Bab 12 ~ Overprotektif
Kali ini, aku memberanikan diri untuk izin lagi ke Ibu bahwa aku dan teman – temanku serta wali kelas akan piknik bersama sambil membahas beberapa materi ujian.
"Bu, besok ada acara kelas sama wali kelas. Semua diwajibkan untuk ikut Bu."
"Acara apa?" Tanya Ibu dengan wajah datar.
"Kata wali kelas, bahas beberapa materi ujian Bu." Jelasku dengan perasaan sedikit takut.
"Boleh, tapi pulangnya jangan telat ya," pinta Ibu.
"Terima kasih, Bu." Ucapku dengan suasana hati yang gembira.
Keesokan harinya, aku pun berangkat sebagaimana semestinya.
"Amira, kamu ikut?" Ria kegirangan melihatku yang sudah duduk di dalam bus yang akan mengantar kami ke pantai.
"Shutt, berisik banget sih kamu," ujarku. "Ibu izinin aku."
"Syukur deh. Kamu liat Langit nggak?" Tanya Ria sambil melihat ke arah luar.
"Belum dateng kayaknya," ujarku.
"Itu Langit," Kataku yang sedang melihat Langit berdiri dekat pintu bus.
"Hay, gengs." Sapa Langit lalu duduk di antara kami berdua. "Akhirnya, Amira ikut juga. Tambah seru deh."
"Kita, pulang jam berapa ya sebentar?" Tanyaku karena takut pulang telat. Karena hal itu takut akan membuat Ibu marah.
"Kayaknya agak sorean, Mir." Jelas Langit.
"Hmmm, okedeh." Jawabku dengan rasa khawatir.
Perjalanan di mulai. Sepanjang perjalanan kami bernyanyi dengan riang gembira. Canda tawa sepanjang perjalanan, dan melewati pemandangan yang indah membuatku merasakan perasaan yang belum pernah aku alami selama ini. Aku bisa tertawa lepas tanpa mengkhawatirkan apa pun bersama teman – teman. Sebahagia itu rasanya bisa jalan – jalan.
"Amira, ayo nyanyi." Ria menarik tanganku untuk berdiri dan bernyanyi sambil tepuk tangan.
"Ayo, Amira." Langit juga mengajakku.
Mereka sangat bersemangat menyanyikan lagu "Manusia Kuat".
Aku hanya duduk dan melihat kelucuan mereka.
Selama hampir dua jam perjalanan, akhirnya kami pun tiba di pantai yang dimaksudkan. Wali kelas menghimbau agar kami menjaga sikap selama berada di pantai itu. Wali kelas juga memberi arahan agar tidak keluar dari rombongan kelas. Kecuali, memang ada keperluan penting. Itu pun, harus memberithaukan pada wali kelas.
"Langit, aku nitip handphone di tas kamu ya. Soalnya tas Ria udah kepenuhan." Ujarku lalu memberikan handphone milikku pada Langit.
"Okey," ujar Langit.
"Baik, anak – anak semuanya duduk membentuk lingkaran ya. Siapkan alat tulis kalian. Yang mau ngerekam juga boleh." Perintah wali kelas.
Kami yang berjumlah 50 orang dalam satu kelas cukup membentuk lingkaran yang besar.
"Itu yang masih berimpitan, mundur lagi ya." Ujar wali kelas.
"Langit, geser dikit dong," ujar Ria.
"Aku mau di sini aja sama Amira." Kata Langit.
"Langit, kamu bisa mundur dikit nggak?" Pintaku.
"Iya, iya." Jawab Langit.
Pembahasan materi pun di mulai. Semua siswa tampak serius mendengarkan penjelasan dari wali kelas. Seusai pembahasan materi, kami pun rekreasi bersama. Bakar – bakar jagung, sosis dan makanan lainnya yang di bawa wali kelas dan beberapa siswa.
"Punya aku nih," ujar Langit sambil mengipas – ngipas api agar jagung milikknya cepat matang.
"Punya aku juga dong, tolong dibalikin." Ujar Ria.
"Idih, balik aja sendiri," bantah Langit sengaja membuat Ria marah.
"Langit, nggak boleh gitu," aku memberi nasihat.
"Amira, kamu udah punya pacar?" Tanya Langit secara tiba – tiba yang membuatku canggung. Kebetulan saat itu, Ria sedang berfoto – foto bersama teman sekelas. Sedang, aku dan Langit hanya duduk menikmati panorama pantai.
"Ya enggaklah. Kalian tahu sendirikan Ibu aku tuh gimana orangnya. Mana berani aku pacaran." Jelasku.
Langit terlihat serius mendengar jawabanku. "Terus, kamu punya niat pacaran nggak sih?" Tanya Langit lagi.
"Nggak tau," lirihku. "Pengen sih. Pengen rasain gimana rasanya pacaran. Uwu – uwuan kek orang – orang. Tapi, aku nggak berani ngelawan orang tua. Kita beda. Aku harus fokus sama urusan sekolah. Besok – besok aku yang harus ngurusin Adek – adek aku sekolah."
Langit tercengang. Dia refleks memakan jagung bakar yang ia pegang dengan terburu buru.
"Udah, nggak usah dilanjutin ceritanya. Aku jadi insecure tau nggak," ujar Langit.
"Lah, kenapa?" Tanyaku kebingungan.
"Kamu cewek kuat, Mir." Jawab Langit lalu berdiri dan mengajakku untuk foto bersama.
Aku pun bergabung bersama teman – teman yang sedari dari berfoto – foto.
***
"Selamat malam, Bu." Aku memberikan salam pada Ibu yang sedang duduk di depan ruang tamu.
"Kenapa pulang malem?" Tanya Ibu dengan raut wajah yang sepertinya sudah menahan marah sedari tadi.
"Perjalanan jauh, Bu." Jawabku singkat karena kelelahan.
"Wali kelas kamu tau nggak sih kalau yang dia bawa anak orang. Bisa – bisanya pulang malem." Ibu menggerutu.
"Bu..." Belum habis aku berkata – kata suara motor berhenti di depan rumah.
"Selamat malam, Bu." Ucap Langit.
"Langit?" Sapaku.
"Ini Mira, handphone kamu ketinggalan." Langit memberikan handphone milikku.
"Terima kasih, Ngit."
"Aku langsung pamit ya. Tante, aku pamit." Langit langsung pulang setelah memberikan handphone.Langit kelihatan kaku ketika berbicara denganku. Mungkin, ia melihat wajah Ibu yang sedang muram karena aku pulang telat.
"Siapa itu? Kenapa handphone kamu ada sama dia?" Tanya Ibu.
"Dia teman sekelas aku, Bu. Tadi, pas nyampe aku nitip ke dia. Ibu taukan kalau aku cuman bawa tas kecil yang cuman bisa ngisi buku doang." Aku berusaha membela diri.
"Jangan bohong kamu. Jangan – jangan kamu pacaran?" Ibu menuduhku tanpa sebuah bukti. Ibu sangat overprotektif membuatku harus menjelaskan panjang lebar sampai ke akar – akarnya.
"Enggak, Bu. Dia Langit teman sekelas Mira. Kalau Ibu nggak percaya, Ibu bisa tanyain teman – teman Mira." Bantahku dengan emosi yang sudah melonjak.
"Jangan – jangan, tadi bukannya kamu piknik sama wali kelas kamu. Tapi kamu malah pacaran sama teman kamu tadi. Awas kamu ya Mira. Ingat, kita orang susah. Kamu harus berhasil dulu baru pacaran." Tegas Ibu.
"Iya, Bu. Mana mungkin aku bohong sama Ibu." Ucapku dengan penuh usaha untuk membuat Ibu percaya.
"Baiklah, kalau begitu." Ucap Ibu.
"Sabar Amira, sabar." Gumamku sambil mengelus – elus dada.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro