Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 21 ~ Terbongkar

Dalam perjalanan pulang sekolah, aku mengajak Bulan berbicara dengan niat mencari tahu orang suruhan Ibu.

"Bulan, kamu marah ya karna tadi pagi aku ninggalin kamu?" Tanyaku sambil melihat wajah Bulan melalui kaca spion.

"Ibu marah loh Kak. Emangnya kenapa Kak Mira berangkatnya pagi - pagi amat?" Ujar Bulan.

"Hmmm, gara - gara kemarin. Kamu tau sendirikan?" Jelasku.

"Salah Kakak sendiri sih, siapa suruh bohongin Ibu." Ujar Bulan.

"Aku cerita nggak ya sama Bulan kalau Ibu ada suruh orang buat intel aku?" Gumamku.

"Bulan, aku mau nanya. Kamu pernah nggak liat Ibu lagi telponan sama orang buat intel aku gitu?" Tanyaku.

"Nggak pernah tuh. Emang kenapa?" Tanya Bulan kembali.

"Ngakk apa - apa," ujarku.

***

Setibanya kami di rumah, aku memarkirkan motor seperti  biasanya. Bulan terlebih dahulu masuk ke dalam rumah. Aku mendengar Ibu bertanya pada Bulan, "Mana Amira?" 

Seketika, bulu badanku merinding karena ketakutan. Namun, aku memberanikan diri masuk ke dalam rumah. Aku juga mengucapkan salam pada Ibu berlagak seolah - olah tidak ada masalah.

"Selamat siang, Bu." 

"Kamu kenapa tadi jalan duluan? Kenapa nggak tunggu Adek kamu? Ibu liat makin hari kamu makin berani aja ya, kamu kenapa sih?" Bukannya memberi salam kembali, Ibu malah menyuguhkanku omelan siang.

Mataku mulai berkaca - kaca, aku ingin mengeluarkan semua uneg - unegku. Tetapi, mengingat karena aku belum mengecek handphone Ibu nanti, aku pun meredakan egoismeku.

"Soalnya, aku ada piket pagi Bu. Jadi aku pergi lebih awal." Aku berusaha menjelaskan agar tidak mempersulit suasana.

"'kan bisa nunggu Adek kamu dulu. Biar nggak keluar ongkos lagi. Di mana kami simpan otakkan kamu?" Seru Ibu.

Aku terdiam sejenak. "Maafkan Amira Bu. Mira ngaku salah," lirihku dengan wajah lelah.

Kalian pernah tidak? Selepas pulang sekolah niatnya makan siang lalu istirahat, namun yang ada tambah lelah karena tertimpa tekanan batin? Bersyukurlah jika kalian tidak pernah mengalaminya.

Ketika waktunya aku melakukan aksiku untuk mengecek handphone Ibu, aku  terlebih dahulu memastikan bahwa Ibu akan lama di dapur. Handphone Ibu sedang dicas di atas meja dekat tv. Aku perlahan - lahan melangkahkan kaki ke arah meja. Layak seorang pencuri yang takut ketahuan tuan rumah. Aku pun membuka layar ponsel Ibu, namun...

"Ah, password." Aku memukul dahi karena handphone Ibu ada passwordnya. Aku segera meletakkan handphone Ibu kembali.

"Gimana yah caranya, hmmm..." Aku modar - mandir di ruang tengah. "Adu, Mira ayo berpikir."

Tiba - tiba aku mendapat ide. Aku berlari ke dapur dan berkata pada Ibu, "Ibu ada yang telpon tuh, passwordnya berapa?" Aku berpura -pura pada Ibu.

"Tolong dijawab. 1234." Ujar Ibu sambil mengunyah makanan.

Dengan senang hati, aku pun membuka layar handphone Ibu lalu mengecek whatsappnya.  tertulis nama seseorang yang aku kenal. Nama orang itu adalah Naila. Naila adalah teman sekolah yang tinggal tidak jauh dari rumahku. Kami satu sekolah namun berbeda kelas.  Aku membuka obrolan mereka, dan ternyata orang yang Ibu suruh selama ini adalah Naila. Pantas saja, di dalam kelas tadi tidak satu orang pun yang dapat kami tebak. Akhirnya, masalah terpecahkan! Aku segera memberitahukan hal itu pada Ria.

Setelah aku memberitahukan hal itu pada Ria, kami pun berkompromi dengan Naila untuk tidak lagi melaporkan apa - apa kepada Ibu. Awalnya, Naila menolak. Namun, aku dan Ria terus membujuknya dan memberi pengertian sampai ia menyetujuinya.

"Benaran nggak apa - apa?" Naila takut jika Ibuku akan menghubunginya lagi.

"Nggak apa - apa Naila. Bantuin aku ya," ujarku sambil memohon padanya.

"Ya udah deh. Maafin aku karena selama ini, udah nggak segan - segan merhati'n kamu." Ucap Ria.

"Bukan salah kamu, kok." Aku tersenyum kecil pada Naila.

Sejak saat itu, aku tidak khawatir lagi berteman dengan Ria. Tetapi walaupun begitu, Ria tidak bisa lagi aku ajak bermain ke rumah dan aku tidak bisa lagi jalan - jalan, atau pun sekedar singgah di rumahnya. 

Semakin hari, Ibuku semakin ketat memantauku. Apalagi, aku sudah menduduki bangku kelas 3 SMA. Tidak lama lagi akan ujian, dan Ibu tidak mau jika ada satu pun nilaiku yang buruk. Katanya itu hanya akan membuat malu saja. Aku yang sering juara dituntut  agar terus mempertahankan prestasi itu. Sekali jatuh, akan di cap lalai. Padahal, mereka tidak tahu bagaimana rasanya mempertahankan posisi itu.


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro