depan dada.
"Lo nguping?" tuduh Elina, ekspresinya justru mencelus karena kehadiran Luna. Meski dia sudah tahu dengan jelas penolakan dari Ferdian, dia tidak mengharapkan kalau Luna ikut mendengar dengan telinganya sendiri. Selain gengsi, dia juga cemas bakal diledek habis-habisan oleh sepupunya.
"Sori ya, gue nggak ada waktu untuk itu." Luna menjawab sinis, lantas menunjukkan sampah kertas yang sudah kisut dalam tangan dan mengendikkan kepalanya ke tong sampah di dekat situ. "Gue mau buang sampah, tapi serasa sampah banget karena denger pembicaraan kalian. Gue denger nama gue disebut soalnya, jadi wajar kan kalo gue bertanya?"
Luna kembali ke bangkunya sendiri setelah membuang sampah ke tempatnya dengan tenaga yang tidak perlu, tidak lupa melempar tatapan galaknya yang terkesan horor pada duo Ferdian dan Elina.
Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro