Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 17 ~ Overthink

Aku masih saja kepikiran dengan perkataan Ibu. Ibu selalu menuduhku yang tidak - tidak. Itu pun, tidak ada bukti. Menganggap temanku membawa pengaruh buruk, dan mengiraku membohonginya. Padahal, aku sudah sebisa mungkin untuk tetap patuh padanya. Lama kelamaan, aku akan benar - benar menyimpang dari apa yang Ibu tetapkan. Ibu dan Ayah hanya bisa menetapkan apa yang mereka inginkan tanpa berpikir bagaimana dengan perasaan kami. Bagaimana kami berusaha membuang ego sejauh mungkin agar mereka tidak bersedih.

Bukan mempersalahkan, sebagai anak aku hanya mengeluarkan isi hati yang selama ini aku pendam sendirian. Jarang aku bercerita pada orang lain, demi menjaga agar pandangan orang lain tidak buruk terhadapku atau terhadap orang tua yang selalu mengekangku.

Terkadang, Ibu selalu mempermalukanku di depan orang - orang. Membandingkanku dengan anak tetangga yang lebih kuat dalam bekerja seperti ke ladang atau menjual sayur - sayuran membantu orang tua mereka. Padahal, tidak Ibu sadari bahwa aku ini adalah anak dari hasil didikannya sendiri. Aku malah mempersalahkan diriku sendiri karena hanya bisa membantu sebatas yang kubisa. Apakah itu masih kurang? Haruskah aku menjadi wanita superhero yang bisa melakukan apa saja?

"Kamu kenapa lagi Amira?" Tanya Ria karena melihatku sedang duduk dengan tatapan kosong.

"Aku lagi stres aja." Begitu jawabku.

"Kalau ada masalah cerita aja, Mir." Ujar Ria sambil mengelus - elus bahuku.

"Aku cape Ria." Jawabku dengan mata sayup - sayup.

"Muka kamu kok pucat gitu, Mir?" Ria terlihat panik.

"Nggak tidur semaleman," jelasku.

"Astaga, pantesan aja. Kamu pulang aja gih," raut wajah Ria semakin terlihat khawatir.

"Nggak mau. Aku tidur di sini aja." Ucapku dengan rasa malas.

Tidak tidur semalam membuatku sedikit lelah dan pusing. Semua itu hanya karena overthinking dengan Ibu. Semakin hari hubungan kami bukan semakin akrab. Malah, semakin renggang. Heran saja dengan sikapnya yang semakin hari malah semakin menjadi - jadi. Ketika Ibu bilang A ya A, B ya B. Tidak ada satu orang pun yang bisa mengubah keputusan yang ia buat. Jika tidak, akan di marahi.

"Aku ambilin air putih ya," ujar Ria,

"Boleh," lirihku. Aku meneguk air putih yang dikasih Ria sampai habis. Dalam keadaan demam seperti itu, rasanya panas sekali.

"Langit, kamu anterin Amira pulang ya," pinta Ria.

"Dia sakit?" Langit meletakkan tangannya pada dahiku. "Wah, panas ini mah."

"Ayo, kita ke UKS aja Mir." Ujar Ria sambil membangunkanku.

"Nggak mau. Aku mau di sini aja." Bantahku sembari memeluk tas milikku dengan erat.

"Amira, jangan keras kepala dong. Ayok, nanti anak - anak tau kalau kamu sakit mau?" Ancam Ria. Ria memang paling tahu kalau aku tidak suka orang - orang mengetahui tentangku.

Langit dan Ria pun membantuku ke ruang UKS. Setelah diperiksa ternyata aku hanya kelelahan. Aku pun dipulangkan. Langit yang mengantarku pulang.

Di tengah perjalanan, aku merasa kedinginan. Aku segan meminta izin pada Langit untuk memeluknya. Aku berpikir bahwa aku bisa bertahan sampai rumah namun ternyata tidak. Akhirnya,  karena tidak tahan lagi aku pun langsung memelukknya.

"Maaf'n aku Langit. Aku kedinginan" Ujarku.

"Nggak apa - apa, Mir. Pegang yang kencang ya." Ujar Langit dengan lantang.

Tibalah kami di rumah. Rumah sangat sepi karena semua orang sudah berangkat.

"Ibu kamu belum pulang Mir?" Tanya Langit sambil memapahku ke dalam rumah.

"Belum, ini masih jam 10 soalnya." Jelasku.

"Nggak apa - apa aku tinggal? Kamu jangan lupa makan sama minum obat Mir." Langit terlihat iba denganku. Aku yang tidak enakan dengan Langit pun menyuruhnya pergi sebelum ia ketinggalan materi hari ini.

"Nggak apa - apa. Makasih udah anterin aku. Bilang juga sama Ria.Besok, kalau aku udah baikan aku bakal usahain masuk sekolah." Ujarku. "Tolong, bilang sama Adek aku juga ya, kalau siang ini aku nggak jemput. Kalau bisa, kamu maukan jemput Adek aku nanti?"

"Oke, Mir. Udah sakit masih aja peduli sama orang lain. GWS ya, aku jalan dulu." Ujarnya.

"Makasih, Ngit. Hati - hati." Ujarku.

Langit pun pergi dengan memesan grab. Karena motor yang tadi ia bawa adalah motor milikku.

***

Aku masih saja tertidur pulas karena sedang tidak sehat, waktu tiba saatnya untuk memberi makan ternak.

Ibu yang sedang tidak tahu bahwa aku sedang sakit, memanggilku sambil menggedor - gedor pintu.

"Amira! Amira! Buka pintunya jam segini kamu masih tidur?" Bentaknya.

Dalam hati aku menggerutu," Aku terus, aku terus. Bulan nggak bisa bantu apa?"

Aku menguatkan diri bangkit dari tempat tidur dan membuka pintu kamar. Aku berjalan layaknya orang mabuk karena lemah. Dari siang, aku belum makan dan minum obat. Saat demam, bawaannya hanya ingin tidur.

"Bangun!" Suara Ibu mengejutkanku saat itu juga. Aku refleks menitikkan air mata karena saking kagetnya.

"Kenapa kamu nangis?" Tanya Ibu dengan raut wajah tanpa rasa bersalah.

 Aku mengahapus air mata perlahan - lahan lalu berkata, "Aku demam, Bu."

"Ya, ampun nih anak. Ya, udah kamu istirahat aja." Ucap Ibu yang membuatku merasa bersyukur. "Makanya, kemarin jangan kebanyakan makan cabe kamu. Udah Ibu bilangin kalau makan jangan enak di mulut aja! Belum tau rasanya bagaimana sakit parah kamu."

"Ternyata, Ibu masih peduli sama aku. Walaupun, kemarin aku sempat menaikkan nada bicara hanya karena membela Ria sama Langit." Gumamku.

"Kamu udah minum obat?" Tanya Ibu.

"Belum, Bu." Jawabku singkat sambil kembali merebahkan tubuh. Sedikit kesal karena dalam kondisiku seperti ini saja, Ibu masih memcari -cari kesalahanku. Apa Ibu tidak bosan memarahiku? Apa itu hobinya? Aku sampai berpikir  hal yang tidak masuk akal. Lebih baik aku sakit agar tidak berbuat apa - apa. Agar aku bisa tidur sepuasnya. Agar Ibu juga sedikit mempedulikanku. Lebih baik rasanya demam daripada harus tekanan karena berdebat dengan Ibu terus menerus. Jika dipikir - pikir, tidak baik memang aku berpikir seperti ini. Begini saja, aku manusia  maka aku mengeluh. 

"Kamu tunggu di sini, Ibu beliin kamu obat dulu," ujar Ibu dan menutup pintu perlahan - lahan.

Tak lama kemudian, Ibu datang membawa obat dan segelas air putih. Ia membangunkanku dan memberikan sebutir obat ditelapak  tanganku.

"Minum, ini Nak, biar cepat sembuh." Ujarnya.

Nak? Jarang sekali Ibu memanggilku seperti itu. Terharu rasanya sampai - sampai aku menatap Ibu tanpa kedipan. Air mata berusaha kubendung. Ingin menyuruh Ibu mengatakannya sekali lagi.Tetapi, aku merasa gengsi.

"Terima kasih, Bu." Ucapku pada Ibu yang sedang menatapku khawatir.

Sudah takdirku mendapat seorang Ibu yang tegas seperti ini. Ia baik, tapi menyebalkan. Niatnya menasihati namun perkataannya selalu pedas. Aku tidak menyukai cara Ibuku menasihati kami, karena selalu dengan nada bicara yang tinggi. 

Bagaimana aku bisa sembuh, jika dari tadi aku hanya bisa overthinking dengan masalah - masalah yang ada.



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro