Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

13). Reveal

Someday once the moment when I stand in front of you
(Time of Dogs and Wolves). -F.M.

*****

Malam sudah larut tetapi Yoga masih sulit memejamkan matanya. Dia melirik teman setendanya dan merasa iri karena sepertinya hanya dia sendiri yang mengalami insomnia.

Seharusnya wajar, karena sudah hal umum kalau beradaptasi di lingkungan baru bukanlah hal mudah. Meskipun demikian, dia merasa takjub mendengar dengkuran halus Virga dan memperhatikan Krisna yang wajahnya seperti bayi ketika tidur, meski ekspresi tidurnya Ferdian tidak cocok dikategorikan sebagai tidur nyenyak.

Yoga mengarahkan tatapannya cukup lama ke langit-langit tenda sembari mengingat kembali kejadian tadi sore di lapangan, tentang aksi heroik Luna yang sempat membuatnya bahagia tetapi harus merasakan nyeri dalam ulu hatinya ketika aksi Ferdian mampu mengalihkan perhatian cewek itu dalam sekejap.

Sama seperti Luna Lovandra yang gampang goyah karena perhatian kecil dari Ferdian Michiavelly, perasaan Yoga Pradipto juga gampang oleng hanya karena melihat eksistensi Luna Lovandra.

Jatuh cinta memang semudah membalikkan telapak tangan. Sementara melupakan, memang sama sulitnya dengan memindahkan gunung. Intinya adalah, mustahil.

Yoga berpikir usahanya tidak akan berhasil selama Ferdian masih mengitari dunianya Luna.

Yoga mengalihkan pandangannya ke Ferdian yang masih memejamkan matanya di ujung tenda, sempat berpikir untuk menjitaknya sebagai pelampiasan karena selalu saja 'nakal', tetapi urung dilakukannya ketika dia merasa kalau ini bukanlah gayanya.

Sama seperti pemikiran Luna, Yoga juga berpikir kalau memaksakan perasaan apalagi berbuat curang tidak pernah sekalipun bisa masuk dalam daftar keinginannya.

Karena dia ingin dan hanya ingin mencintai Luna dengan caranya sendiri. Murni dengan usahanya sendiri.

Merasa suntuk di dalam tenda yang membuatnya semakin pusing, Yoga lantas bangun dan secara perlahan keluar dari tenda supaya tidak mengganggu teman-temannya. Cowok itu cukup bersyukur karena tidak ada peraturan tertentu selama mereka beristirahat di Auditorium. Alasannya adalah sekolah mereka cukup aman karena jauh dari area terbuka yang memungkinkan resiko berbahaya lainnya. Selain itu, letak aula dengan toilet sekolah tidak terlalu jauh, mereka hanya perlu berbelok sedikit ke kanan setelah melewati koridor di antaranya.

Yoga duduk di salah satu bangku panjang yang terletak di koridor menuju toilet, berpikir untuk menenangkan dirinya sejenak ketika matanya menangkap sosok Luna yang muncul dari belokan. Cewek itu juga sama kagetnya dengan dirinya.

"Eh, lo nggak tidur?" tanya Luna, tampak manis dengan setelan tidurnya bermotif Hello Kitty.

Yoga mengangkat bahunya dengan seringai di bibirnya. "Gue nggak bisa tidur."

Luna menghela napas, matanya seperti mengungkapkan sesuatu yang jika diartikan menjadi; I feel you. "Sama, Ga. Gue dari tadi nyoba nutup mata tapi nggak bisa tidur padahal satu badan gue pegel semua. Gue jadi iri sama yang lainnya. Pada ngorok semua."

Yoga tertawa renyah mendengarnya lantas senyum paketnya muncul lagi sementara Luna mengisi tempat kosong di sebelah cowok itu. "Kok bisa sama sih? Semua juga pada ngorok sebelum gue keluar."

"Oh ya? Ferdian juga? Biasanya sih...."

Luna tiba-tiba menghentikan obrolannya, sadar kalau mulutnya tidak bisa direm.

"Santai aja kali, Na. Gue ngerti kok."

Luna membuang napas super panjangnya lantas menatap balik Yoga dengan tatapan yang sarat akan keletihan yang kentara. "Kalo gue mau curhat, lo mau denger?"

Yoga mendengus geli ketika mendengar pertanyaan itu. "Ya mau lah, Na. Lo lupa sama penawaran gue? Jangankan dengerin lo curhat, gue bahkan bersedia membiarkan lo bersandar sama gue. Asal lo mau."

Kalimat terakhir Yoga sempat membuat Luna membeku di tempatnya. Cewek itu cukup tahu dan mengerti akan sesuatu hal penting dari bahasa tubuh cowok itu.

Bahwa Yoga telah jatuh untuknya.

Meski mungkin perasaan Yoga belum dalam untuknya, Luna merasa harus menjelaskan semua ini padanya sebelum semuanya terlambat.

Dia tidak ingin Yoga terluka. Tidak, apalagi setelah tahu kalau cowok itu sudah mulai jatuh cinta padanya.

"Ga, ini mungkin kedengarannya munafik atau mungkin kesannya gue nggak berusaha lebih keras lagi. Tapi gue harus jelaskan ke lo sebelum semuanya terlambat. Gue--"

"Gue mulai paham ke mana arah bicara lo. Jadi sebelum lo selesaikan omongan lo, apa gue boleh ngomong duluan?" potong Yoga sambil nyengir. Lebih tepatnya, dia berusaha terdengar tidak terlalu terpengaruh dengan apa yang hendak dikatakan oleh Luna.

Luna mengangguk.

"Na, ini mungkin kedengarannya terlalu cepat atau mungkin kesannya gue terlalu melibatkan perasaan gue. Tapi gue harus jelaskan juga ke lo sebelum semuanya terlambat. Gue... gue bener-bener punya perasaan serius sama lo dan meski gue udah bisa merasakan kalo lo udah tau semuanya, tetap aja gue merasa setidaknya gue udah berusaha semaksimal mungkin untuk mencoba menarik perhatian lo--"

"Lo udah berusaha, Ga. Jujur aja gue tersentuh sama usaha lo," potong Luna segera. "Hanya gue yang bodoh karena masih bertahan jadi bucinnya dia setelah apa yang udah dia lakuin ke gue."

"Na...."

"Yang mau gue curhatin ke lo adalah, gue hanya mencoba menghibur diri gue sendiri meski gue tau gue bodoh dan munafik. Meski dia nggak membalas perasaan gue, di satu titik gue paham kalo gue nggak bisa memaksakan perasaan dia. Meski dia selalu mematahkan hati gue, di satu titik gue paham kalo gue nggak bisa memusuhi dia. Dan meski dia menyuruh gue untuk melupakan dia, di satu titik gue paham kalo gue malah semakin suka dia. Itulah sebabnya, gue sadar kalo gue nggak akan bisa move on sampai kapanpun.

"Gue nggak bisa libatkan lo, Ga, setelah apa yang gue rasakan karena hanya gue sendiri yang bisa memahami sedalam apa perasaan gue," lanjut Luna setelah jeda selama beberapa saat dan tampaknya Yoga tidak berniat untuk merespons. "Jatuh cinta mungkin hanya memerlukan tiga detik, tapi melupakan dia mungkin memerlukan tiga kali hidup gue. Maafin gue, Ga."

Luna menatap simpatik Yoga karena dia bisa melihat sinar luka yang terpancar dari mata cowok itu dan bahkan bagian putih matanya telah memerah. Sebenarnya bukan penolakan yang membuatnya sakit seperti ini, melainkan karena sekuat itu perasaan Luna pada Ferdian.

Tidak hanya Luna yang simpatik pada Yoga, cowok itu juga simpatik padanya.

"Mereka bilang, masa SMA itu masa pencarian jati diri karena masa-masa itu bukan hanya sebatas pengembangan fisik saja, melainkan juga mendewasakan kita dalam cara berpikir. Gue rasa gue bisa ambil hikmahnya dari ini semua. Gue jadi tau gimana menghadapi perasaan gue sendiri. Gue mulai bisa mengendalikan perasaan gue, jadi Ferdian nggak bakal tau gimana frustasinya gue. Dia mungkin ngira rasa cinta gue bakal berkurang seiring berjalannya waktu."

"Na...."

"Benar yang dikatakan Ferdian waktu itu. Perasaan kita nggak ada kaitannya dengan siapapun karena perasaan kita hanyalah milik kita sendiri. Jadi, apapun konsekuensinya, adalah resiko kita sendiri. Apa lo setuju sama gue?"

Herannya meski semua penjelasan Luna bermakna baper dan menyedihkan, cewek itu tidak menangis seakan dia telah menerima semuanya dengan lapang dada. Yoga bahkan tersenyum sekarang, karena dia cukup lega melihat cewek yang disukainya tidak menderita hingga terluka, alih-alih menangis dan patah hati.

Bukankah jika kita tulus menyukai seseorang, kita mengharapkan kebahagiaannya?

Mencintai Ferdian Michiavelly adalah pilihan Luna Lovandra dan cewek itu bahagia karenanya.

Yoga Pradipto menerima kenyataan itu.

"Hmm... gue ke toilet dulu, ya. Mau cuci muka, kali aja habis cuci muka gue bisa langsung ngantuk," kata Luna sambil tersenyum, disambut Yoga dengan senyum paketnya.

"Gue balik ke tenda kalo gitu, ya." Yoga membalas dan keduanya berpisah dari titik temu koridor tersebut.

~~~~~

Luna baru saja keluar dari bilik toilet dan hendak kembali ke tendanya ketika tangannya ditarik oleh seseorang.

Jantung Luna serasa mencelus lantas langsung mengomel setelah tahu pelakunya. "Udah gue bilangin, Yan, jangan narik gue mendadak kayak gini! Gue hampir jantungan, tauk!!!"

Suara Luna terdengar menggema karena mereka masih berada di sekitar toilet dan juga waktu telah menunjukkan lewat tengah malam. Hari telah berganti.

Ferdian melepaskan cekalannya pada tangan Luna, lantas memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana training-nya, meski itu tidak membuat visualnya berkurang.

Namanya ganteng, mau pakai setelan apa pun tetap saja wajahnya ganteng.

Kaki Luna serasa berubah menjadi jeli karena Ferdian menatapnya intens tanpa berniat untuk lepas.

"Gue nggak mau basa-basi, jadi gue bakal langsung terus terang kalo gue denger semua percakapan lo sama Yoga tadi."

"Lo nguping?" tanya Luna keras dan mau tidak mau wajahnya memerah karena semua isi hatinya telah diketahui oleh Ferdian. "Oke, itu nggak penting, toh lo juga udah denger semuanya. So, is there anything you want to say? I have to go back now."

"Kalo ada, lo mau denger?" tanya Ferdian yang ekspresinya selalu membuat Luna gagal paham.

Luna selalu tidak bisa menebak apa isi hati Ferdian yang sebenarnya. Sama seperti kejadian di apartemen Ferdian, sewaktu dia menangkup sisi wajah Luna dengan lembut. Pancaran matanya terlalu konyol jika disebut sebagai tatapan tanpa perasaan padanya.

"Pernah denger istilah 'Time of Dog and Wolf'?"

"Itu senja, kan? Disebut Twilight sebagai titik temu antara siang dan malam yang membuat lo nggak bisa bedain antara anjing sama serigala karena sinar merah yang dipancarkan selama durasi tersebut."

Ferdian mengangguk. "Jika gue harus menggambarkan perasaan gue ke elo, gue bakal menggunakan ungkapan itu. Mau tau penjabarannya kayak gimana?"

Luna bungkam, entah berusaha untuk mencari tahu maknanya atau sengaja menunggu supaya Ferdian menjelaskan semuanya sendiri.

"Sama seperti senja, perasaan gue mempunyai dua sisi, sebagai dog yang menggemaskan atau sebagai wolf yang berbahaya. Jadi, kalo lo jadi gue, apakah lo tetap akan melanjutkan perasaan itu?"

"Intinya, lo bingung apakah cinta lo ini beneran tulus atau hanya untuk mempermainkan gue. Itu kan maksud lo?" tanya Luna lugas, mulai mengerti arah pembicaraan Ferdian.

"Smart as expected," puji Ferdian sambil menyeringai. "Jujur aja gue selalu merasa nggak senang setiap melihat lo dekat sama cowok lain. Sebaliknya, gue suka menahan lo di sisi gue. Gue suka dengan kasih sayang lo ke gue ibarat air keran yang nggak berhenti mengalir. Lo boleh bilang gue egois, tapi begitulah kenyataannya."

"Kalo gitu izinkan gue bertanya. Kalo gue benar-benar menghilang dari kehidupan lo, apa lo sanggup melewati hari-hari tanpa gue?"

Ferdian terdiam, sejenak dia berilusi kalau dialah yang menghilang dari kehidupan Luna, bukannya sebaliknya.

Luna tersenyum. "Gue suka sama lo bukan karena suka gitu aja, Yan. Selama empat tahun gue bertahan, gue juga ngenal lo dengan baik. Jadi walau lo nyebelin, gue yakin lo bukan orang brengsek. Apalagi setelah liat reaksi lo sekarang, gue mulai paham esensi pentingnya."

Luna menatap Ferdian dengan tatapan yang sama seperti cara cowok itu memandangnya sehingga sinar keyakinannya begitu kentara. "Lo terlalu memikirkan konsekuensi buruk dalam otak lo. Nggak usah jauh-jauh, penjabaran lo aja harus pake istilah dog and wolf segala. Kalo gue jadi lo, gue akan memaknainya dengan cara lain. Durasi senja walau sebentar, tapi bukankah akan membahagiakan jika kita cukup fokus pada keindahannya? Sama seperti kita, Yan. Kalo perasaan kita sama, kenapa kita nggak jalani aja?"

Lantas Luna tersenyum lebar. "Jika pada akhirnya kita nggak berjodoh, setidaknya gue punya kenangan indah sama lo."

Luna masih bertahan dengan senyumnya, sementara Ferdian masih menatapnya tajam seperti biasa. Lantas tidak disangka-sangka, tangan cowok itu tiba-tiba terulur hanya untuk merengkuh cewek itu ke dalam pelukannya.

Mata Luna membelalak hingga ukuran maksimal tetapi segera tersenyum setelah berhasil mengendalikan dirinya. Jantungnya berdetak kencang tanpa bisa dicegah dan mendadak merasa sesak karena bernapas terlalu cepat.

"Gue nggak mau nahan perasaan gue lagi," bisik Ferdian sembari melepaskan pelukannya. Wajahnya begitu dekat dengan wajah Luna sehingga mereka bisa saling membaui aroma tubuh satu sama lain.

"So, can we have our skinship now?" tanya Ferdian dengan tatapan nakal tetapi tidak mengizinkan Luna menjawab.

Karena cowok itu telah memblokir bibir Luna dengan bibirnya sendiri pada detik berikutnya. Kedua tangannya lantas memeluk sekeliling pundak cewek itu sementara bibir mereka saling berpagutan dengan intens, sama sekali tidak menyisakan jarak di antara mereka.

Luna menutup kedua matanya dan sadar kalau kedua tangannya juga memeluk sekeliling pinggang Ferdian dengan lembut, berusaha mengabaikan ledakan dari dalam jantungnya yang mirip seperti ledakan petasan.

Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro