14). Reveal (2)
The night when I revealed everything. -F.M.
*****
Ferdian sebenarnya sedang berpura-pura tidur ketika merasakan Yoga sedang bergerak tidak jelas di sudut tenda dan juga berpikir untuk keluar saat mendengar bunyi khas tanda ritsleting yang dibuka secara perlahan oleh cowok itu.
Sama halnya dengan Yoga yang merasa pengap dalam tenda yang tidak kunjung membuatnya terlelap, Ferdian menyusul langkah Yoga. Cowok itu jelas tidak tahu karena jarak di antara keduanya cukup jauh, lagi pula minimnya cahaya tidak membuatnya sadar kalau ada seseorang yang sedang membuntutinya.
Teknisnya bukannya membuntuti, melainkan Ferdian berpikir Yoga juga mempunyai pikiran yang sama dengannya, entah untuk membilas mukanya di toilet atau menghirup angin luar yang siapa tahu bisa meredakan rasa pusing di kepala.
Rupanya tidak. Alih-alih meneruskan langkahnya menuju toilet, Yoga duduk di salah bangku panjang yang terletak di koridor. Untung saja Ferdian berada di antara pilar yang tidak terakses oleh cahaya lampu dalam aula sehingga ketika dia melihat sosok Luna mendekati Yoga, dia merasa tidak perlu menunjukkan eksistensinya.
Entahlah, mungkin cowok itu merasa kalau kehadirannya hanya akan membuat semuanya menjadi rumit. Lagi pula ketika mendengar bagaimana Luna memanggil Yoga dan duduk di sebelahnya, Ferdian merasa kalau dirinya hanya akan menjadi obat nyamuk jika keberadaannya diketahui.
Padahal keputusan Ferdian sendirilah yang membuat semuanya menjadi rumit, persis seperti apa yang pernah dikatakan Orion tentangnya.
"Kalo gue mau curhat, lo mau denger?" Ferdian mendengar Luna bertanya pada Yoga, sukses membuat cowok itu kesal karena menjadi pertanda kalau kedekatan keduanya sejelas itu.
Oleh sebab itu, Ferdian mulai berpikir untuk kembali ke tendanya sendiri ketika telinganya menangkap curhatan Luna yang cowok itu tahu berkaitan dengan dirinya.
"Ga, ini mungkin kedengarannya munafik atau mungkin kesannya gue nggak berusaha lebih keras lagi. Tapi gue harus jelaskan ke lo sebelum semuanya terlambat. Gue—–"
"Gue mulai paham ke mana arah bicara lo. Jadi sebelum lo selesaikan omongan lo, apa gue boleh ngomong duluan?" Ferdian mendengar Yoga memotong perkataan Luna dan ternyata tujuannya adalah untuk menyatakan perasaannya pada cewek itu. Dari perkataannya, sepertinya cowok itu sudah tahu kalau cintanya akan ditolak sebentar lagi.
Katakan Ferdian jahat, tidak apa-apa. Karena suasana hati cowok itu mendadak terasa lebih ringan saat itu juga.
"Lo udah berusaha, Ga. Jujur aja gue tersentuh sama usaha lo," kata Luna yang sarat akan hiburan untuk menenangkan Yoga. "Hanya gue yang bodoh karena masih bertahan jadi bucinnya dia setelah apa yang udah dia lakuin ke gue."
"Benar. Gue jahat sama lo," bisik Ferdian dari balik pilar dengan tatapan sedih. "Apa gue boleh egois sekarang?"
"Yang mau gue curhatin ke lo adalah, gue hanya mencoba menghibur diri gue sendiri meski gue tau gue bodoh dan munafik. Meski dia nggak membalas perasaan gue, di satu titik gue paham kalo gue nggak bisa memaksakan perasaan dia. Meski dia selalu mematahkan hati gue, di satu titik gue paham kalo gue nggak bisa memusuhi dia. Dan meski dia menyuruh gue untuk melupakan dia, di satu titik gue paham kalo gue malah semakin suka dia. Itulah sebabnya, gue sadar kalo gue nggak akan bisa move on sampai kapanpun."
Ulu hati Ferdian serasa nyeri mendengar semua curhatan Luna. Dia memang tahu kalau cinta cewek itu sebesar itu untuk dirinya, tetapi dia tidak menyangka kalau pemahaman Luna pada cintanya akan sebesar ini karena alih-alih membencinya seperti yang biasanya dilakukan oleh korban bucin lain, cewek itu mencintainya dengan ketulusan yang tidak terhingga. Teknisnya, cinta tak bersyarat.
"Gue nggak bisa libatkan lo, Ga, setelah apa yang gue rasakan karena hanya gue sendiri yang bisa memahami sedalam apa perasaan gue. Jatuh cinta mungkin hanya memerlukan tiga detik, tapi melupakan dia mungkin memerlukan tiga kali hidup gue. Maafin gue, Ga."
Ferdian lantas menolehkan kepalanya ke arah Luna dari jauh ketika mendengar kalimat terakhir cewek itu. Luna jelas menunjukkan padanya kalau cinta tidak hanya sebatas memberi perhatian pada orang yang dicintai, tetapi juga ada risiko yang harus dipertaruhkan setelahnya, yaitu melupakan.
"Mereka bilang, masa SMA itu masa pencarian jati diri karena masa-masa itu bukan hanya sebatas perkembangan fisik saja, melainkan juga mendewasakan kita dalam cara berpikir. Gue rasa gue bisa ambil hikmahnya dari ini semua. Gue jadi tau gimana menghadapi perasaan gue sendiri. Gue mulai bisa mengendalikan perasaan gue, jadi Ferdian nggak bakal tau gimana frustasinya gue. Dia mungkin ngira rasa cinta gue bakal berkurang seiring berjalannya waktu.
"Benar yang dikatakan Ferdian waktu itu. Perasaan kita tidak ada kaitannya dengan siapapun karena perasaan kita hanyalah milik kita sendiri. Jadi, apapun konsekuensinya, adalah resiko kita sendiri. Apa lo setuju sama gue?"
Semua yang dikatakan oleh Luna serasa menampar Ferdian sedemikian rupa hingga membuat cowok itu menutup bibirnya dengan punggung tangan supaya dia bisa menahan diri untuk tidak mengeluarkan rintihan yang bersumber dari dalam dadanya. Dadanya sesak sementara cowok itu berusaha menghirup oksigen banyak-banyak supaya bisa mengendalikan dirinya.
Dengan ketulusan Luna sebesar itu, Ferdian sangat malu dengan dirinya sendiri. Dia selalu berpikir Luna akan baik-baik saja dan lukanya tidak akan sebesar luka yang didapat setelah cowok itu meninggalkannya suatu saat.
Ternyata Ferdian salah. Alih-alih menjauhkan Luna dari luka, cowok itu malah menorehkan luka pada cewek itu dengan tangannya sendiri.
"Hmm... gue ke toilet dulu ya. Mau cuci muka, kali aja habis cuci muka gue bisa langsung ngantuk." Ferdian mendengar Luna berpamitan pada Yoga, membuat cowok itu merasa harus bertindak sebelum terlambat.
Ferdian tidak ingin kehilangan Luna. Ferdian tidak ingin lagi membuat Luna terluka. Sudah selayaknya jika Luna mendapat balasan atas kasih sayangnya.
~~~~~
Ferdian melepas dirinya dari Luna, menatap cewek itu secara mendetail dan intens seakan menyensornya ke dalam memori. Cowok itu bisa melihat bagaimana kedua mata Luna yang sedang terpejam tadi, sekarang mulai membuka secara perlahan dan rona merah segera menjalari pipinya yang polos.
Visual Luna Lovandra menjadi lebih optimal sekarang.
Luna menundukkan kepalanya, membuat Ferdian tidak tahan untuk tidak menggodanya dengan berkata, "So, how was our skinship? It's not funny if you say you don't like it."
Luna bungkam, sepertinya pita suaranya mendadak tidak berfungsi, membuat Ferdian menarik seringai di bibirnya. "Gue tau itu ciuman pertama lo, tapi apa lo harus semalu itu? Gue jadi merasa sedang menodai anak di bawah umur."
Senyum Ferdian tidak kunjung berhenti, dia terlihat begitu menikmati ekspresi Luna. Bahkan cowok itu tidak berniat menjauhkan wajahnya seakan memang sengaja melakukannya.
"Oh, kayaknya lo mesti dicium lagi biar terbiasa," kata Ferdian lagi tetapi kali ini Luna seperti mendapat suntikan kekuatan karena kedua tangannya refleks menahan tubuh cowok itu supaya tidak mendekat.
"I-ini udah subuh, Yan."
"Oh jadi boleh lanjut nanti malam?"
"Ferdian!" seru Luna yang rona merahnya sudah merambat ke telinganya.
Ferdian membuka mulutnya untuk membalas perkataan Luna tetapi saat itu mendadak saja ada suara sayup-sayup yang terdengar dari koridor. Jelas ada yang sedang mendekati toilet.
Luna segera menarik Ferdian ke salah satu bilik toilet cewek dan lantas mengunci pintunya setelah keduanya masuk ke dalam.
Ferdian seketika mendengus geli. "Jadi ceritanya, lo mau kita ciuman di sini?"
Luna memukul lengan Ferdian dengan geram lalu berbisik, "Kita ini lagi sembunyi, Yan. Kalo ketahuan gimana?"
"Kalo ketahuan juga nggak apa-apa. Gue rela kok dihukum berdua sama lo. Kalo perlu, hukumannya dikunci berdua dalam satu ruangan."
"Sssttttt!! Jangan keras-keras!" hardik Luna, refleks menutup bibir Ferdian dengan salah satu tangannya sendiri. Meski cewek itu tidak bisa melihat senyuman Ferdian, tetap saja sekarang cowok itu memberinya tatapan jenaka yang terekspos jelas lewat lengkungan pada matanya yang mirip seperti kucing.
Ferdian mengulurkan kedua tangannya lantas menarik pinggang Luna ke arahnya, menubruknya hingga mata cewek itu membelalak protes.
Tetapi Ferdian mengabaikannya. Sebelah tangannya melepas blokiran tangan Luna dan cowok itu memajukan wajahnya untuk mendarat sebuah ciuman ke sebelah pipi Luna yang lembut seperti kulit bayi. Ciuman tersebut cukup ringan tetapi sukses memberi damage yang luar biasa dalam jiwa Luna. "Oke, gue balik duluan ke tenda. Nanti lo nyusul, ya? Lanjut tidur, jangan lupa mimpiin gue."
Luna masih merasakan damage yang sepertinya tidak akan mereda sampai cewek itu kembali ke tenda. Bahkan mungkin dia tidak akan bisa tidur.
Karena Luna takut jika dia tidur, semua yang terjadi selama setengah jam terakhir ini hanyalah mimpi.
Sementara Ferdian, cowok itu yakin kalau dia akan langsung terlelap setelah membaringkan kepalanya nanti di tenda. Karena cowok itu belum pernah merasa serileks dan sebahagia ini.
Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro