Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 11 ~ Patuh

Aku sedang menunggu Bulan di bawah pohon yang berada di pinggir jalan dekat pagar sekolah.

"Adu, panas banget sih."

"Ayo, Kak" Sapa Bulan yang menghampiriku.

"Lama banget sih. Ya udahlah. Cuss,"

"Selamat siang semua," Aku memberi salam pada seisi rumah namun, hanya Robi Adikku yang menjawab. 

"Selamat siang..." jawabnya. "Ada jajan sisa dari sekolah nggak Kak?" Robi memiliki kebiasaan menanyakan jajan padaku. Karena, biasanya aku selalu menyisihkan makanan enak yang aku makan di sekolah untuknya.

"Ini, ada nextar. " Aku mengeluarkan makanan itu dari dalam tas.

"Yeaay, makasih Kak." Girangnya sambil mengambil nextar dari tanganku.

"Punya aku nggak ada?" Tanya Bulan bercanda.

"Idih, kamukan udah gede." Aku menyenggol Bulan.

"Ibu, di mana Rob?" Tanyaku pada Robi yang sedang asik menikmati nextar sambil bermain mobil – mobilan di teras rumah.

"Belum pulang Kak." Ujarnya.

"Dek udah makan belum?"

"Belum, Kak."

"Siang..." Suara Ibu menyapa kami. Wajah Ibu kelihatan sangat letih.

"Amira, kamu tolong masak ya. Ibu lagi nggak enak badan." Ujar Ibu.

"Baik, Bu." Ucapku lalu masuk mengganti pakaian.

Aku menyuruh Bulan membantuku memasak. Sesudah memasak, aku ke kamar Ibu dan membangunkannya untuk makan.

"Bu, makananya udah siap." Ucapku dengan pelan karena takut Ibu terbangun.

"Simpan, aja dulu. Entar, baru makan." Ucap Ibu dengan suara serak.

"Ibu demam?" Tanyaku sambil meraba dahi Ibu.

"Iya," jawabnya.

"Kalau begitu, aku sama Adek - adek makan duluan ya, Bu." Pamitku.

"Iya, makan aja duluan." Ucap Ibu sambil membalikkan badan ke arah jendela.

Aku keluar dari kamar Ibu dan makan siang terlebih dahulu bersama Adik – adikku. Belum juga usai makan, Robi dan Bulan membuat ulah lagi. Mereka saling mengecek satu sama lain.

"Bulan, Robi diam Ibu lagi sakit. Kalau Ibu bangun gimana?" Aku berusaha mendiamkan mereka. Namun, mereka tetap berisik. Tiba - tiba...

Pok- pak, Ibu memukul Robi dan Bulan.

"Kalian diam nggak? Ibu lagi sakit tapi kalian ribut – ribut." Marah Ibu. "Kamu juga Amira. Tegur Adik kamu sedikit dong. Awas ya kalau nanti ada yang ribut lagi."

Sapu ijuk sampai patah di badan Robi dan Bulan. Aku merasa lucu sekaligus kasihan karena melihat kedua wajah Adikku menahan air mata.

"Udah aku bilanginkan tadi. Lain kali, kalau Kakak bilang diam, ya diam.Jadinya, sakitkan badan kalian. Kakak tuh nggak suka kalau Ibu kasar sama kita." Tegasku.

Aku tidak mampu menahan rasa lucu, "Hahaha." Robi menangis karena aku tertawai sementara mengunyah makanannya. Sedang Bulan mengelus - elus badannya karena kesakitan.

***

Karena Ibu sedang sakit, Ibu menyuruhku membereskan semua pekerjaan rumah.

"Bulan, bantuin aku ya?" Pintaku.

"Idih, nggak mau. Siapa suruh Ibu mukul aku," jawabnya dengan tatapan julid dan muka monyong.

Aku hendak mengeluh pada Ibu. Namun, karena Ibu sedang sakit. Aku pun mengerjakannya semuanya sendirian. Sampai aku lupa jika hari ini ada study sore IPA Biologi. Syukurnya, Ria menelponku dan memberitahukan bahwa ada tugas untuk siswa yang tidak ikut study sore.

"Ibu, Mira boleh keluar sebentar nggak? Ke rumah Ria buat ngambil modul. Hari ini aku harus nyelesain tugas Bu. Soalnya, tadi aku nggak ikut study sore."

"Nggak usah, besok aja. Ini udah malam. Lagian, kenapa tadi nggak ikut?" Ujarnya.

"Nggak lama kok, Bu. Ini juga baru jam 6." Jelasku.

"Ibu bilang nggak ya enggak. Kamu liat nggak kondisi Ibu lagi nggak sehat? Kalau tiba - tiba Ibu pingsan siapa yang bantuin." Tegasnya.

"Ibu jangan berpikiran negatif seperti itu dong, Bu. Aku perginya cuman ambil soal sama buku aja kok. Sekalian nanyain cara penyelesaiannya sama Ria." Aku berusaha menjelaskan dengan lugu.

"Terserah kamu Amira." Jawab Ibu. Wajahnya terlihat berat  mengizinkanku untuk pergi.

"Oh, okey." Ujarku singkat lalu menyimpan kembali tas yang ada dipunggungku. Jika tidak berpikir panjang, aku mungkin sudah langsung pergi setelah Ibu mengucapkan kalimat itu. Namun, langkahku terasa berat melihat kondisi Ibu seperti itu.

"Bagaimana ini? Besok pagi aku udah harus setor tugas ini karena tadi nggak ikut study sore." Keluhku. "Ya, Tuhan bantu aku."

[Amira, ? Kamu udah di mana?] Pesan whatsapp dari Ria masuk.

[Aku nggak jadi ke situ Ri. Ibu aku lagi sakit. Nggak dibolein keluar nih.] Balasku.

[Kamu boleh nggak fotoin aja modulnya?]

[Boleh, wait ya]

Foto modul dari Ria satu persatu masuk. Notifikasi berulang kali terdengar saking banyaknya foto yang ia kirim. "Ding- dong" begitu bunyi notifikasi whatsappku.

[Thanks ya Ri.] Balasku dengan emot memohon.

[Iya, sama – sama Amira]

Untung, ada Ria yang membantuku. Jika tidak, mungkin aku akan mendapat masalah besok di sekolah.

[Yaudah, Ri. Aku kerja tugas dulu ya,]

[Oke, Ra.]

"Amira..." Suara Ibu memanggilku dari dalam kamarnya.

"Astaga...Apalagi sih? Aku ngerjain tugas juga." Kataku sambil keluar dari dalam kamar.

"Ada apa Bu?" Tanyaku.

"Kamu tolong beliin Ibu obat. Obat Ibu udah habis." Perintahnya.

Dalam hati aku berkata "Lah? Tadi aku izin keluar Ibu nggak mau. Giliran sekarang Ibu malah nyuruh aku keluar. Ya udahlah."

"Baik, Bu." Ujarku sambil mengambil uang dari tangan Ibu.

***

Besoknya di sekolah, aku menceritakan keluh – kesahku pada Ria.

"Ria, kamu tau nggak kemarin itu aku kesal banget sama Ibu."

"Kesal gimana maksudnya?" Tanya Ria.

"Masa aku nggak dibolehin ke rumah kamu. Giliran keluar beli obat di Apotek boleh," Kesalku.

"Oh, itu. Ibu kamu sakit apa emag?" Tanya Ria kembali.

"Demam Ri." Lirihku.

"Udahlah, ikhlasin aja ya? Ibu kamukan lagi sakit," jelas Ria sambil mengangkat kening.

"Iya, sih." kataku dengan emosi yang mulai mereda.

"Aku egois ya Ri?" Tanyaku pada Ria dengan mata berkaca – kaca.

"Enggak kok. Nggak ada yang bilang kamu egois. Menurut aku kamu itu anak yang baik. Nggak ngelawan kek aku. Aku di suruh cuci piring aja males." Jelas Ria.

"Hehehe, ngakak. Makasih ya," ujarku.

"Nggak usah makasih terus deh. Bosen aku dengarnya. Emang aku ngasih beras ke kamu?" Canda Ria.

"Hahaha, dasar kamu." Tawaku.

"Ingat Amira, pokoknya kamu harus ikut jalan – jalan nanti yah?" Tegas Ria.

"Kalau Ibu ngizinin, aku ikut." Jelasku.

"Sip. Deh." Ujar Ria.

Menjadi patuh mungkin lebih baik untuk bertahan. Namun, jika terus menerus seperti ini, aku hanya menyiksa diriku sendiri. Aku tidak bisa mengekspresikan perasaan dengan leluasa. Jiwa patuh atau jiwa pemberontak yang ada dalam diriku? Ketika aku patuh rumah akan terasa baik – baik saja. Ketika aku mulai melawan suasana rumah terasa begitu sulit. Padahal, niatku hanya ingin lebih berkembang di luar bersama teman – temanku. Aku sadar akan apa yang aku lakukan. Anak memang patut patuh kepada orang tuanya. Tetapi, ada satu titik di mana aku juga ingin di dengar dan tidak terus menerus mengikuti kemauan orang tua. 

Aku mulai sadar bahwa yang menyebabkan aku tidak mampu melihat dunia luar secara jelas karena selama ini, aku hanya terkurung di dalam rumah. Singkatnya, bukannya aku tidak berani keluar dari zona nyaman. Tetapi, aku tidak  diizinkan keluar dari zona itu.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro