20). Dating
Even if I had to live my life once again, I would choose to love you again. -L.L.
*****
"Sekarang gue paham mengapa lo sepengen itu pacaran sama gue," kata Ferdian dengan nada bangga sementara dia dan Luna berjalan bersisian dengan tangan saling terkait di mal.
"Apanya yang lo paham?" tanya Luna dengan mimik wajah lucu, sengaja berpura-pura tidak peka supaya Ferdian menjelaskan pernyataannya.
Hari ini adalah hari Minggu sehingga wajar jika pengunjung di mal sedang ramai-ramainya, masing-masing mencari kesenangan untuk mengisi waktu luang yang mana hanya terjadi sekali dalam seminggu di antara hari sibuk lainnya.
"Biar bisa pamer punya pacar ganteng, kan?" tanya Ferdian pede, tepat pada saat ekor matanya menatap sekelompok gadis abege yang meliriknya dengan tatapan penuh pujaan, jelas berharap bisa mempunyai pacar seperti Ferdian juga.
Visual Ferdian Michiavelly memang pacarable banget. Bagaimana tidak, bahkan setelan santai yang dipakainya sekarang sama sekali tidak mengurangi ketampanannya. Belum lagi tatapan intensnya yang khas, yang sudah pasti akan menggetarkan hati kaum hawa tanpa hambatan.
"Sama dong kalo gitu. Lo juga bisa pamer punya pacar cantik kayak gue," balas Luna tidak kalah pede yang situasinya menunjukkan relevansinya. Cewek itu bisa melihat gerombolan cowok yang mengerjapkan mata mereka hingga terkesan bintitan padanya.
Luna tidak tahan untuk tidak tertawa namun untung saja tawanya tidak jadi lepas karena Ferdian telah menariknya membelok menuju eskalator.
"Jadi, kita mau ke mana? Sebenarnya kalo mau jujur gue lebih suka kita tetap kencan di apartemen gue soalnya lebih bebas daripada kejebak macet kayak gini," keluh Ferdian yang harus sempit-sempitan dengan kerumunan orang di eskalator.
Luna sudah bisa menduga kalau celetukan Ferdian bermakna ambigu karena semua yang berada di sekitar mereka memberikan tatapan penuh celaan sekarang, bahkan ada ibu-ibu setengah baya yang refleks menutup telinga anaknya supaya tidak mendengar topik seperti ini.
Luna menyikut pinggang Ferdian dengan kesal sementara cowok itu sepertinya menikmati situasi ini.
Dia jelas sengaja.
"Gue mau ngerasain kencan di luar," bisik Luna akhirnya ke salah satu telinga Ferdian.
"Bukannya udah pernah?"
"Maksud lo, belanja di toko serba ada dekat apartemen kita? Itu nggak termasuk, Yan."
"Satu lagi. Nemenin gue nge-gym di lantai pertama apartemen kita," tambah Ferdian sementara tangannya menarik Luna setelah mereka sampai di ujung eskalator, menggunakan tubuhnya sendiri sebagai tameng untuk melewati para pengunjung mal supaya bisa segera sampai di area yang lebih sepi.
"Itu nggak termasuk kencan yang gue mau, Iyan," Luna berkata dengan tatapan jengah pada Ferdian. "Seperti yang lo bilang tadi, saking pengennya pacaran sama lo jadinya gue pengen ngerasain kencan yang sebenarnya kayak gimana."
"Lo beneran mau tau rasanya kencan yang sebenarnya kayak gimana?" tanya Ferdian dengan nada menantang. "Mau gue tunjukkan?"
Luna refleks menyilangkan lengannya di depan tubuhnya dan menatap Ferdian dengan horor. "Skinship nggak termasuk loh, ya."
Ferdian tertawa hingga melengkungkan matanya lagi, lantas memukul kepala Luna pelan setelah sebelumnya menggeram kecil. "Pikiran lo mengarah ke sana terus. Bukan, bukan skinship yang kayak gitu tapi gue jamin lo bakal ngerasain sensasi kupu-kupu terbang nanti. Yuk."
Meski gagal paham, tapi Luna menuruti kemauan Ferdian yang sekarang membawanya ke salah satu gerai yang menjual aneka cemilan lucu-lucu seperti es krim dan juga waffle.
Ferdian membuka mulutnya lebar-lebar di hadapan Luna yang kontan salah tingkah mengingat banyak yang melirik gegara visual mereka yang tidak biasa dan posisi duduk mereka yang sangat strategis.
"Harus banget ya suapin lo?" tanya Luna pada Ferdian yang mulutnya masih menunggu es krimnya Luna.
Ferdian mengatupkan mulutnya lantas menyeringai. "Ini namanya kencan yang sebenarnya, Luna-ku Sayang."
Luna lagi-lagi terserang sindrom kepiting rebus yang cepat sekali kambuhnya hanya karena gombalan kecil dari Ferdian.
"Kayaknya lo pengalaman banget soal ini," celetuk Luna, berusaha mengabaikan sindrom tersebut.
"Zaman sekarang teori ginian itu banyak, apalagi yang ekstrim." Ferdian berujar santai dan dia refleks tertawa ketika melihat reaksi Luna. "Ya udahlah ya, mumpung kita udah di sini untuk misi kencan yang sebenarnya, suapin gue sekarang."
Luna tidak punya pilihan mengingat ini semua berawal dari usulnya sendiri mengajak Ferdian kencan di luar. Cewek itu lantas menyendokkan es krim dari cup miliknya dan menyorongkannya ke dalam mulut Ferdian.
Gerakan Luna membeku seketika. Seakan dunia sekelilingnya sedang diatur dalam mode slow motion, cewek itu mendadak terpana dengan gerakan Ferdian yang sekarang membuka mulutnya sedemikian rupa hingga terkesan begitu seksi apalagi ada es krim yang menetes dari sudut bibirnya karena Luna tidak sengaja menyuapinya terlalu banyak es krim.
Luna gagal paham apakah imajinasinya yang membuat gerakan Ferdian menjadi lambat seperti itu atau dia sendiri yang menyambut es krim di hadapannya dengan gerakan yang sengaja diperlambat.
Karena Ferdian tersenyum nakal sekarang setelah mengelap sudut bibirnya sendiri dengan jempolnya.
"Am I that hot?" tanya Ferdian puas, membuat Luna merasakan damage dalam jantungnya. "Gue udah peringatin kalo lo bakal ngerasain sensasi kupu-kupu terbang dalam perut lo. Bener kan apa kata gue?"
Luna bergeming namun segera menguasai dirinya dan berdeham dengan gaya tidak peduli. "Gue juga bisa. Mau coba? Suapin gue waffle-nya."
Lima belas menit kemudian, terdengar tawa lepas dari Ferdian yang sepertinya tidak akan berhenti dalam waktu dekat ini. Cowok itu mengelus perutnya sendiri yang sekarang terasa agak berdenyut karena kebanyakan tawa.
Sementara Luna, cewek itu hanya bisa memonyongkan bibirnya dengan kesal, ekspresinya berbanding terbalik dengan pacarnya.
Masalahnya, Ferdian menertawakannya karena gagal menirukan keseksian cowok itu, jatuhnya malah kelihatan seperti cewek super adorable yang berusaha meraih potongan waffle dengan lidahnya alih-alih terlihat seksi.
"Udah puas tawanya?" tanya Luna kesal meski ekspresinya sudah melunak. Ya... gimana ya, siapa sih yang bisa kesal lama-lama kalau punya pacar seganteng Ferdian? Apalagi kalau dia tersenyum lebar kayak gitu, bukannya makin marah tapi yang ada suasana hati tambah adem.
Ferdian merangkul sekeliling Luna lantas mengacak rambutnya lagi dengan gemas, membuat cewek itu mendecakkan lidahnya dengan risih. "Rambut gue!!!"
"Habis ini mau ke mana?" tanya Ferdian, mengabaikan tatapan mencela dari Luna karena rambutnya telah berantakan.
"Nonton film."
"Di apartemen gue kan bisa. Mau sambil baring juga bisa."
"FERDIAN! Bisa nggak sih ngomongnya jangan bermakna ambigu mulu? Didenger orang nanti gimana?" protes Luna, sindromnya kambuh lagi.
"Loh bener dong apa yang gue bilang. Lo aja yang parno-an!" kilah Ferdian tidak terima. "Tapi gue serius, mending nonton di apartemen deh. Malas ah gelap-gelapan, nanti timbul godaan gimana, hayo? Lo mau tanggung jawab?"
"IYAN!!"
"Ya, Sayang?"
"Isshhh!"
"Oke, oke, kita nonton. Ayo beli tiketnya."
"Nah gitu dong!" pekik Luna senang, tidak sadar merangkul sekeliling pinggang Ferdian dan menyandarkan kepalanya ke tubuh cowok itu sementara langkah keduanya membawa mereka ke eskalator untuk naik ke lantai berikutnya.
"Hmm ngomong-ngomong, Yan. Kamu rencana kuliah di mana?"
"Belum mikir. Masih lama juga, kan?"
"Kita udah hadapin Ujian Semester Ganjil, tandanya udah seperempat jalan menuju kelulusan."
"Tetap aja masih lama. Emang lo udah pikirin mau kuliah dimana? Gue ikut lo deh," kata Ferdian tepat ketika mereka masuk ke lobi Cinema XXI dan langsung ke section makanan. Soal memesan tiket, tentu mereka memilih via online untuk menghindari kewajiban mengantri.
"Kalo kuliah di Bandung, menurut lo gimana?" tanya Luna, sukses membuat gerakan Ferdian pada layar ponselnya terhenti. Cowok itu sedang dalam proses mengecek jadwal tayang film dan baru akan mengambil keputusan mau nonton film yang mana.
"Yan?"
"Kenapa lo milih Bandung?"
"Kampusnya keren-keren menurut gue, nggak kalah sama di sini. Kenapa? Kok kayaknya lo kaget banget?"
"Hmm Mama gue udah netap di Bandung."
"Trus?"
Ferdian tidak jadi meneruskan kegiatannya, lantas menarik Luna menjauh dari keramaian. Cowok itu memilih duduk di salah satu sofa empuk disana, diikuti oleh Luna yang duduk di sebelahnya.
"Ceritanya agak bertele-tele dan nggak penting, tapi yang jelas papa sama mama gue udah mutusin buat pisah secara resmi. Kepindahan mereka selama ini sebenarnya hanya modus biar nggak ketahuan sama orang luar, termasuk keluarga lo. Itulah sebabnya gue selalu nutupin ini dan juga nolak lo karena gue takut ada saatnya gue diajak mama buat pindah dan kalo saat itu tiba, itu berarti gue harus ninggalin lo."
"Makasih udah cerita sama gue," ucap Luna sambil tersenyum. "Tapi sekarang Tante Helen cuma punya lo dan prioritasnya tidak lain tidak bukan adalah lo."
"Selama ini gue juga sendiri, Na."
Luna seketika bungkam, bukan karena sedang memikirkan kata-kata lain untuk membujuk Ferdian, tetapi cewek itu membeku karena perkataannya.
Kata-kata tersebut jelas sarat akan luka dan kecewa di saat bersamaan hingga berhasil membuat Luna sungkan untuk menyuarakan gagasan lain untuk membujuk Ferdian.
Luna menghela napas, meraih salah satu tangan Ferdian dan menggenggamnya dengan erat seakan meyakinkan cowok itu kalau dia kini tidak sendirian.
"Don't ever think you're alone, Yan. Bukannya lo punya gue di sisi lo sekarang? Maaf kalo gue kesannya ikut campur urusan keluarga lo, tapi gue cuma nggak mau lo nyesel belakangan. Jika Tante Helen dan Paman Danny udah pisah dan lo akhirnya ikut Tante Helen, itu artinya orang tua lo udah berkurang satu dan tinggal beliau satu-satunya yang lo punya."
Ferdian mengangguk. "Bener. Dan lo juga termasuk."
"Woya jelas," kata Luna dengan nada sombong. "Jadi, kalo kuliah di Bandung, lo mau?"
"Oke, gue mau. Asal sama lo. Setuju?"
Luna tidak langsung menjawab karena merasakan denyutan pada ulu hatinya dan segera menetralkan ekspresinya supaya tidak kentara.
Maafin gue, Yan.
"Tentu aja, kita pasti kuliah bareng di Bandung," jawab Luna akhirnya.
Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro