Bab 22 ~ Ketika Kamu Dituntut Untuk Sempurna
Hari - hariku aku jalani seperti biasanya. Namun, hubunganku dengan Ibuku sedikit retak karena beberapa masalah kemarin. Ibu berpikir bahwa aku tidak lagi berteman dengan Ria. Karena aku tidak pernah menyebut namanya lagi. Sudah beberapa minggu juga, aku tidak keluar rumah.
Saat waktu luang di rumah, Ibu menyuruhku membantunya membuat kue. Aku mengikuti instruksi seperti yang ia tunjukkan. Aku pikir, aku telah melakukannya dengan benar.
"Bukan seperti itu Amira," Ibu memberikan contoh cara membuat donat yang bagus. Ibu membentuk donat itu dengan sempurna. Aku telah memperhatikannya dengan baik, namun meski kucoba berulang kali tetap tidak menghasilkan bentuk bulat yang sempurna. Sebelah lebih besar dan sebelahnya lebih kecil.
Bulan juga ikut membantu. Ibu bukannya terbantu, tetapi malah repot memarahi kami karena tidak mampu membuat kue.
"Kalian ini bisa apa sih? Cuman tinggal dibulatin aja kok nggak bisa. Kalian lihat tuh anak Bu Sari. Anaknya apa - apa bisa. Bisa masak, cuci piring, bantu Ibunya jualan. Nyuci. Sampe ngurusin Adeknya yang masih balita. Kalian mau Ibu kayak Ibu Sari biar kalian nurut?" Ibu Sari adalah tetangga kami. Seorang Ibu yang juga keras terhadap anak - anaknya. Ia biasanya memukul anak - anaknya dengan rotan. Sekeras itu yang mungkin membuat anak - anaknya takut. Soal pekerjaan rumah tidak pernah ia sentuh. Hanya anak perempuan dan laki - lakinya saja yang mengerjakan. Aku adalah orang yang paling tidak suka dengan kekerasan. Di marahi saja sudah membuatku lemah. Mengapa semuanya harus pakai kekerasan? Kekerasan kata - kata misalnya yang membuat mental anak jadi lemah. Apakah karena dengan cara lembut tidak bisa mengubah seseorang?
Semangatku untuk belajar jadi pudar jika diomeli seperti ini. Aku hanya terdiam namun sebenarnya sedang meredam emosi. Bulan terlihat santai ketika diomeli Ibu. Tidak tahu apa yang ada di pikiran anak itu. Ya, walaupun Ibu menganggap yang ia katakan itu hal sepele. Tetapi, tidak denganku. Di bandingkan seperti itu tentu saja membuatku sakit hati. Membuat kepercayaan diriku lemah.
"Ya, ampun Bu. Nggak mungkinlah kami harus kayak anak orang lain. Setiap orangkan beda - beda Bu. Lagian, selama ini kami juga ngerjain pekerjaan rumah ." Ujarku.
"Iya, tapi harus Ibu nyuruh dulu. Itu yang buat Ibu kesal sama kalian. Kalau istirahat siang jangan kelamaan. Ibu dulu masih remaja. Jam 3 sore udah harus bersih - bersih rumah. Semua pekerjaan kami yang kerjakan." Jelas Ibu.
"Ya kan beda Bu." Ujarku berusaha membela diri. "Tanpa Ibu suruh, kami juga ngerjain kok."
"Iya, Ibu ini." Tambah Bulan sambil mengambil kue yang baru ditiriskan dari wajan.
"Kalian, Ibu bilangin malah nyolot. Makanya, nggak berubah - ubah. Pagi harus dibangunin." Ibu sebenarnya sedang berbicara kepada Bulan karena harus dibanguni terus setiap paginya. Permasalahannya adalah Ibu tidak bisa membicarakannya baik - baik. Terkadang, aib kami diceritakan pada tetangga. Seperti, bangun terlambat. Padahal sebenarnya jamnya normal - nomal saja. Ibu hanya mengikuti tetapannya sendiri. Anak mana yang tidak malu jika aibnya disebarkan? Aku saja yang sudah mengurusi ternak masih dituntut untuk bisa ini dan itu. Bisa masak yang enak, bisa mengerjakan semua pekerjaan rumah. Padahal ada saatnya seseorang itu akan lelah. Belum lagi, di tuntut untuk bisa sukses agar kelak Adik - adikku menjadi tanggung jawabku. Seakan - akan, kita dituntut untuk selalu jadi sempurna.
"Bisa kok Bu. Tapikan nggak harus langsung bisa?" Aku membela Bulan.
"Udah cape Ibu ngomong ulang - ulang tau nggak? Bangunnya harus pagi - pagi. Biar kalian tuh bisa masak sendiri, cuci piring, beres - beres sebelum berangkat sekolah. Dari dulu juga Ibu udah bilangkan." Jelas Ibu.
Pikiranku sudah memanas, aku sudah tidak bisa lagi melanjutkan perdebatan dengan Ibu. Karena akhirnya, aku akan selalu kalah dan salah. Orang tua selalu dan benar dan tidak pernah salah.
"Udahlah, kalian ke sana aja." Ibu mengusir aku dan Bulan. Aku dan Bulan meninggalkan dapur sambil mengeluh.
"Ibu, giliran di bantuin di marahin. Kalau nggak dibantuin nanti diomongin," keluh Bulan.
"Huaah, cape deh. Udah aku mau istirahat." Ujarku. "Oh, iya. Mulai besok harus bangun pagi. Biar nggak diomelin terus. Sakit kuping aku tau nggak."
"Kalau aku masih ngantuk gimana? Ya tidur lagilah." Bantah Bulan.
"Dahlah, terserah." Ucapku lalu menutup pintu kamar.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro