30). Endless Love is Truly Exist
Please come closer to me. L.L.
*****
Luna kembali ke apartemennya sekali lagi dengan suasana hati yang tidak bisa dibilang baik karena begitu banyak hal yang dipikirkannya hingga membuat kepala cewek itu terasa dua kali lebih pusing dan berat.
Oleh karena itu, Luna berpikir untuk melewatkan acara mandinya dan memilih untuk membaringkan dirinya di kasur saja.
Toh dia bebas sore ini, kecuali dia harus belajar untuk UTS yang diadakan lusa ini. Ahhh... untuk pertama kalinya Luna merasa malas menghadapi UTS-nya, padahal dia selalu berhasil memotivasi dirinya untuk terus maju dan melarang dirinya untuk mengingat kejadian masa lalu.
Itulah sebabnya Luna mempunyai alasan yang tepat memilih jurusan Akuntansi yang sama seperti Yoga, karena sebagian besar mata kuliahnya menuntut konsentrasi untuk menghitung dan menyibukkan cewek itu sehingga dia bisa melupakan kegundahan hatinya untuk sementara.
Luna menarik selimut menutupi dirinya hingga ke atas rambutnya seakan berharap jika saja dia bisa tidur dan mengalami amnesia keesokan harinya, supaya dia bisa menghilangkan Ferdian dari memorinya.
Tetapi karena tidak bisa dan tidak mungkin, cewek itu akhirnya memaksakan dirinya untuk tidur sebentar, setidaknya berharap bisa meredakan rasa pusingnya.
Oleh karena itu, mata Luna tetap terpejam ketika pintu kamarnya dibuka dari luar oleh seseorang yang dia yakin pastilah Mia. Mamanya mungkin saja ingin kepo soal Ferdian, bertanya-tanya apakah dia berhasil bertemu dengan cowok itu atau tidak.
Luna benar-benar tidak ingin diganggu sehingga dia tetap memejamkan matanya dengan selimut yang juga tetap menutupi wajahnya, walau si pemilik tangan telah menyibakkan selimutnya hingga ke bawah.
Luna diam saja, memilih untuk tetap berpura-pura tidur karena dia tidak ingin berbicara dengan siapa pun, termasuk mamanya sendiri.
Entahlah, Luna selalu saja seperti itu, lebih suka memendam perasaannya sendiri alih-alih mengeluarkan unek-uneknya.
Jantung Luna mendadak serasa hampir keluar dari tempatnya ketika merasakan ada sesuatu yang kenyal menyentuh pipinya, membuat cewek itu membelalakkan kedua matanya.
"I-iyan?" bisik Luna, mengira sekali lagi kalau ini adalah ilusinya.
Tetapi ilusi ini serasa nyata. Ferdian duduk di bangku kecil sebelah tempat tidurnya, menatapnya dengan tatapan tajam seperti biasa. Bahkan setelan yang dipakai Ferdian masih sama meski dia telah melepas jasnya, menyisakan kaus dalaman berwarna putih yang justru menambah ketampanannya.
"Ya, ini gue."
Bisikan itu membuat Luna menelan salivanya karena sadar kalau wujud di hadapannya sekarang benar-benar Ferdian.
Luna mengubah posisi tidurnya menjadi posisi duduk, menegakkan punggungnya, dan lantas menatap balik Ferdian dengan tatapan polos kemudian bertanya, "Bukannya lo seharusnya udah balik ke Bandung?"
"Gue nggak mungkin balik tanpa memperbaiki hubungan kita, Na. Gue nggak mau."
"Yan...."
"Gue nggak bisa hidup tanpa lo. Selama ini gue bertahan hanya karena Tante Mia bilang kalo lo selalu natap foto gue tiap malam dan nggak bakal bisa move on dari gue. Jadi plis, Luna, jangan cuekin gue."
Luna membuang napasnya setelah menghirup banyak-banyak oksigen. Lantas, cewek itu menurunkan kakinya ke lantai dingin, lebih tepatnya memperbaiki posisinya supaya menghadap Ferdian sepenuhnya.
Luna mengulurkan kedua tangannya lantas menangkup sisi wajah Ferdian yang terlihat jauh lebih lelah dan menyedihkan. Juga, wajahnya sudah lebih tirus dari terakhir kali mereka bertemu.
"Tapi lo harus janji sama gue."
Ferdian hanya merespons dengan menganggukkan kepalanya.
"Lo nggak boleh mengabaikan tugas dan kewajiban sebagai penerus bisnis keluarga lo."
Ferdian mengangguk lagi.
"Kuliah lo harus tetap lanjut, ya? Lo kuliah di Bandung, kan?"
Ferdian mengangguk lagi.
"Oke, kita LDR-an kalo gitu."
Mata Ferdian mendadak melebar dan menatap Luna dengan tatapan yang sarat akan kebahagiaan, persis anak kecil yang keinginannya dikabulkan. "Lo serius, kan?"
"Ya iyalah, Yan. Kalo nggak serius, lo udah gue usir dari kamar gue," jawab Luna jengah. "Gue nggak nyangka rupanya lo bisa juga jadi korban bucin. Gue kira hanya gue yang nggak normal."
Alih-alih merespons perkataan Luna dengan cara yang sama, Ferdian menarik cewek itu ke dalam pelukannya sembari tersenyum lebar hingga matanya melengkung.
"Gue kangen sama lo," bisik Ferdian yang semakin mengeratkan pelukannya, yang dibalas oleh Luna dengan tidak kalah eratnya.
"Lo di sini sampai kapan, Yan?" tanya Luna setelah mereka berpelukan cukup lama.
"Sampai selamanya," bisik Ferdian dan lantas dihadiahi tepukan keras pada punggungnya.
"Gue serius, Yan."
"Gue dua rius, Luna."
"FERDIAN!"
"YES, SWEETIE?"
Tepukan di punggung Ferdian terdengar lagi.
"Oke, oke. Ini kebetulan gue dibebastugaskan demi lo dan juga ini Hari Kasih Sayang."
"Trus?"
"Gue harus balik besok, tapi gue bakal minta Kak Felix atur supaya gue bisa kembali ke sini lagi."
"Kedengarannya kok repot banget, ya."
"Gue malah seneng. Biar ada alasan ketemu sama lo. Muehehehe...."
"Gue jadi semakin yakin kalo lo segitu cintanya sama gue."
"Woya jelas, gue kan udah pernah mengaku cinta sama lo."
"Oh iya ya."
"Tapi lo belum nyatain perasaan lo ke gue."
"Lo lupa ya omongan setengah dekade yang lalu itu apaan?" tanya Luna emosi, lantas melepas pelukannya dengan sekali dorongan.
"Itu suka, bukan cinta."
Luna mau tidak mau dibuat membeku ketika melihat senyuman Ferdian yang terlalu lebar. Ya ampun, kenapa sih ganteng banget? "Harus ya ngaku sekarang?"
"Gue baru nyadar, waktu inget lo nangis yang benar-benar nangis sebelum gue ke Bandung dan lo juga nggak merespons gue waktu gue bilang cinta sama lo. Maaf karena gue nggak peka ya, Na."
"Gue cinta sama lo, Ferdian Michiavelly. Meski gue dilahirkan kembali, gue nggak keberatan ngebucinin lo. Gue rela mencintai lo tanpa syarat," ucap Luna tiba-tiba, sebagai respons atas permintaan maaf Ferdian.
Gantian Ferdian yang dibuat membeku oleh pernyataan cinta Luna. Lantas, cowok itu mengulurkan kedua tangan besarnya untuk menangkup sisi wajah pacarnya, meneliti setiap detail wajahnya dengan tatapan yang lebih lembut. "Hanya lo yang bisa membahagiakan gue, Na. Hanya lo yang bisa membuat gue menangis dan tertawa seperti anak kecil. Dan hanya lo yang membuat gue sadar kalo cinta tulus itu ada. Endless love is truly exist."
Luna tersenyum manis mendengar semua itu.
"Dan gue punya kabar baik lain buat lo," kata Ferdian yang senyumannya masih saja nangkring, seakan sudah disetel untuk terus tersenyum. "Papa gue kembali."
"Oh ya?" seru Luna, turut bahagia.
"Gue rasa itu semua berkat lo dan keluarga lo, Na. Kalian benar-benar menunjukkan ketulusan kalian pada kami. Gue baru tau kalo dulu kakek gue juga dijodohkan demi kepentingan bisnis makanya kakek gue juga menerapkan metode yang sama ke mama gue, yang sama-sama berujung hancurnya rumah tangga mereka. Ketulusan kalian membuat mama gue mempertahankan kalian, yang bagi mama gue, semua itu lebih dari layak. Mama gue berhasil membujuk kakek gue yang untungnya setuju dan pada akhirnya menggerakkan hati papa gue buat kembali.
"Berkat semua itu, papa gue bersedia meneruskan Grup Samuel, yang tentunya didampingi oleh mama gue. Mereka memutuskan untuk menetap di Bandung, tinggal sama kakek gue," lanjut Ferdian.
"Trus lo gimana?" tanya Luna karena kalimat terakhir Ferdian seperti memberinya petunjuk lain.
"Setelah selesai dengan urusan gue di Bandung, gue mau kembali ke sini."
"Trus kuliah lo gimana?" tanya Luna dengan tatapan horor.
"Selesai urusan di Bandung itu termasuk mengurus berkas gue di kampus, Na. Gue mau pindah ke Trisakti University juga, sama kayak lo."
"Apa??? Emangnya bisa?"
"Bisa dong. Lo lupa ya gue dari dunia konglomerat? Urusan gini mah kecil. Palingan tiga hari udah beres. Gue bisa mengubah status gue jadi mahasiswa Trisakti, sama kayak lo. Kalo perlu, gue juga mau jurusan Akuntansi, biar lo nggak deket-deket Yoga terus."
"YA AMPUN, FERDIAN!! KENAPA SIH LO MASIH AJA CEMBURU SAMA YOGA BAHKAN SETELAH GUE UNGKAPIN PERASAAN GUE, YA ELAH!!!"
Ferdian melepas tawanya dan segera mengulurkan tangannya untuk mengacak rambut Luna dengan gemas.
"IYAN, RAMBUT GUE!!!"
Terdengar gelak tawa lagi dan keduanya tidak sadar kalau ada dua pasang mata yang sedang asyik menonton mereka dari balik pintu kamar Luna.
"Mereka bakal ciuman nggak ya, Ma?" tanya Orion iseng sementara Mia refleks menarik daun telinganya dengan paksa.
"Kamu masih di bawah umur, Yon." Mia memperingatkan, mengabaikan ekspresi wajah Orion yang kesal karena telinganya ditarik seperti itu, tetapi dia menurut dan lantas menutup kembali pintu kamar kakaknya.
"Akhirnya ya, usaha Kakak ngebucinin Kak Iyan membuahkan hasil. Mungkin aku juga harus ikut strateginya Kak Luna."
"Kamu udah punya gebetan?" tanya Mia penuh selidik, matanya refleks dipicingkan dengan tajam.
"Kok sensi banget sih, Ma?"
"Kamu masih di bawah umur, Yon!"
"Tapi waktu Kak Luna jatuh cinta sama Kak Iyan, umur Kakak jauh lebih muda dari aku!" protes Orion tidak terima.
"Itu karena Mama udah kenal sama calonnya, malah sepaket sama calon besan!"
"Ishhhh, Mama!"
"Namanya juga kamu anak bungsu, Yon. Bagi Mama, sampai kapan pun kamu masih bayi."
"Ishhhh, MAMA!!!" teriak Orion sekencang-kencangnya.
Bersambung ke Final
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro