27). His Coming Back
The time when we meet again, my love will be still the same. -L.L.
*****
"Dek Luna, mohon diterima ya."
Luna mendongakkan kepala ketika mendengar namanya disebut, lalu segera tersenyum manis ketika ada seseorang memberinya sebatang cokelat yang lengkap dengan hiasan pita berwarna pink. Lantas, seseorang yang sudah pasti berjenis kelamin laki-laki itu sukses dibuat membeku selama beberapa saat ketika melihat senyuman Luna yang visualnya begitu cantik.
Jika dikonversikan ke dalam komik, bakal ada situasi seperti ini; ada banyak bunga bermekaran di sekitar cowok itu, ngalah-ngalahin perayaan musim semi di negeri sakura.
"Terima kasih, ya."
"Sama-sama, Dek Luna," balas cowok itu dengan senyum penuh kebahagiaan, lantas membalikkan tubuhnya dan berlari ke arah teman-teman se-geng-nya dengan semangat yang disambut sorakan keras. Tatapan penuh celaan dari pengunjung perpustakaan segera menyambut mereka setelahnya karena acara baca mereka jadi terganggu.
Benar, Luna sedang berada di perpustakaan kampus dan duduk di salah satu kursi yang menghadap ke luar menembus dinding kaca super besar yang menyajikan pemandangan indah.
Luna lebih suka nongkrong di perpustakaan daripada mengunjungi kafetaria kampus seperti mahasiswa lainnya. Entahlah, mungkin karena area perpustakaan sudah tidak asing baginya mengingat waktu SMA dia sering mengunjungi perpustakaan sekolah, meski teknisnya hanya sebatas area koridor saja.
Tidak hanya populer di SMA Berdikari, Luna juga disukai banyak cowok di kampus. Maklum, selain wajahnya yang sejak dulu layak dikategorikan mempunyai visual di atas rata-rata, cewek itu masih sama easy going dan rendah hati seperti dulu. Bahkan cewek itu menghargai semua cowok yang mencari perhatiannya dengan cara memberikan senyuman manis sebagai balasannya, alih-alih belagu atau sok jual mahal seperti cewek cantik lainnya.
Luna meletakkan cokelat batangan pemberian cowok tadi di atas meja, bergabung dengan cokelat lain yang ditumpuk sedemikian rupa hingga terlihat seperti menara. Perhatian cewek itu lantas teralihkan ketika ekor matanya menatap salah satu teman yang posisinya di ujung meja.
"Permisi, Dek. Gue boleh minta, nggak? Lagi laper nih," tanya cewek itu sopan, membenarkan posisi kacamata minusnya ketika menegakkan punggungnya. Ditilik dari ekspresinya, sepertinya cewek itu sudah seharian di perpustakaan karena wajahnya terlihat kusut dan tidak cukup tidur.
Luna mengangguk lantas beranjak dari kursinya sembari membawakan beberapa cokelat sekaligus untuknya. "Ambil aja sebanyak yang lo mau. Semangat ya."
"Lo baik banget. Lo pasti Luna Lovandra, kan? Lo sepopuler itu di kampus padahal status lo masih maba. Kenalin, gue Clara. Gue anak Psikologi, semester tiga."
"Ah, nggak juga. Itu karena gue nggak tega nolak perhatian mereka. Eh iya kalo lo anak Psikologi, berarti kenal Nara sama Virga dong? Masih maba juga sih, setingkat sama gue."
Luna kembali ke kursinya, bermaksud untuk mengambil tas dan buku serta sisa cokelat di meja ketika Clara bangkit dari duduknya dan pindah ke kursi dekat Luna.
"Barang lo lebih banyak. Gue aja yang duduk di sini," kata Clara sambil tersenyum. "Balik ke yang tadi. Nara-Virga, ya? Kenal dong soalnya yang cowok tampilannya kayak bad boy gimanaaaa gitu tapi rupanya korban bucin."
Luna refleks tertawa karena membayangkan bagaimana reaksi Virga jika mendengar apa yang dinilai orang lain di belakangnya. "Ternyata Virga populer juga, ya."
"Lebih tepatnya kayak brondong gemesin. Hahahaha.... Ngomong-ngomong, lo jurusan apa? Kalo nggak salah, Akuntansi ya?"
Luna mengangguk dan perhatiannya terpecah karena ekor matanya menangkap sosok cowok familier yang sedang mengedarkan pandangan dan akhirnya berhenti ketika netranya menangkap mata Luna.
Jelas, dia sedang mencari Luna karena dia sekarang tersenyum pada cewek itu.
"Wah kalo Virga disebut gemesin, yang ini manisnya dobel dan kayaknya berisiko diabetes kalo natap lama-lama," celetuk Clara dengan mata terpana.
"Kenalin. Dia Yoga Pradipto, satu jurusan sama gue," jelas Luna sementara tatapan mata Yoga kini berhadapan dengan mata milik Clara.
Clara membenarkan posisi kacamatanya dengan gemetar seakan mendadak terkena sindrom random. "Hmmm gue Clara, anak Psikologi. Ya udah deh gue lanjut sama tugas gue, ya. Sekali lagi makasih Luna, atas cokelatnya. Membantu gue banget."
"Sama-sama, Clara. Senang bisa bantu," balas Luna dengan senyum manisnya lagi.
"Cokelatnya banyak banget," kata Yoga takjub selagi Clara kembali lagi ke kursinya di ujung meski sesekali masih curi-curi pandang ke arah Yoga.
Luna tertawa. "Gue juga nggak nyangka bisa dapet cokelat sebanyak ini. Lo mau?"
Yoga menggeleng. "Gue udah punya bagian gue."
"Wah, pamer juga nih ceritanya?" ejek Luna sambil nyengir, kemudian membereskan buku-bukunya ke dalam tasnya. "Tadi sambil nunggu lo, gue pikir mau nyoba pelajari ulang materi untuk UTS. Eh, tau-taunya susah banget konsennya padahal lokasinya di perpus."
"Ya iyalah, fokus lo pasti terpecah karena dikasih cokelat terus sama cowok random."
"Cemburu?" ejek Luna lagi, sukses memancing senyum paket milik Yoga.
"Don't push me more, Luna," Yoga memperingatkan meski tatapannya masih sarat akan tatapan jenaka.
"Hahahaha, oke-oke. Lo mau ke mana sekarang?" tanya Luna sementara dia mengalungkan tas selempang melewati kepalanya sedangkan Yoga mengulurkan tangan untuk membantu Luna membawa kantong berisi cokelat beraneka bentuk dan warna.
"Kalo semua hari adalah hari Valentine, lo bakal tiap hari panen cokelat," kata Yoga sambil tersenyum lagi. "Habis ini kita free, kan? Ke kafetaria kampus yuk, gue denger ada menu baru."
Keduanya berjalan beriringan keluar perpustakaan yang segera dilatarbelakangi oleh tatapan banyak orang. Sebagian jelas cemburu dengan kedekatan mereka, termasuk gerombolan cowok yang salah satunya memberi Luna cokelat batangan.
Kecemburuan mereka tidak cukup sampai di sana karena ada cowok lain yang mendatangi perpustakaan untuk mencari Luna.
"Krisna?" panggil Luna yang gagal paham karena sejak lulus SMA, dia tidak pernah bertemu tatap lagi dengan cowok itu.
Luna saja tidak tahu kalau rupanya Krisna satu kampus dengannya.
"Lo mau denger kabar baik apa kabar buruk?" tanya Krisna serius.
Luna mengalihkan tatapannya ke Yoga lantas kembali lagi ke Krisna setelah mendapati ternyata Yoga sama gagal paham dengan dirinya. "Kabar buruk, deh."
"Mantan lo dalam perjalanan ke sini buat ketemu sama lo! Buruk, kan?"
"Hah?" Luna melongo mendengar kabar yang tidak terduga ini. Meski dia yakin akan ada satu hari di saat Ferdian menuntut penjelasannya secara langsung, cewek itu tidak menyangka hari itu akan tiba secepat ini.
"Kabar baiknya mau denger?"
"Apa?"
"Mantan lo masih single."
Pernyataan Krisna lantas dihadiahi Yoga dengan pukulan pada sisi kepalanya, membuat cowok itu menatapnya dengan kesal. "Lo bukan pacarnya Luna jadi lo nggak berhak protes!"
"Lo udah tobat jadi saingannya Ferdian, ya? Kenapa tiba-tiba lo ngedukung dia?" tanya Yoga yang ikut kesal. "Krisna yang gue kenal kayaknya nggak mungkin ngebela Ferdian, deh."
Krisna lantas nyengir. "Soalnya gue dapet tips dari Ferdian secara langsung gimana caranya dapetin hati Elina. Muehehehe...."
"Betul kata Virga. Lo sukses jadi korban bucin," ejek Yoga.
"Lo juga, Yoga. Nggak usah munafik deh."
"Lebih tepatnya jadi temen dekatnya Luna sampai-sampai semua orang mengira kalau gue pacarnya. Masih lebih berkelas daripada lo, sih."
Keduanya lantas berdebat dan lagi-lagi semua pengunjung perpustakaan menatap mereka dengan tatapan mencela sekaligus emosi karena acara baca mereka telah diganggu dua kali hari ini.
Luna kontan mendorong Yoga dan Krisna keluar perpustakaan demi kepentingan perdamaian setelah menundukkan kepala ke semua orang sebagai isyarat permintaan maaf. Cewek itu sedang berpikir untuk melerai perdebatan keduanya ketika matanya menangkap visual yang segera mendenyutkan jantungnya dengan ritme yang tidak wajar.
Tidak wajar hingga serasa akan meledak dalam waktu singkat.
Pelakunya tentu adalah Ferdian Michiavelly, cowok yang tidak pernah sekali pun bisa Luna lupakan. Cowok yang tidak pernah sekali pun bisa menjauh dari pikiran Luna. Cowok yang tidak pernah sekali pun bisa membuat jantung Luna tenang setiap memikirkannya.
Bahkan setelah berpisah selama kurang lebih 10 bulan lamanya, desiran jantung Luna masih sama.
The time when we meet again, my love will be still the same.
Penampilan Ferdian berubah dan Luna merasa cowok itu begitu kejam padanya.
Karena perubahannya malah membuat Luna semakin baper.
Ferdian mengenakan setelan jas berwarna biru dongker dengan dalaman berwarna putih, yang membuat penampilan cowok itu justru terlihat lebih macho sekaligus... matang. Gimana ya, kayak cowok mapan yang bisa membuat cewek mana pun berteriak untuk segera menikahinya.
Belum lagi Ferdian menyisir rambutnya rapi hingga memamerkan jidatnya yang semakin menambah visualnya.
Luna refleks menahan napasnya ketika Ferdian sampai di depannya dan lantas berkata, "I'm missing you till death, Luna Lovandra."
Luna bisa mendengar jeritan yang sarat akan kebaperan yang ekstrem di belakangnya tepat pada saat Ferdian mencondongkan tubuh untuk memeluknya, mengabaikan Yoga dan Krisna yang sedari tadi dibuat membeku sejak kehadiran cowok itu.
Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro