Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

25). Lean Yourself to Me

You keep running in my mind. -L.L.

*****

Ferdian gelisah dan tidak berhenti melirik ponselnya yang entah ke berapa kalinya selama seharian ini. Juga, teleponnya tidak kunjung diangkat yang entah sudah berapa kali dilakukannya.

Tidak cukup dengan rasa gelisah, Ferdian juga merasa sangat cemas. Cowok itu belum pernah sekhawatir ini sebelumnya.

Batinnya juga belum pernah sekacau ini.

Ada sesuatu yang tidak beres, batin Ferdian mulai curiga sementara langkahnya dipercepat menyusuri koridor yang desain interiornya terlalu mewah seperti istana. Cowok itu lantas berlari ketika pikirannya mulai mengimajinasikan tragedi buruk dalam otaknya hingga mengalihkan perhatian Helen.

Helen segera menangkap lengan anak semata wayangnya yang untung saja berhasil karena kaki Ferdian melesat begitu cepat sampai-sampai wanita itu mengira anaknya mempunyai kemampuan terbang yang magis.

"Kamu kenapa, Nak?" tanya Helen tetapi Ferdian telah menyingkirkan cekalan tangan mamanya dengan paksa dan mengabaikannya.

Helen tidak menyerah, tangannya yang lain sekali lagi menangkap lengan Ferdian hingga cowok itu terpaksa menghentikan aksinya dan memutar bola matanya dengan jengah. "Better mind your own business, Mom. I beg you!"

"Nggak, Ferdian. Kamu sekarang di bawah pengawasan Mama jadi plis, jangan bertindak sendirian."

"Aku nyesel menuruti keinginan Mama untuk tinggal sementara di Bandung. Lagian Kakek udah sembuh jadi kehadiran aku udah nggak penting lagi, kan? Aku mau pulang."

"Yan, dengerin Mama...."

"Setidaknya aku udah bertahan selama seminggu dan menurut aku ini termasuk rekor. Kenapa Mama masih nahan aku di sini?"

"Itulah sebabnya kamu harus dengerin penjelasan Mama," jawab Helen dengan nada lelah, terdengar dari helaan napasnya yang begitu panjang dan berat. "Kamu nggak pernah berikan Mama kesempatan untuk menjelaskan sejak hari pertama kamu di sini."

"Nggak ada yang harus dijelasin menurut aku," kata Ferdian dingin. "Aku udah tau semuanya."

"Ini bukan hanya tentang rumah tangga kita yang hancur, melainkan ada kaitannya dengan keputusan Luna."

Mendengar nama Luna membuat Ferdian sukses menolehkan kepalanya begitu cepat hingga otot lehernya menegang. Meski terasa nyeri, prioritasnya sekarang adalah cewek itu. "Luna?"

Jantung Ferdian serasa mencelos. Apa-apaan ini? Mengapa Luna bisa dikaitkan di antara dia dan mamanya? Firasat cowok itu semakin keruh tatkala melihat sinar mata Helen yang sarat akan kesedihan dan rasa simpatik yang mengental.

"Keputusan Luna untuk melepaskan kamu demi masa depan kamu yang akan menjadi pewaris sah perusahaan keluarga kita."

~~~~~


"Thanks, Ga," ucap Luna sembari menerima sekaleng soda dingin yang diberikan oleh Yoga padanya.

"Sekarang lo bisa jelasin ke gue, kan? Karena gue tau ini bukan hanya sekedar sedih karena berpisah sementara dari Ferdian," kata Yoga sambil mendudukkan dirinya di sebelah Luna.

Mereka sekarang duduk di bangku panjang di koridor dekat perpustakaan. Di sana memang sepi karena selain letaknya di lantai tiga, area sana cenderung angker saking jarangnya dikunjungi. Bagi Luna malah bagus karena sejak Ferdian tidak lagi berada di sisinya, dia bisa dengan bebas tenggelam dalam dunianya sendiri dan tidak perlu malu jika ingin menangis.

Yoga-lah satu-satunya yang peka pada perubahan emosi Luna dan menyusul cewek itu ke koridor sepi tersebut.

Luna tahu mengapa. Karena sejak dia hampir menangis di kelas ketika menghadap jendela waktu itu, Yoga sudah curiga.

Mata Luna memang masih bengkak dan sembab karena baru habis menangis. Jujur saja cewek itu sudah lelah menangis dan berharap bisa 'sembuh' dari ini meski tidak tahu apa solusinya.

"Ini keputusan gue, Ga. Keputusan yang bodoh dan munafik," kata Luna yang matanya berkaca-kaca lagi. "Gue nyesel tapi di saat yang sama gue juga yakin kalo apa yang gue lakukan udah benar."

"Tapi lo nggak bahagia, Na."

Luna lantas menunjukkan senyum getirnya. Yoga memang selalu bisa memberikan kata-kata yang sukses menggerakkan hatinya sedemikian rupa hingga membuat cewek itu merasa seperti... gimana ya, seperti... dimengerti.

Memang benar, Luna tidak bahagia. Keputusan bodoh itu melukainya, alih-alih membahagiakannya.

"Lo bener, Ga. Gue pantes dapat semua ini karena ulah gue sendiri."

"Apa pun itu, gue harap gue bisa membantu supaya perasaan lo lebih baik, Na. Gue ngomong ini bukan karena mau mengingatkan lo dengan perasaan gue, tapi gue benar-benar menganggap lo sebagai teman dekat. Menurut gue, menjadi teman dekat itu jauh lebih baik daripada kita nggak terikat hubungan apa pun."

"Makasih banyak, Ga. Gue selalu menerima kebaikan lo tapi gue nggak pernah membalasnya. Yang ada, gue menghancurkan perasaan lo," ucap Luna sembari menghapus jejak air matanya. Benar yang dikatakan orang-orang, hati kita yang sedang gundah atau kacau bisa teralihkan jika kita mempunyai teman ngobrol. Apalagi kalau teman ngobrol itu sangat memahami perasaan kita.

Seperti Yoga Pradipto yang sama posisinya dengan Luna Lovandra; memiliki cinta tidak bersyarat. Untuknya.

"Bukankah arti cinta yang sebenarnya adalah turut bahagia melihat orang yang kita cintai bahagia? Maknanya bukan pada dia yang harus berakhir dengan kita, melainkan kebahagiaan yang berfokus pada orang yang kita cintai. Meski pada akhirnya lo nggak memilih gue, gue bersedia tetap menjadi teman lo karena hati lo baik, Na. Lo layak disayangi."

"Lo belum lama ngenal gue, tapi kenapa lo seyakin itu menilai gue?" tanya Luna, mengernyitkan alisnya karena gagal paham.

"Lo nangis diem-diem, Na. Itu artinya lo lebih rela terluka sendirian daripada melibatkan orang lain. Menurut gue, itu nggak ada bedanya dengan pengorbanan yang nggak semua orang bisa dan bersedia lakukan. Lo jelas sadar dengan risikonya, tapi lo malah jadi orang terdepan yang ikhlas menghadapinya. Gue salut sama lo, Luna.

"Lo tersenyum, akhirnya. Bagus deh," puji Yoga ketika melihat senyum yang terbit dari bibir Luna. "Penawaran gue nggak bakal kadaluarsa jadi kalo lo merasa mau bersandar, gue bersedia menenangkan lo."

Luna mengangguk lantas membuka kaleng soda yang diberikan oleh Yoga tadi dan menyeruput isinya sedikit.

"Jadi, lo batal kuliah di Bandung?" tanya Yoga yang ikut menenggak air sodanya juga.

Luna mengangguk. "Rencananya supaya Ferdian bisa kembali ke sisi mamanya dan menjadi pewaris perusahaan keluarganya. Dan juga...."

"Juga apa?"

"Juga... dia mungkin akan menikah dengan gadis pilihan keluarganya. Lo taulah dunia konglomerat kayak gimana, strategi perjodohan hanya untuk kepentingan bisnis."

"Lo cinta sama Ferdian, kan? Tapi kenapa lo malah mendukung dia menikah sama orang yang nggak dia cintai? Dia mungkin nggak bakal bahagia, Na."

"Makna ucapan lo kurang lebih mirip Mama gue, Ga. Tapi gue nggak bisa diem aja setelah tau kakeknya membutuhkan Ferdian terlepas dia jadi menikah dengan gadis pilihan itu atau tidak. Lagian, mamanya juga membutuhkan Iyan di sisinya. Dua poin itu sebenarnya yang jadi fokus gue selama ini."

"If you said so, let me create my own focus then."

Luna balas menatap mata milik Yoga yang sekarang balas menatapnya dengan tatapan serius.

"Let me dry your tears from now. You know why? Because you should get something like reward for your sacrifice. So, please lean yourself to me. You are very allowed to do that."

Yoga lantas melingkarkan lengannya ke sekeliling bahu Luna untuk menariknya ke sisinya, ke pelukannya. Pelukan itu ringan, tidak sarat akan tuntutan meminta lebih seakan cowok itu melakukannya hanya untuk sebuah formalitas saja. Seakan hanya untuk memberitahunya kalau dia akan ada di sisi Luna, menunjukkan eksistensinya.

Luna bisa merasakan ketulusan itu dan dia sangat berterima kasih karenanya. Itulah sebabnya mengapa selama sepersekian detik cewek itu memutuskan untuk mengikuti kata hatinya.

Yaitu memutuskan untuk membalas ketulusan Yoga dengan balas memeluknya lebih erat setelah menegakkan punggungnya, kemudian mengulurkan sebelah lengannya untuk menarik Yoga ke dalam pelukannya juga.

Yoga tahu pelukan tersebut hanya bermakna rasa terima kasih yang dalam, hanya saja cowok itu memilih untuk beranggapan kalau pelukan tersebut bermakna ambigu, berharap kalau pelukan itu sebenarnya untuk membalas perasaannya yang bertepuk sebelah tangan.

Nyesek? Banget. Namun sama seperti cinta tak bersyarat yang ditujukan hanya untuk Luna, dia tidak ingin memusatkan sakit hatinya hanya untuk pemikiran seperti itu.

Bahagia itu sederhana. Sesederhana pelukan yang dibalas oleh cewek yang disukainya.

Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro