Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 4 ~ Keluarga, Teman, dan Diri

Makin hari. langkahku semakin kecil. Untuk melakukan suatu hal pun nampaknya terbatas. Aku terlalu memikirkan orang lain, sampai lupa dengan diri sendiri. Di pikiranku terbesit seperti ini, "Tidak apa – apa, yang penting mereka baik – baik saja."

Pagi ini, aku mengerjakan pekerjaan rumah dengan tepat waktu. Dengan begitu, aku pun tiba di sekolah lebih awal dari biasanya. Sambil menunggu teman – temanku tiba, aku membuka instagram dan melihat foto Ria, Langit dan beberapa teman kelas. Aku iri dan menyesal karena tidak bisa bergabung bersama mereka kemarin. Mereka bakar – bakar jagung dan makan bersama.

"Kapan aku bisa seperti mereka ya?" gumamku dalam hati.

Aku memang jarang hang out bersama teman – teman. Tetapi, mengapa sekali saja aku ingin pergi pasti ada saja hal yang membuatku tinggal. Menyebalkan sekali. Sudah, tidak apa – apa. Pasti ada kesempatan lain. 

Sedang asik melihat – lihat story instagram, Ria pun tiba.

"Wehh, Amira. Rugi banget kemarin kamu nggak gabung. Seru banget lo," jelas Ria.

"Hmmm, lain kali aja yah." Ujarku dengan wajah datar.

"Kamu nggak apa – apa'kan?" Ujar Ria sembari meletakkan tangannya ke pundakku.

"Nggak." Jawabku singkat.

"Sip deh," ujar Ria lalu menuju ke bangkunya.

Ditengah kehebohan teman sekelas menceritakan kegiatan piknik kemarin, aku hanya duduk diam dan menyimak. Pasti bahagia rasanya punya banyak teman dan bisa melakukan apa saja. Melihat mereka, aku merasa terkucilkan. Padahal, banyak yang baik padaku. Semakin bertambah usia, mengapa rasanya pikiran semakin terbuka dan menjadi – jadi. Dulu waktu SMP, aku tidak pernah mengkhawatirkan tentang siapa temanku. Hidup aku jalani dengan apa adanya. Tetapi, sekarang melihat mereka aku merasa perlu untuk berteman.

Langit datang menghampiriku, "Mir, kenapa kemarin nggak ikut?"

Aku mengeluarkan buku dan pura – pura membacanya. Ya, ini salah satu trik yang aku lakukan agar tidak kelihatan sedih.

"Nggak mood aja, hehehe." Jawabku sambil pura – pura tertawa.

"Pokoknya lain kali kamu harus ikut," kata Langit dengan girang.

Sepertinya, aku harus membagi waktu dengan baik. Waktu untuk teman, keluarga dan diri sendiri. Selama ini, aku kebanyakan berdiam diri di rumah. Jika keluar rumah pun, itu hanya untuk urusan penting saja.

***

"Selamat siang, semua." Ucapku ketika baru saja tiba di rumah.

"Selamat siang semua," begitu juga Bulan memberikan salam.

"Iya, selamat siang." Jawab Ibu yang masih mengenakan seragam kantor yang menunjukkan bahwa Ibu baru saja tiba.

Aku dan Bulan menyalam tangan Ibu yang sedang sibuk dengan handphonenya. Entah, apa yang ia lihat. Mungkin membaca berita atau sekedar main facebook. Zaman sekarang tidak bisa dipungkiri lagi. Mulai dari yang berusia 5 tahun, hingga yang tua menggunakan handphone.Padahal, menurutku itu dapat menghilangkan fokus. Buktinya, banyak orang lupa waktu karena keasikan menonton atau main game.

"Bu, Robi udah pulang?" Tanyaku namun, tidak digubris.

"Bu, Robi mana?" Tanyaku kembali namun masih tidak dijawab.

Aku marah dan masuk ke dalam kamar untuk mengganti pakaian. Dari dalam kamar, aku mendengar keributan dari luar. Kedengaran suara Robi dan Bulan. Cepat – cepat aku keluar meleraikan mereka.

"Ada apa ini? Kenapa kalian berantem?" Tanyaku dengan emosi meluap – luap.

"Kak Bulan nggak mau ganti Upin Ipin Kak," jelas Robi sambil menangis.

"Ihh, orang ada film bagus juga," bantah Bulan.

"Bulan, ngalahlah sama Robi. Kamu'kan udah besar." Tegasku.

"Ada apa ini?" Sambar Ibu.

"Robi mau nonton Upin – Ipin Bu, tapi Bulan nggak mau ganti," jelasku.

Ibu menyuruh Bulan untuk menuruti keinginan Robi. Bulan pun lalu menggantinya.

"Huff.. Ada – ada saja mereka berdua. Bisa gila aku kalau terus – terusan seperti ini." Keluhku.

Konflik di dalam rumah seperti ini memang sering terjadi. Memang sering bikin pusing kepala. Namun, aku bersyukur mempunyai Adik walapun mereka sering membuat ulah.

"Oh iya Bu, ada surat dari sekolah tadi di kasih Bu Guru," kata Robi sambil memberikan surat ke tangan Ibu.

"Surat apa Dek?" tanya Ibu

Ibu lalu membuka surat itu. Surat yang diberikan Robi ternyata adalah surat panggilan orang tua dari sekolah. Dikarenakan Robi melukai teman sekelasnya.

"Sejak kapan kamu berantem Bi?" Tanya Ibu sambil melotot pada Robi.

Aku mulai panik, takut akan dipersalahkan oleh Ibu. Segera ke dapur untuk makan siang. Semoga saja Ibu tidak memanggilku. Aku ingin makan siang dengan tenang. Sambil menyantap makanan yang telah tersedia, aku mendengar Ibu sedang bertanya – tanya pada Robi namun tidak begitu jelas apa yang ia pertanyakan. Tidak lama kemudian, suara tangisan Robi kembali terdengar. Pasti ia dimarahi Ibu. Aku mulai gemetar. Takut akan dimarahi juga oleh Ibu.

"Amira! Amira!" Suara keras Ibu terdengar.

Ibu duduk bersamaku di meja makan dan...

"Amira, kenapa kamu nggak ngasih tahu ke Ibu kalau Robi berantem sama temannya. Anak orang demam gara – gara Robi. Kamu gimana sih jadi Kakak," Marah Ibu padaku. "Kamu mau Ibu malu?"

"Bu, aku boleh nggak ngabisin nasi dulu baru Ibu marah – marah seperti ini?" Lirihku.

"Kamu mau ngelawan orang tua? Udah pintar menjawab kamu ya!" Nada marahnya semakin tinggi.

"Bukan itu maksud aku Bu," jelasku.

"Kalian semua cuman bisa nyusahin Ibu," ujar Ibu lalu pergi meninggalkanku.

Aku menitikkan air mata mendengar perkataan yang Ibu lontarkan seperti itu.Baru kali ini, Ibu sekasar itu padaku. Terpaksa aku mengunyah makanan sambil menangis. Ibu memarahiku seolah – olah aku yang membuat masalah. Benar kata orang, kata – kata lebih menyakitkan daripada pukulan.

Aku berusaha memahami Ibuku. Mungkin dia lelah karena, baru pulang dari kantor. Tidak apa - apa, semuanya akan baik - baik saja.

"Lah, Kakak kenapa nangis?" Tanya Bulan yang hendak makan siang. "Dimarahin Ibu ya?"

Aku hanya diam membisu. Aku meneguk segelas air dan langsung mencuci piring yang baru saja kupakai.

"Habis makan langsung di cuci piringnya," pintaku pada Bulan.

"Iya," jawabnya.

"Oh iya, jangan lupa nyapu rumah kalau udah istirahat."

"Kakak mau ke mana sih? Kok main perintah aja." Kata Bulan dengan wajah kesal.

"Bukan urusan kamu," tegasku.

Aku hendak menenangkan pikiran di luar rumah. Namun, tidak mungkin aku menganggu Ibuku yang sedang naik pitam.

Seperti biasa, aku pun merebahkan tubuh ke atas kasur. Mungkin, tidur adalah solusi terbaik agar tidak overthinking.

Dalam keadaan seperti ini, mana yang harus kuurusi? Keluarga, teman atau diri sendiri. Aku harus menyelesaikan masalah keluarga, atau masalah dunia pertemananku. Di mana aku harus mencari teman lebih banyak lagi. Atau masalah dengan diri sendiri yang makin ke sini, makin bingung dengan isi kepala sendiri. Aku sering bergelut dengan isi kepala seperti, mempertanyakan mengapa tadi Ibu malah mempersalahkanku? Dan mengapa Ibu tidak selembut dulu? Apa karena Ayah tidak ada di sini? Sebegitu dalamnya aku mempertanyakan.

1.030. Kata

Pukul 16.19 WITA

Jumat, 13 Mei 2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro