28). Love Never Changed
Trust me, it's really hard to refuse you. -L.L.
*****
Pelukan Ferdian terasa begitu nyata sekarang karena tadinya Luna mengira kalau Ferdian yang berdiri di hadapannya hanyalah ilusi seperti fatamorgana di gurun pasir.
Percayalah ini bukan lebay karena sejak Ferdian tidak ada di sisinya, Luna sering mendapat sejenis penampakan atau bahasa lembutnya, seperti memimpikan kalau Ferdian kembali di hadapannya dan lantas menatapnya dengan tatapan intens yang sangat dirindukannya.
Luna sadar kalau cintanya memang sekuat itu.
Katakan Luna korban bucin, tidak apa-apa, karena sedari pertama cewek itu menyatakan cintanya setengah dekade yang lalu pada Ferdian, dia telah menyandang status tersebut tanpa berniat untuk mengabaikannya.
Indera penciuman Luna secara alamiah menghirup aroma tubuh Ferdian yang membuatnya semakin yakin kalau dia tidak sedang bermimpi, sementara segala emosinya tumpah begitu saja hanya karena rasa kangennya yang meluap.
Dalam sekejap, air mata Luna hampir meluncur keluar dari netranya, tetapi berhasil dikendalikan oleh cewek itu di saat yang tepat dengan cara mendorong tubuh Ferdian sekuat tenaga dan meneriakkan dirinya sendiri untuk sadar seberapa besar usahanya untuk sampai ke tahap ini.
Gimanapun, Luna Lovandra tidak boleh kalah hanya karena kehadiran dan pelukan dari Ferdian Michiavelly.
"Luna...." Ferdian memanggil lirih, masih mengabaikan semua orang seakan hanya dia dan Luna di dunia ini. "I beg you, please...."
"Oke, ternyata nggak cuma gue korban bucinnya. Ada yang lebih menyedihkan malah," celetuk Krisna tanpa berniat untuk mengecilkan suaranya, jelas dia sengaja ingin mempermalukan Ferdian.
Gimanapun sepertinya keinginan Krisna untuk menistakan Ferdian sulit pupus, seakan lidahnya sudah otomatis disetel untuk itu.
Yoga sempat menatap Krisna dengan tatapan mencela karena merasa tidak tepat jika menyeletuk pembicaraan yang lagi serius-seriusnya--meski pada seseorang seperti Ferdian yang tidak disukainya, tetapi pada akhirnya toh Yoga juga memilih untuk diam saja.
Gimana ya, menurutnya semua tergantung pada keputusan Luna sekarang, terlepas dari keinginan Yoga yang sangat besar untuk menarik Luna dari jangkauan Ferdian.
Luna melirik Yoga, membuat cowok itu segera mendekatinya tanpa berpikir dua kali.
Oke, ini waktunya Yoga untuk memainkan perannya.
"Yuk, Ga."
Seperti sudah bisa menduga cuplikan adegan ini, Ferdian menghadang langkah duo Luna dan Yoga dengan tatapan galak sementara Krisna juga tampak waspada seakan sudah bisa memprediksi kalau akan terjadi gempa kecil di koridor dekat perpustakaan.
Untung saja ekor matanya menangkap sosok pasangan Nara-Virga yang tepat pada saat itu sedang mendekati area tersebut karena curiga dengan keramaian yang tidak biasa.
"Better mind your own business, Pradipto."
Nada bicara Ferdian begitu dingin dan menusuk, hingga Luna mempunyai firasat kalau pertemuan ini tidak akan berlangsung singkat.
"I have told you once," sambut Yoga dengan nada tidak kalah dinginnya, membuatnya terlihat sangat kontras dari kesehariannya yang selalu murah senyum dengan lesung pipinya. "'Gue hanya akan bertindak kalo Luna sendiri yang mendekat ke gue'. Lo inget dengan kalimat itu, kan? Kalo lo inget, seharusnya lo mengerti maknanya; ini adalah murni keputusan Luna. Benar, kan?"
Lagi-lagi seperti waktu itu, Ferdian sukses dibuat bungkam meski matanya menatap galak pada Yoga seakan ingin menelannya bulat-bulat.
"Ferdian?" panggil Nara dan Virga bersamaan setelah mereka sampai di area sumber penarik perhatian. "Kok lo bisa di sini?"
Ferdian lagi-lagi mengabaikan mereka karena fokusnya tidak lain tidak bukan adalah Luna, termasuk Yoga sekarang karena cowok itu menghalanginya untuk berbicara dengan cewek itu.
"Tapi dia pacar gue," balas Ferdian setelah berhasil mengendalikan emosinya. Sedikit. "Lo nggak berhak ikut campur."
"Gue bukan pacar lo lagi," jawab Luna tiba-tiba, membuat semua mata tertuju padanya sekarang. "Dan apa yang dibilang Yoga bener. Gue yang memutuskan untuk mendekati Yoga."
"Gue tau lo belum bisa lupain gue," kata Ferdian yakin dan jelas dia tidak akan menyerah segampang itu. "Tiap malam lo masih melototin foto gue, kan?"
"Lo--" Kata-kata Luna menggantung karena sangat syok dengan pertanyaan terakhir Ferdian, lantas harus menanggung malu karena tatapan banyak orang yang menatapnya dengan tatapan aneh seakan dia mempunyai sejenis gangguan mental. "Siapa bilang?"
"Tante Mia," jawab Ferdian enteng sambil menyeringai. "Kata Tante, itulah sebabnya lo nggak bakalan bisa move on dari gue."
Saking kesalnya Luna sama mamanya, sekarang cewek itu hanya bisa mengomel tidak jelas sedangkan efek sindrom kepiting rebus kambuh lagi, seakan kangen padanya karena selang 10 bulan tidak eksis.
"Gila," keluh Krisna lagi. "Pantesan aja ya, Na. Lo bertahan jadi bucinnya Ferdian selama itu."
"Itu dulu, Yan. Sekarang nggak lagi. Lagian ngapain juga gue masih mengharap sama lo padahal gue yang minta putus? Itu nggak masuk akal sama sekali. Yuk, Ga."
"Luna," panggil Ferdian, menarik tangan Luna erat sewaktu cewek itu melangkahkan kakinya melewati cowok itu bersama Yoga di sisinya.
Luna menarik lepas tangannya tanpa membalas tatapan Ferdian.
"Setidaknya kita berdua harus ngomong," pinta Ferdian dengan tatapan yang sarat akan luka dan kesedihan yang dalam. Matanya segera memerah hingga semua cewek yang berkerumun di sana tidak menutupi rasa iba mereka.
Luna diam dan membuang napas berat, kemudian menoleh ke arah Ferdian yang berada di balik bahunya sekarang. "Kalo mau ngomong, Yoga juga ikut. Gue nggak mau dilibatkan berdua sama lo lagi."
"LUNA!"
"Kalo nggak mau, ya udah."
"Oh oke," kata Ferdian akhirnya karena tidak mempunyai pilihan tetapi langsung ngegas ketika mendengar celetukan dari mantan teman SMA-nya yang lain.
"Gue juga ikut," kata Krisna.
"GUE JUGA IKUT!" seru Nara dan Virga bersamaan.
"HEH, APA-APAAN KALIAN? LO KIRA REUNI???"
Semua yang terlibat lantas menghela napas panjang mereka atas emosi Ferdian yang meledak-ledak. Esensi pikiran mereka sama; Ferdian Michiavelly tidak berubah sama sekali bahkan setelah mengemban posisi sebagai pewaris perusahaan keluarganya.
"Gue bukannya sekepo itu mau tau kisah cinta kalian, gue cuma merasa kalo lo itu udah bukan pacarnya Luna lagi. Malahan, status Yoga sekarang lebih tinggi dari lo. Jadi kalo Luna sama Yoga mau nongkrong bareng, gue mau ikut dong," jelas Krisna dengan tatapan menyebalkan, lengkap dengan menaikkan kedua bahunya dengan gaya sok.
"Kalo Krisna ikut, kita juga mau ikut," timpal Virga yang juga sama menyebalkannya. "Bener yang lo bilang, anggap aja reuni sesama mantan teman sebangku barisan belakang. Wah, ternyata keren juga ya julukan ini."
"Terima aja ya, Bro," lanjut Nara dengan tatapan penuh simpatik pada Ferdian, tidak lupa menepuk-nepuk salah satu bahunya dengan gaya ke-kakak-an. "Daripada nggak ngomong sama sekali dengan Luna, kan?"
Oke, fix. Tampaknya Ferdian harus menahan diri untuk tidak membenturkan kepalanya ke salah satu pohon di dekat mereka berpijak sekarang.
Sepuluh menit kemudian, mereka berenam lantas duduk semeja. Ferdian duduk di seberang Luna tetapi Yoga lebih beruntung karena dia duduk di sebelah cewek itu, sementara sisanya dikondisikan.
Ferdian masih tidak peduli dengan eksistensi lainnya yang lebih cocok menjadi pemeran figuran.
"Emangnya ada menu baru apaan, Ga?" tanya Luna berbasa-basi pada Yoga dengan nada yang dimanis-maniskan. Sedikit.
"Oh, gue denger karena lagi event-nya Valentine, ada salah satu klub yang mengadakan lomba buat aneka dessert dengan cokelat sebagai bahan dasarnya."
"Hmm, oke. Tapi cokelat yang dikasih sama mereka banyak loh. Apa perlu gue sumbangkan buat mereka aja?" tanya Luna sembari melirik kantong yang masih dipangku Yoga di pahanya sementara yang lain kontan takjub karena baru menyadari ada banyak macam cokelat di dalamnya.
"I-ini semua, cokelat pemberian cowok di kampus?" tanya Nara dengan tatapan syok sedangkan Virga tampak kagum.
"Kalo gue jadi lo, gue jual semuanya. Kan lumayan untuk uang jajan gue, minimal buat isi kuota. Muehehehe...."
"Kamu tuh ya. Nggak pernah sekalipun bisa lepas dari kata kuota sama gim," kritik Nara dengan sinis, sukses membuat kicep Virga.
"Mau sumbangkan aja? Boleh, sih. Gue kasih ke mereka sekarang, ya?" tanya Yoga, disambut anggukan dari Luna.
Ferdian merogoh bagian dalam kantong jasnya lantas mengeluarkan sesuatu yang berbentuk pipih pada Luna dengan menggesernya ke arah cewek itu di meja. "Buat lo."
Luna memperhatikan pemberian Ferdian. Rupanya itu adalah cokelat juga, hanya saja cewek itu belum pernah melihat kemasan itu sebelumnya karena begitu asing dengan mereknya.
"Buset, cokelat impor?" tanya Krisna takjub. "Emang dasar ya lo. Niat pamer selalu nggak alang-alang."
Tetapi Luna tidak terkesan sama sekali. Cewek itu mengambil cokelat tersebut lantas memasukkannya ke dalam kantong, bergabung dengan tumpukan cokelat lain.
"Sumbangin sekarang ya, Ga."
"Luna, do you have to do this?" tanya Ferdian dengan aura berbahaya sekarang. "Mau sampai kapan lo bersikap dingin ke gue?"
"Sampai lo sadar kalo dunia kita udah beda!" hardik Luna yang sebenarnya di luar kemauannya. Di satu sisi dia sebenarnya takut dengan dirinya sendiri. Takut kalau-kalau dia menjadi lemah dan kalah dengan pendiriannya.
Karena Luna mulai merasa tidak tega pada Ferdian. Itulah sebabnya cewek itu memutuskan untuk kasar dengannya sebelum semuanya terlambat.
"Bukan pilihan gue kalo gue terlahir dalam dunia konglomerat!" balas Ferdian dengan keras, berhasil menarik perhatian semua yang mendengar percakapan mereka. "Dari dulu bukannya lo nggak mempermasalahkan latar belakang gue?"
"Justru itu, Yan. Itu dulu. Sekarang udah beda!"
"Gue tetap gue! Ferdian tetap Ferdian! Nggak ada yang bisa mengubah gue terlepas status gue sebagai anak sultan! Mau anak buangan kek, mau anak broken home kek, mau anak yang nggak dianggap kek! Semua menjadi nggak penting kalo nggak ada lo di sisi gue! Perasaan kita sama, Luna! Apa posisi itu sebegitu pentingnya buat lo?"
"Ya, penting banget. Karena gue nggak bisa menjadi batu kerikil yang menghambat jalan lo," jawab Luna pelan secara tiba-tiba, hampir menyerupai bisikan karena cairan di matanya mulai terasa sedang berproduksi seakan cewek itu takut kalau air matanya akan langsung tumpah jika dia mengeraskan suaranya. "Jadi lebih baik lo kembali ke dunia lo sekarang karena semua yang lo lakuin di sini sia-sia."
Luna beranjak dari kursinya, lantas memutuskan untuk meninggalkan kafetaria kampus. Sebenarnya dia melakukannya karena merasa kalau air matanya sedikit lagi akan tumpah dan dia tidak ingin menunjukkannya pada siapa pun.
Terutama Ferdian. Karena semua usahanya akan sia-sia jika cowok itu mengetahui kelemahannya.
Ferdian mematung di kursinya, sementara Yoga memutuskan untuk menyusul Luna.
Sedangkan tiga lainnya, tampak tidak tahu harus mengatakan apa supaya bisa mencairkan suasana yang super canggung ini.
Hingga akhirnya Krisna menepuk sebelah bahu Ferdian yang duduk di sebelahnya dengan tepukan yang menenangkan dan meski Ferdian sedang dilanda kegalauan yang damage-nya sangat parah, bisa dibilang kalau hiburan dari mantan saingannya tidaklah seburuk itu.
Karena Krisna tulus menghiburnya.
Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro