Bab 2 ~ Bahu Tak Sekuat Baja
Sudah tujuh menit lamanya, aku menunggu Bulan di depan pagar sekolah. Teman – temannya sudah keluar satu persatu sedari tadi. Namun, batang hidung Bulan belum juga terlihat.
Dengan perut keroncongan, aku sabar menunggu Bulan yang sedikit lama. Matahari begitu terik yang membuat aku berpeluh. Apalagi aku menggunakan hodiee hitam. Mungkin, begini rasanya para orang tua ketika bekerja di bawah terik matahari dalam kondisi lapar tetapi, berusaha menguatkan diri.
Sementara menunggu, tak sengaja aku melihat seorang Bapak di dalam sebuah mobil yang sedang menunggu Putrinya keluar sekolah. Lelaki tua berhidung mancung itu mengingatkanku akan Ayah yang baru saja pergi beberapa hari yang lalu. Aku termenung, dan mengingat Ayah yang selalu menjemputku pulang sekolah. Usiaku memang sudah 17 tahun. Namun, jika berbicara tentang hubungan Ayah dan Putrinya, anak perempuan akan selalu manja terhadap Ayahnya.
Tak lama kemudian, dari kejauhan terlihat Bulan dan teman – temannya dengan canda tawa berjalan beriringan. Mereka terlihat lucu dan ceria. Ingin rasanya jadi anak SMP lagi. Jadi anak SMA terasa lebih banyak dukanya.
"Lan, ayok cepat!" Ujarku lantang karena sudah kelaparan.
Bulan yang lebih tinggi dariku naik ke atas motor dengan tergesa – gesa sampai aku hampir tidak bisa memahan motor.
"Pelan – pelanlah, Lan." Tegasku.
"Tadi katanya cepat," balasnya.
Tidak memperpanjang kata, aku pun langsung menarik gas agar bisa segera mengisi perut yang keroncongan.
***
Sesampainya di rumah, aku harus memasak terlebih dahulu sebelum makan. Karena makanan tadi pagi sudah habis semua dan Ibu tidak sempat memasak karena harus segera ke kantor. Tersisa 3 butir telur dan satu ikat sayur kangkung di dalam kulkas. Aku pun memasak semuanya lalu memanggil Adik – adikku makan siang. Makanan kami sesederhana adanya. Kami tidak pernah mengeluh. Karena, dengan bersyukur kami akan merasa cukup.
"Gimana ulangannya tadi, Lan?" tanyaku pada Bulan yang ulangan matematika hari ini.
Sambil menyendok nasi ke dalam piring, Bulan berkata " Wih...Nilai aku yang tertinggi lo Kak, dapat 100."
"Wow, aku aja belum pernah dapat nilai segitu," ujarku.
"Dek Robi, gimana tadi di sekolah?" Tanyaku.
"Aku tadi berantem sama teman," jawabnya dengan santai.
Aku panik mendengar jawaban Robi. Aku berhenti makan, mendekati Robi lalu bertanya, "Astaga Bi, kenapa bisa? Kamu nggak apa – apa'kan? Terus teman kami gimana?"
"Dia yang mulai duluan Kak, aku'kan lagi nyatet terus dia datang gangguin aku. Jadi, aku pukul deh Kak," jelasnya dengan sedikit emosi.
"Abis dah kita, kalau Ibu tahu gimana?" Ujarku sambil mondar - mandir.
"Pasti kamu tuh Robi yang mulai duluan, kamu dari dulu emang manja!" Sambung Bulan yang membuat suasana jadi ruwet.
"Bukan, bukan aku!" Sambar Robi.
Bulan balik menuduh, "Ngaku aja deh"
Bulan dan Robi jadi beradu mulut di atas meja makan. Tak bisa menahan sabar lagi, aku membentak mereka sembari memukul meja, "Diam!!!" kedua telapak tanganku memerah karena kupukulkan dengan kuat.
Bulan dan Robi kaget serta terdiam. Bulan meletakkan sendok makan dengan kasar dan meninggalkan meja makan.
"Bulan..." Aku memanggilnya namun tak dihiraukan.
"Ayo, Dek dilanjutkan makannya. Jangan didengarkan apa kata Kak Bulan tadi ya?" Ujarku berusaha menenangkan Robi.
"Iya Kak," sahutnya pelan.
Aku menemani Robi makan hingga selesai. Dalam pikiran, aku takut kalau yang Robi lakukan akan berdampak buruk kedepannya. Kami hanya orang miskin. Jika anak orang yang Robi pukul itu melapor bagaimana? Aku buang rasa khawatir itu sejenak, lalu menasihati Robi.
"Bi, karena kamu udah selesai makan, Kakak boleh nggak ngomong sesuatu sama Robi?" tanyaku dengan nada lembut.
"Iya, Kak."
"Dek, lain kali jangan berantem sama teman lagi ya? Nggak baik itu. Kalau Robi yang dipukul pasti Robi nggak mau'kan?"
"Nggak mau," jawab Robi sambil menggelengkan kepala.
"Nah, maka dari itu jangan ulangi lagi ya?"
"Iya, Kak." Jawab Robi mengangguk.
Aku membereskan meja makan lalu berisitirahat. Sambil beristirahat, aku melanjutkan membaca buku karya Yoga Maulana. Di tengah keasikan membaca, aku tiba – tiba teringat akan Bulan.
Seorang Kakak pasti tidak mau Adiknya mempunyai karakter yang buruk. Seorang Kakak yang baik adalah Kakak yang tidak membiarkan Adiknya sedih dan melakukan hal buruk.
Aku langkahkan kaki perlahan - lahan menuju kamar Bulan. Tidak terdengar suara apa – apa dari dalam kamarnya. Aku membuka pintu dan...
"Yahh, nih anak dah tidur," lirihku.
"Krokkk" Bunyi perut, karena tadi masih belumku isi penuh. Aku kembali ke dapur lalu makan kembali.
***
Sore harinya, aku pergi ke ladang untuk memberi makan ternak. Aku menggiring kambing – kambing milik kami ke ladang dengan hati – hati.
"Gadis berusia 17 tahun mendadak jadi penggembala. Hahaha," gumamku dalam hati.
Tidak sadar aku bisa melakukannya. Apakah ini yang namanya kekuatan anak perempuan pertama? Apa saja bisa dilakukan. Aku duduk di bawah sebuah pohon rindang sambil menunggu ternak - ternak itu makan. Keringat perlahan mengering karena angin sepoi – sepoi.
Hari hampir gelap, aku pun segera pulang ke rumah. Sesampainya di rumah, Ibu langsung menyuruhku untuk ke pasar membeli ikan.
"Nantilah Bu, aku'kan baru sampe," ujarku.
"Kalau Ibu nunggu kamu, kapan kelar masaknya? Pergi cepat!" Celetuk Ibu.
Dengan badan lelah, aku pergi ke pasar sore itu juga.
Malam harinya seusai mandi, aku merebahkan tubuhku sejenak sebelum belajar karena akan ada ulangan besok. Tidak lama lagi akan UAS. Dan aku harus belajar ekstra agar handphone tidak di sita Ibu. Disebabkan Ibu akan melakukannya jika aku tidak juara di kelas.
Hari ini tubuhku benar – benar lelah. Rasanya tidak ingin bangun untuk belajar. Dan, mataku sudah terlalu lelah. Mungkin lebih baik jika aku tidur sejenak saja.
Ayah, Bu, bahuku tak sekuat baja. Apakah aku harus terbiasa dengan semua ini? Rasanya ingin keluar sebentar dari diri yang selama ini hanya begini – begini saja. Hanya menuruti keinginan orang tua. Hari ini aku menyadari bahwa selama ini aku lelah dan lengah. Lengah dengan diri sendiri karena harus belajar hanya untuk memenuhi ekspektasi orang tua. Tanpa sadar aku tidak pernah memperdulikan diri sendiri. Sampai hari ini aku harus lelah secara fisik dan mental.
Ayahku baru pergi beberapa hari yang lalu, tetapi mengapa hari ini rasanya bahuku sudah tak kuat? Seharusnya aku kuat menghadapi semuanya. Seharusnya aku ikhlas menjalaninya.
Aku terlelap tanpa sadar. Lupa makan, dan lupa berdoa sebelum tidur. Keesokkan paginya, aku bangun dengan keadaan bugar kembali.
"Yah, lupa belajar"
Aku lalu terburu – buru mengambil buku catatan dan membaca sedikit materi ulangan. Baru saja hendak membuka lembaran kedua, tiba – tiba Ibu memanggil.
"Amira..."
"Iya, Bu." Sahutku lalu segera keluar kamar.
"Bagaimana ini? Aku takut sebentar aku nggak bisa jawab pertanyaan," ujarku ketika sedang mencuci piring kotor bekas semalam.
***
1.022 Kata
Rabu, 11 Mei 2022
Pukul 13.09 WITA
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro