Bab 7 ~ Cita - cita
Tahun ajaran baru telah dimulai. Akhirnnya, aku jadi anak kelas 12. Waktu berlari begitu cepat. Menjadi anak kelas 12 adalah masanya untuk lebih serius belajar dan menentukan akan ke mana sesudah lulus. Apakah berumah tangga, ke dunia kerja, atau ke dunia perkuliahan. Banyak anak kelas 12 yang menjawab dengan pasti akan ke mana setelah lulus SMA. Namun, ada beberapanya yang bingung akan ke mana. Salah satunya adalah diriku. Awalanya, aku bercita – cita untuk menjadi seorang dokter. Mngenakan baju putih adalah idamanku. Namun, kondisi ekonomi keluarga yang pas – pasan membuatku mengurungkan niat itu sudah sejak lama.
Hari ini kepala sekolah masuk ke dalam kelas kami dan mempertanyakan satu persatu siswa.
"Yang nanti kuliah sesudah tamat angkat tangan." Ujarnya.
Banyak yang angkat tangan. Namun, ada beberapa yang ragu – ragu. Kepala sekolah berkata, "Jika, orang tua kalian tidak mau membiaya kalian kuliah. Kalian berikan dua pilihan kepada orang tua kalian. Membiaya kalian kuliah, atau melihat kalian langsung berumah tangga." Jelas kepala sekolah yang super disiplin di sekolah kami. Kepala sekolah yang mempunyai selera humor tinggi namun tegas. Ia selalu turun tangan sendiri mengurusi anak – anak yang selalu telat. Seperti, memberi hukuman untuk membersihkan lingkungan sekolah dan berjemur di bawah panasnya terik matahari. Ia juga sering mengunjungi kelas – kelas yang jam kosong hanya untuk sekedar mengecek kehadiran, atau berbagi pengalaman. Beliau menjadi salah satu guru favoriteku di SMA.
Bukannya aku tidak mau melanjutkan pendidikan. Melihat Ayah yang bekerja di negeri jiran dengan gaji tidak begitu besar yang membuatku ragu untuk kuliah. Mengingat, ada Adik –adikku yang juga sedang sekolah. Kakak laki – lakiku sendiri sudah beristri di sana. Sepeser duit pun sudah jarang ia berikan pada Adik – adiknya.
Kepala sekolah meninggalkan kelas. Anak – anak mulai mendiskusi tujuan mereka masing – masing. Ada yang ingin jadi TNI, Polri, Guru, Jurnalis dan lainnya. Mereka terlihat sangat bersemangat.
Ria datang dan duduk bersamaku.
"Amira, kamu nanti mau lanjut mau ngambil jurusan apa?" Tanyanya. "Aku nanti mau ngambil jurusan Ilmu Komunikasi."
"Aku keknya nggak kuliah deh, Ria." Ujarku,
"Lah, kenapa? Harus dong Amira. Biar kita bisa sama – sama terus. Dan usahain kita satu kampus." Ujar Ria.
"Tapi...Aku mau kerja aja deh." Tuturku.
"Ha?" Heran Ria.
***
Aku duduk di taman sekolah waktu itu. Seorang teman kelasku yang bernama Mersy menghampiriku dan menanyakan pendapatku tentang hubungannya dengan kekasihnya. Bukan baru kali saja, ini aku menjadi tempat curhat cewek – cewek di SMAku. Teman – teman kelasku maupun temanku dikelas lain juga sering mensharing cerita mereka padaku. Kata mereka, aku adalah pendengar yang baik dan dapat dipercaya. Selain itu, aku juga selalu memberikan solusi yang tepat untuk mereka.
"Amira, aku mau cerita," ujar Mersy dengan raut wajah yang sedih.
"Iya, Mer. Cerita aja." Ujarku.
"Aku cape Mir. Aku cape ngikutin semua kemauan pacar aku. Dia selalu ngancam kami udahan. Aku udah sayang banget sama dia. Aku nggak mau putus sama dia. Tapi, aku selalu sakit hati karena perbuatan dia yang terus – terusan dia ulangi. Aku harus gimana dong?" Jelas Mersy yang kelihatan lelah dengan hubungannya.
"Menurut aku sih, itu namanya udah toxic relationship deh. Karena dia cuma bisa nyakitin kamu. Apalagi, pake ngancam segala kek gitu. Kalau cowok yang benaran sayang sama kamu, dia nggak bakalan buat kamu sedih. Jadi, menurut aku kalau kamu udah cape banget nih, kamu bubar aja sama dia. Bukan maksud aku ngaruh kamu ya Mer. Tapi, coba deh kamu pikir lagi pake akal sehat. Apa pantas kamu ngasih kesempatan buat cowok yang udah berulang kali nyakitin kamu? Besar kepala dia nanti. Coba deh sayang sama diri kamu. Kasihan diri kamu yang terus – terusan nangis buat dia. Tapi, dia nggak pernah peka dengan apa yang kamu rasain. Emang, udah berapa lama kalian pacaran?"
"Kamu benar banget Mir, dia nggak pernah ngertiin aku. Aku udah cape banget. Udah setahun kami pacaran." Jelas Mersy.
"Oh, iya obrolan kita ini cuman kita berdua aja yang tau ya?" Pintaku.
"Iya, Amira. Terima kasih banget atas sarannya. Aku jadi lega udah cerita ke kamu.
"Ya, udah jangan sedih lagi. Tenangin diri kamu, kuatkan hati kamu buat ngadepin ini semua." Ujarku lalu memeluk hangat Mersy.
"Woii, ada apa ini?" Celetuk Ria yang membuat aku dan Mersy terperanjat.
"Ihh, kamu nggak apa – apa kok. Ini Mersy ada certain masalahnya sedikit ke aku." Jelasku.
"Mir, ingat kata aku tadi di dalam kelas. Pokoknya kamu harus kuliah ya?" Kata Ria kembali mengingatkan.
"Aku usahai'n deh," ujarku sambil tersenyum kecil.
"Mersy, kamu nanti lanjut kuliah nggak?" Tanya Ria.
"Kuliah dong," jawabnya.
Aku melihat kedua teman kelasku itu dengan rasa sedih. Dalam hati berkata, "Aku juga harus kuliah."
***
Di rumah aku menanyakan hal perkuliahan kepada Ibu.Barangkali, ada jawaban dari Ibu yang sedikit membuatku tenang dari masalah pikiran sedari tadi.
"Ibu, aku boleh kuliah nggak?" Tanyaku pada Ibu yang sedang duduk santai di ruang tamu.
"Ya, haruslah. Kakak kamu udah nggak kuliah. Terus, nanti Adek – adek kamu siapa yang urusin. Ibu sama Ayah semakin tua. Jadi, besok – besok kamu yang harus lanjutin Adek – adek kamu sekolah. Kamu harus raih gelar sarjana. Kamu tau sendirikan kalau dikeluarga kita tidak seorang pun yang sarjanawan." Jelas Ibu yang seketika membuatku langsung overthink. "Ayah kamu maunya kamu jadi guru supaya kalau kerja nanti, nggak jauh dari orang tua."
"Kenapa harus aku?" gumamku. Seperti inilah hidup. Semakin dewasa, semakin berat tanggung jawab yang kita pikul. Aku akan kuliah dan sekarang yang aku pikirkan adalah, aku harus masuk jurusan apa?
"Aku nggak mau jadi guru, Bu." Ketusku. "Aku nggak bisa jadi guru. Lagian, zaman sekarang udah terlalu banyak yang jadi guru."
"Dari kamu saja Amira. Yang penting, kamu liat peluang kerja yang bagus." Tegas Ibu.
Aku kurang puas dengan jawaban Ibu. Aku butuh saran atau sekedar pertanyaan yang lebih dari Ibu agar obrolan kami lebih panjang tentang masalah kuliah. Ibu tampaknya sibuk dengan dunianya sendiri. Hingga waktu untuk anak – anak sendiri kurang.
Aku merenungkan kemampuanku selama ini. Kemampuanku adalah mendengarkan seseorang dan memberi solusi. Aku suka melakukan hal itu. Berarti, apakah aku cocok menjadi seorang psikolog? Iya, tepat sekali. Aku sudah mantap dengan pilihan itu. Sekarang usaha yang harus aku lakukan adalah mencoba untuk lebih friendly ke orang – orang. Aku mencoba mengubah sifat pendiamku. Semua itu dilakukan dengan cara keluar dari zona nyamanku selama ini.Zona nyaman tidak keluar rumah, menghindari orang - orang tertentu.
Di mulailah perjalananku untuk keluar dari sangkar selama ini. Apapun resikonya. Aku percaya, jika aku yakin aku pasti bisa menggapainya.
***
1.038 Kata
Senin, 16 Mei 2022
Pukul 16.44 WITA
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro