Bab 3 ~ Terjerat Ulah?
Suasana di dalam kelas begitu hening ketika ulangan IPA dimulai. Aku menoleh ke kiri dan ke kanan. Teman – temanku tampak tenang mengerjakan soal. Sedangkan, aku masih ngestuck di soalan nomor satu. Keringat dingin mulai bercucuran.Ketika waktu mengerjakan soal habis, banyak soalan yang masih belum kujawab. Aku cemas kalau hasil ulanganku hari ini akan buruk.
"Baik, anak – anak silakan dikumpul lembaran jawabannya." Ujar Bu Sinta, guru IPA Biologi di SMA Bakti.
"Baik, Bu." Serentak kami menjawab. Masing - masing siswa mengumpulkan lembarannya masing - masing.
Saat Bu Sinta keluar kelas, aku menghampiri Ria dan bertanya, "Ri, gimana soal ulangan tadi, bisa jawab semua?"
"Hmmm, lumayanlah." Jawabnya.
"Eh, besok ikut aku yuk ke pantai?" Ajak Ria.
"Besok? Besokkan hari minggu ya. Nanti aku infoin deh kalau bisa," ujarku.
"Oke, kontak aja kalau jadi ya." Kata Ria sambil merapikan rambutnya.
"Kringgg..." Bel istirahat berbunyi.
"Hai, Ri! Hai Mira!" Sapa Langit. Langit adalah teman sekelasku yang pintar. Bisa dibilang, dia adalah salah satu sainganku di dalam kelas. Pria berambut acak – acakan dan bertubuh tinggi. Dia adalah salah satu siswa populer di sekolah. Bagaimana tidak? Sudah friendly, anak basket pula.
"Ke kantin yuk," ajaknya.
"Ajak yang lainnya, masa ngajak kami berdua terus sih?" ujar Ria dengan wajah masam.
"Ayo, Ria aku juga mau ke kantin nih." Ucapku.
"Ayolah. Tuh, Amira juga mau. Aku maunya kalian berdua." Kata Langit.
Aku dan Ria pun berdiri dari tempat duduk dan ke kantin bersama Langit. Saat duduk di kantin, Ria mengajak Langit untuk pergi bersama kami ke pantai besok. Langit mengiyakan dengan alasan karena sudah lama tidak ke pantai.
Langit mentraktir aku dan Ria makan bakso. Tiga porsi bakso panas dengan aroma sedap di antar Bu kantin ke atas meja kami. Bakso sudah menjadi makanan favorite anak SMA sejak zaman 90-an. Aku sendiri juga sangat menyukai makanan yang satu ini.
"Bertiga aja kalian," ujar Bu kantin yang berdiri tepat di sebelahku.
"Emang kenapa Bu?" tanyaku kebingungan.
Ria dan Langit juga merasa aneh dengan pertanyaan Bu kantin. Langit yang sedang menuangkan kecap ke dalam mangkuk bertanya, "Iya, kenapa Bu?"
Jawab Bu kantin, "Kurang satu cowo, jadinya yang satu nggak punya pasangan, hahaha." Lawaknya lalu pergi meninggalkan kami.
Kami bertiga saling tatap satu sama lain dan tertawa. "Hahaha, garing ya hahaha," ujarku sambil tertawa kecil.
"Ada - ada aja Bu kantin," celetuk Langit.
Seusai menyantap bakso enak Bu kantin. Kami bertiga kembali ke kelas untuk menerima hasil ulangan tadi. Ketika waktunya menerima hasil ulangan dari ketua kelas, aku merasa was –was. Ketua kelas berjalan dari meja ke meja untuk membagikannya. Ketua kelas pun menaruh lembaran hasil ulanganku. Segera aku mengecek untuk memastikan dapat nilai berapa.
Mataku melebar ketika melihat tulisan dengan tinta merah. Aku mendapat nilai 50. Itu artinya aku tidak lulus di ulangan kali ini. Segera aku menaruh lembaran itu ke dalam tas karena takut ketahuan oleh Ria dan teman sekelas.
"Kamu dapat berapa Amira?" Bisik Ria yang tampak kegirangan. "Aku dapat 90."
"Tuntas Kok," jawabku singkat.
***
Sesampainya di rumah, aku tidak langsung menunjukkan hasil ulanganku seperti biasanya kepada Ibu. Namun, aku takut Ibu akan mendapatnya sendiri. Ibu mempunyai kebiasan mengecek isi tas kami. Sedari kecil, kami juga diwajibkan untuk menunjukkan nilai – nilai sekolah kami. Jika Ibu tahu sendiri nilai ulanganku hari ini rendah tanpa kuberitahu, dia pasti marah besar. Oleh karena itu, seusai makan siang, aku memberanikan diri menunjukkan nilai itu.
"Bu, ini nilai ulangan tadi," ujarku dengan perasaan amburadul.
Ibu yang tadinya tenang, menjadi naik darah karena ulahku. Ia memarahiku dan membuang kertas ulanganku ke lantai. "Kamu kenapa dapat nilai segini? Nggak belajar kamu ya? Handphone kamu Ibu sita! Cepat bawa ke sini!"
"Tapi, Bu? Aku belum bilang ke Ria kalau besok aku ikut ke pantai," bantahku.
"Apa? Ke pantai? Nggak boleh. Nilai kamu udah buruk terus mau ke pantai?" Kata Ibuku dengan tegas.
Ibu masuk ke dalam kamar dan mengambil handphone yang ku simpan di atas meja.
Aku terdiam dan tidak tahu harus berbuat apa. Aku sedih dan mempersalahkan diri sendiri. Ini adalah ulahku sendiri karena tidak belajar semalam. Setelah Ibu keluar dari kamar, aku masuk dan menenangkan diri di dalam kamar. Aku tidak bisa lagi mengaduh di tempat ternyaman. Ayahku sudah jauh dan hanya bisa diihubungi lewat telpon. Aku juga tidak bisa menghubungi Ria sahabatku.
"Ayah, Mira rindu,"
"Kak Mira, bantuin aku ngerjain PR dong. Kak Mira," suara Robi membangunkanku yang baru saja memejamkan mata semenit. Aku membuka pintu dan mempersilakan Robi masuk.
"PR apa Dek?" tanyaku.
"PR matematika Kak," jawabnya.
"Minta bantuan ama Kak Bulan aja ya? Kakak lagi cape nih," aku berusaha membujuk.
"Tadi, baru aja minta bantuan ke Kak Bulan, tapi dia nggak mau," jelas Robi yang sedang membuka lembaran bukunya.
Dalam keadaan mengantuk aku berusaha membantu Adikku Robi hingga selesai. Jika tidak, aku pasti mendapat masalah lagi. Perlu diingat kembali, ini juga salah satu tugas seorang Kakak.
Waktu menunjukkan pukul 2 siang ketika usai menyelesaikan tugas Robi. Tidak ada waktu lagi untuk beristirahat. Jam 3 sore aku harus menyelesaikan tugas – tugas yang telah Ibu berikan. Kalau aku tidur sekarang, bangunnya pasti kesorean. Aku memutuskan untuk membaca buku di depan teras rumah. Kasur harus dijauhi ketika membaca buku siang bolong. Karena, jika tidak aku akan tertidur.
Di depan teras rumah, aku merenung diri. Buku terbuka, namun tak kubaca. Pikiranku mengarah ke masalah nilai. Aku berbicara dengan diri sendiri. Memarahi diri sendiri.
"Bagaimana caranya supaya aku bisa bujuk Ibu buat ngasih handphone ke aku? Ibu kapan balikinnya ya? Hufft bisa gila aku nggak ada handphone. Nanti gimana caranya tahu info kelas? Kamu sih Mir, dasar bodoh." Aku mengeluh.
"Mira...sini sebentar," Ibu memanggil dari dalam rumah.
"Iya, ada apa Bu?"
"Nih, handphone kamu." Kata Ibu sambil memberikan handphone milikku. "Jangan, seneng dulu, Ibu ngasih ke kamu untuk belajar. Bukan yang lain – lain. Awas ya, kalau nilai kamu rendah lagi."
"Terima kasih, Bu." Ujarku lalu mengambil handphone itu dari tangan Ibuku.
"Terima kasih, Tuhan.." gumamku sambil berlari ke arah kamar.
Untung, Ibu segera memberikan handphone tersebut. Aku lalu memberitahukan Ria bahwa aku tidak ikut hang out besok.
Dari kejadian itu, aku berusaha untuk tidak mengulanginya lagi. Aku akan berusaha menyempatkan waktu untuk belajar. Karena telah aku lihat, masalah yang datang akan mempersulitku untuk bergerak. Aku semakin bingung, apakah ulahku sendiri hingga mendapat nilai rendah atau gara – gara lelah bekerja kemarin?
Mengapa aku harus jadi pemikir seperti ini? Padahal masalahnya sudah selesai. Aku tidak boleh mempersalahkan diri seperti ini. Tidak seutuhnya ini salahku. Mungkin, aku hanya perlu mengambil hikmahnya saja.
***
1.029 Kata
Kamis, 12 Mei 2022
Pukul 20.24 WITA
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro