Bab 15 ~ Ibu, Pahami Aku
Melihat teman – temanku pacaran, bisa jalan – jalan, bisa melakukan apa pun yang mereka inginkan membuatku iri dan ingin seperti mereka. Entah itu karena kebutuhanku atau karena egoku. Niatku hanya ingin lebih bebas, namun ternyata hal itu membuat hubunganku dan Ibuku menjadi retak.
"Kok, kamu gampang banget ya dapat cowok?" Tanyaku pada Ria yang sedang duduk manis di hadapanku sambil memainkan handphone. Sahabatku yang satu ini memang sering gonta – ganti pacar. Begitu mudah ia membuka hati untuk pria dan akibatnya banyak mantan kekasih yang ia miliki. Sedikit heran dengan sifatnya itu, namun aku akui kecantikannya. Apalagi, dia mudah membangun komunikasi dengan orang baru.
Sangat kontras denganku yang mengenal seseorang penuh dengan sikap selektif. Bagaimana karakter orang tersebut? Apa hobinya? Serta, bagaimana pandangan orang – orang terhadapnya. Mungkin, hal itu yang membuatku sampai sekarang tidak memiliki seorang kekasih. Di tambah orang tua yang tidak mengizinkanku pacaran selagi masih menempuh pendidikan. Katanya, hal itu hanya akan menganggu kosentrasi. Persepsiku mengenai pacaran sudah dibentuk oleh keluargaku sendiri. Sehingga aku berpikir bahwa pacaran itu sesuatu yang mempersulit keadaan.
Itu dulu, sekarang aku semakin dewasa. Aku ingin merasakan bagaimana itu pacaran? Bagaimana dunia di luar sana. Aku mulai melihat ketertinggalanku dari teman – teman. Mereka lebih tahu dunia luar dan lebih tahu apa yang sedang terjadi dengan dunia sekarang.
"Ya, karena aku senang kenal orang baru Mir," jawab Ria sambil senyum – senyum sendiri melihat layar handphonenya.
"Cie...senyum – senyum sendiri pasti doi lagi ngechat ya?" Aku meledeki Ria.
"Apa sih? Hahaha." Tertawa Ria yang baper hanya karena sebuah ketikan. "Makanya cari pacar Amira."
"Iuhh, nggak mau ah. Takut sakit aku," ujarku dengan ekspresi jijik.
"Kalau kamu kek gitu terus, kapan punya pacar ha?" Kata tamparan dari Ria membuatku merenung. Ada benarnya juga. Aku akan terus seperti ini, jika tidak berani menerima risiko. Bertahan di dalam zona nyaman memang aman. Tetapi, dengan jiwaku yang ingin terus mencari pengalaman dan berkembang ini, membuatku ingin keluar dari situ. Aku ingin belajar dan terus belajar.
"Kamu mau bantuin aku?" Aku menatap Ria dengan bola mata penuh harapan.
"Benaran mau pacaran? Yakin? Aku bantu deh," ujar Ria.
"Tapi, ini rahasia kita berdua ya. Siapa pun nggak ada yang boleh tau," bisikku pada Ria.
"Sama aku aman Mir," ujar Ria menyakinkan. "Jadi, gimana?"
"Kamu nyari aja deh kenalan kamu," pintaku.
"Okey, nanti aku info'n deh." Ujar Ria.
***
Di rumah aku memberanikan diri ke Ibu untuk minta izin pacaran. Ibu sedang seriusnya membaca sebuah buku. Aku perlahan – lahan mendekati Ibu dan menyapanya.
"Bu," ucapku dalam keadaan tegang.
"Iya, kenapa?" Wanita berkacamata yang sedang membaca buku itu, tampaknya tidak senang kuganggu.
"Eee...aku," ucapku dengan gugup. Degup jantung semakin cepat. Aku mulai berkeringat dingin.
"Kenapa?" Tanya Ibu dengan tatapan tajam padaku.
"Adu, gimana cara ngomongnya ya? Kok aku jadi hilang kata – kata kek gini?" Gumamku dalam hati.
Tiba – tiba Robi datang dan manja pada Ibu. Ia naik dipangkuan Ibu dan merengek minta jajan.
"Ibu mau eskrim," ujarnya.
"Besok saja ya, Nak?" Bujuk Ibu karena hari sudah malam.
"Benar ya besok?" Tanya Robi dengan raut wajah sedih.
"Iya," ujar Ibu. "Ya, udah ke sana dulu ya. Ibu mau baca buku."
"Iya, Ibu." Kata Robi lalu meninggalkan Ibu.
Aku berdiri terpaku. Keberanianku untuk berbicara pada Ibu semakin menipis.
"Ibu, aku mau pacaran!" Ujarku.
"Apa?" Ibu terkejut mendengar perkataanku.
"Aku boleh nggak pacaran?" Lirihku.
"Nggak ada gunanya kamu pacaran Amira! Pacaran cuman buat kamu rusak!" Bentak Ibu.
Aku tidak tahu apa yang ada dipikiran Ibu sehingga ia berbicara seperti itu. Padahal, bukankah rusak atau tidak tergantung dari pribadi masing – masing? Tergantung bagaimana cara kita menjalaninya.
"Jangan coba – coba kamu ya Amira." Ancam Ibu.
"Tapi,teman – teman aku boleh Bu. Kenapa aku nggak boleh?" Aku mencoba mendapat jawaban yang lebih.
"Nggak ngerti juga ya kamu?" Raut wajah Ibu semakin mengkerut. "Lebih baik kamu belajar baik – baik. Baru SMA aja kamu udah berani mau pacaran. Apalagi kuliah? Lebih baik kamu nggak usah kuliah aja kalau mau nikah duluan!"
"Bukan gitu maksud aku Bu," aku mencoba membela diri. Baru saja aku ingin menjelaskan lebih lebar, Ibu langsung memotong.
"Maksud, aku..."
"Udah, kamu masuk aja ke dalam kamar ganggu orang tua aja." Ujarnya.
Aku meninggalkan Ibu dengan rasa kesal dan bingung. Di kamar, aku melampiaskan amarahku dengan menumbuk – numbuk kasur. Ingin rasanya berteriak kencang, tetapi tak bisa. Syukurnya, aku masih bisa mengontrol diri.
Karena tidak tega melawan Ibu lebih banyak lagi, aku kebanyakan mengalah dan tidak tahu harus berbuat apa. Setiap ingin menjelaskan, Ibu selalu tidak memberiku kesempatan. Bagiku, apa pun yang aku lakukan salah di matanya. Ibu tidak pernah memahamiku. Tidak pernah mengasihaniku. Yang ia perhatikan hanya Bulan dan Robi. Keinginan mereka selalu terpenuhi. Sedangkan, aku tidak. Padahal, jikaku tinjau aku yang paling keras bekerja di rumah ini. Semuanya, aku yang kerjakan. Keinginanku ini, apa berlebihan?
"Ibu kenapa marah – marah?" Tanya Bulan ketika membuka pintu kamarku. "Kak Mira kok, mukanya marah gitu?"
"Apaan sih kamu, masuk sembarang aja ke kamar orang!" Aku membentak Bulan.
"Ihh, ditanyain nggak mau." Ujar Bulan.
"Udah, keluar!" Teriakku.
Hal yang paling tidak aku sukai adalah ketika aku sedang marah atau sedih lalu, diganggu oleh seseorang. Biarkan aku menikmati kesedihan dan rasa marah itu. Karena bagiku, mereka adalah teman yang paling mengerti akan diri. Mereka tidak membiarkan aku sakit. Mereka adalah perasaan yang selalu membuatku merasa lega.
"Iya, iya aku keluar." Ucap Bulan.
"Ganggu aja!" Lantangku.
Sementara rebahan, Ria menelponku.
[Halo] Sapaku.
[Halo, Amira] Kata Ria.
[Iya, kenapa?] Tanyaku.
[Aku udah dapet nih cowoknya] Jelas Ria.
[Adu, besok aja ya cerita di sekolah. Soalnya, aku baru aja diomelin Ibu.] Lirihku.
[Kenapa emangnya?] Tanya Ria.
[Besok, aja ya. Daa.] Aku mematikan telepon.
"Habis dah, kalau Ibu dengar obrolan aku sama Ria." Kataku dalam hati
Aku berusaha menenangkan diri dan menghilangkan amarah pada Ibu. Berusaha agar tidak mendiamkan Ibu . Sifat jelekku yang satu ini memang sangat membuat masalah waktu itu. Maka dari itu, aku harus bersikap seolah – olah tidak ada masalah agar semuanya tidak menjadi rumit.Untuk saat ini, mengalah adalah jawaban dari kegelisahan hati.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro