Bab 13 ~ Tentang Rumah
Langit menanyakan bagaimana keadaan setelah Ia mengantarkan handphone ke rumahku.
Dalam keributan kelas yang tidak bisa didiamkan ketua kelas, Langit bertanya " Mira, kemarin, Ibu kamu nggak marah?"
Wajah Langit terlihat serius mendengar jawabanku. Buku yang berada di atas mejaku ia ambil dan ia gigit. Karena tidak mau Langit khawatir, aku pun berbohong.
"Nggak apa – apa. Biasa aja." Jawabku sambil menunduk.
"Huttf, bagus deh kalo gitu. Abisnya, muka Ibu kamu seram banget tau nggak?" Curhat Langit.
"Muka Ibu aku memang udah kek gitu. Tapi, Ibu aku hatinya baik kok." Jelasku agar Langit tidak salah paham.
"Okedeh," Langit mengacungkan jempol.
"Amira..." Sapa Ria dengan suara manja layaknya anak kecil.
"Ihh, kenapa?" Tanyaku dengan raut wajah ilfil. Muak rasanya dengan sikap sahabat yang satu ini. Banyak mengeluhnya. Meskipun begitu, ia tetap menjadi sahabat yang tidak pernah meninggalkanku, tidak pernah memandangku dari keluarga kaya atau miskin. Ia begitu ramah dan baik.
"Aku mau beli baju baru, tapi Ayah aku nggak mau karena akhir – akhir ini aku boros banget." Jelasnya dengan sedih.
"Nggak apa – apa nanti aja. Salah kamu sih. Nggak nabung." Ujarku.
"Emang harus banget gitu nabung? Nanti juga uangnya kepakekan?" Tanya Ria.
"Ya, harus. Biar kalau butuh sesuatu dalam hal yang mendesak, uang kamu ada." Jelasku.
"Kalau dipikir – pikir, benar juga ya." Ria terlihat berpikir kritis setelah mendengar penjelasanku. Ria memang suka menghambur – hamburkan uang tanpa tujuan yang jelas. Tidak ada ruginya bagi mereka yang memiliki banyak cuan. Tidak seperti orang sederhana sepertiku, yang selalu memperhitungkan segala bentuk pengeluaran. Namun, jangan pernah mengatakan bahwa kita bukanlah orang yang beruntung. Seperti yang aku bilang dari awal. Setiap orang punya ceritanya masing – masing. Bersyukurlah, karena kita bisa hidup hari ini.
"Mulai sekarang hemat – hemat ya," ujarku sambil menggamit bahu Ria.
"Aku usahain deh." Ucap Ria dengan senyuman kecil.
"Dengarin tuh, kata Amira. Jangan boros!" Hardik Langit.
"Aku lagi nggak ngomong sama kamu ya," ucap Ria dengan kesal.
"Udah – udah. Kenapa sih kalian kerjanya cuma berantem terus. Berantem terus bisa jatuh cinta loh," candaku seraya melihat Ria dan Langit.
"Uwee, amit – amit dah." Ria seketika merasa jijik dengan ucapanku.
"Ihh, siapa juga yang mau sama Ria," balas Langit lalu berdiri meninggalkan aku dan Ria.
Hal yang membuat aku nyaman bersahabat dengan mereka adalah karena mereka apa adanya. Mereka jujur, dan lucu. Mereka peduli pada yang lemah. Ketika aku dibuli dengan perkataan anak ambis! Mereka yang selalu mendukugku untuk tidak mundur. Tidak tahu bagaimana rasanya jika tidak ada mereka di dalam kehidupanku. Mereka ada rumah keduaku.
***
Rumah pertama adalah rumah tempat kita dilahirkan, dibesarkan, dan dicintai. Namun, sepertinya ada yang salah. Setelah makin bertambah usia. Bagiku rumah yang menjadi tempat ternyaman untuk menyandarkan kepala. Terasa bagai penjara. Penjara yang panas. Rumah bukan lagi menjadi pengikat untuk tetap utuh. Tetapi, pengikat menuju pemberontakan seorang anak. Seperti aku yang memberontak hanya karena tidak dizinkan keluar rumah. Belum lagi akhir – akhir ini, Adik – adikku sering bertengkar. Ibu yang berisik karena memarahi mereka. Konsentrasiku ketika berada di rumah hilang seketika. Ketenangan sudah sangat sulit dirasakan.
"Bulan, kalian bisa diam dikit nggak?" Ujarku ketika melihat Robi dan Bulan yang sedang ribut karena menonton anime. "Ini udah malam. Aku mau belajar buat besok."
"Belajar, ya belajarlah Kak. Kenapa kami harus diam?" Bantah Bulan dengan pandangan tetap ke arah tv.
"Ya, kalian ganggu Lan." Ucapku dengan nada lembut. "Ibu juga udah tidur. Robi tidur ya, udah malam nih. Besokkan sekolah."
"Dikit lagi Kak. Nih udah mau habis," ujar Robi.
"Terserah kalian deh," ucapku karena sudah bosan menasihati.
Ketika aku sudah masuk ke dalam kamar untuk melanjutkan belajar, aku mendengar suara Ibu yang sedang memarahi Adik – adik.
"Kalian ini. Udah malem ribut – ribut. Masuk tidur kalian!" Suara lantang Ibu kedengaran hingga dalam kamar.
Aku pun tidak mengkhawatirkan mereka. Aku tetap stay di dalam kamar dan melanjutkan belajar. Agar sekali – kali mereka sadar bahwa mereka salah.
Ini rumahku yang penuh dengan drama. Penuh dengan amarah dan keletihan.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro