Prolog : Asal-usul Pacaran
Dulu, dulu, dulu sekali ...
Di sebuah dataran yang menjunjung adat ketimurannya—barangkali karena letaknya di timur—ada jari-jari tangan milik seorang gadis yang melakukan unjuk rasa karena empati mereka pada hati yang selalu bersedih karena kehilangan potongannya yang terpencar entah ke mana.
Rasa itu juga berpengaruh sangat signifikan lantaran kehilangan sepotong hati, sama saja dengan kehilangan pasangan mereka.
(Jadi, sebelum mesin pendeteksi sidik jari ditemukan, jari-jari sudah tahu kalau mereka juga punya pasangan untuk saling menautkan jari)
“Mana jodoh kita? Mana?!” pekik jari manis kalap.
“Sabar! Sabar! Sebentar lagi dia akan datang. Kamu kan masih umur sembilan tahun,” hibur si Jempol kemudian.
Jempol tidak tahu saja, zaman sekarang anak umur sembilan tahun sudah (merasa) menemukan jodoh mereka.
Jari-jari pun bersabar. Selang waktu 10 tahun setelah akhil baligh, setelah sibuk mencari jati diri, belajar, dan belajar, Jari-jari masih saja merindu.
Sampai suatu hari, datanglah pemuda dengan jari-jarinya yang tampak lelah bekerja saban hari. Ia mengaku sepanjang malam tak enak tidur lantaran memikirkan gadis yang ia lihat di sebuah pasar. Dan dia jatuh cinta pada gadis itu. Gadis dengan jari-jarinya yang menunggu lama.
Maka pada hari ini, dia mengutarakan perasaannya, di depan orangtua gadis itu.
“Bagaimana aku yakin kau ini benar-benar akan menjaga putriku?” tanya si Tuan Rumah, bapak si Gadis.
“Bagaimana kau tahu kalau putriku itu memang untukmu?” tanyanya lagi.
Pemuda itu menahan napas. Jari-jarinya memberi semangat.
“Saya menyayangi putri bapak. Saya telah berdo'a kepada Tuhan Yang Maha kuasa. Dan andaikan putri bapak dijejerkan bersama gadis-gadis lain. Tentu saya tetap memilih putri bapak karena rasa yakin dalam hati saya. Saya bukan cenayang. Tapi, rasa yakin setiap melihat putri bapak, itulah alasannya.”
Seketika si Bapak terkesiap. Jari-jarinya pun serta merta terdiam membisu, dan nengangguk-angguk.
“Seperti kita dahulu ya ... hmm ... hmm ...” batin mereka, para Jari-jari.
“Baiklah, anak muda. Saya serahkan sepenuhnya pada putriku.” tutup sang Bapak. Membuat pemuda itu tersenyum senang.
Di balik pintu, si Gadis yang diam-diam mendengarkan itu bersemu merah. Tentu saja dia bersedia. Dia senang bukan kepalang. Jari-jarinya pun bersorak. "Hei, Hati! Sepertinya kau sudah menemukan potonganmu yang terpencar entah ke mana itu!!”
Dan, bisa ditebak, sebuah perhelatan sederhana diadakan. Sebagai tanda kalau dua muda-mudi itu akan dinikahkan. Para tetua, nenek mamak, dan pemuka masyarakat berkumpul. Perempuan-perempuan menggiling daun pacar dan ketika sudah halus, mereka pun memakaikan ke jari-jari si Gadis. Tradisi itu dilakukan sebagai tanda kalau si Gadis sudah ada yang meniatkan. Si Gadis sedang menjalankan proses pengenalan. Kelak si Gadis akan dilamar dan selanjutnya akan dinikahi.
Warna alami pada daun pacar hanya bisa bertahan sampai sekitar tiga bulan. Sesuai kebiasaan, selama warna pacar di jari-jari masih ada, maka itu juga berarti: tidak ada satu pun pria lain yang boleh mendekati si Gadis. Sebab dia sudah ada yang meniatkan.
Tiga bulan itu jugalah, sebagai batas waktu bagi pihak lelaki dan perempuan untuk menjalani tahap pengenalan (tentu ditemani mahram), sekaligus waktu untuk mencari rezeki tambahan demi mempersiapkan pesta pernikahan.
“Adinda, tunggulah saya.” Pemuda itu berkata pelan pada Si Gadis. Saat dia pamit pulang untuk menyiapkan semuanya. Si Gadis mengangguk senang.
Saban hari menjalani proses pengenalan, menunggu, dan menunggu. Warna pacar di jari-jari gadis sudah mulai hilang. Hanya tersisa di ujung-ujung kuku. Akan tetapi, pemuda itu belum juga menikahi si Gadis.
Tiga bulan berlalu. Si Gadis merasa cemas. Dia sudah terlanjur berharap. Tapi pujaan hatinya selalu saja berkata tunggu. Dengan cemas yang lindap, gadis itu nekad memasang kembali pacar di jari-jarinya. Supaya semua orang terkecoh.
Enam bulan berlalu. Pemuda itu minta waktu.
12 bulan, dan masih sama. Pasangan itu masih berhubungan, tapi tak kunjung menikah.
Dan hingga bulan-bulan berlalu, keadaan mereka masih sama saja. Saling mencintai tapi tak cukup mampu untuk menikah. Si Gadis mulai berhenti memasang warna pacar di jari-jarinya. Toh percuma. Dan mereka berdua yang tak bisa saling melepaskan, tetap memadu kasih tanpa ada ikatan halal dan kepastian. Begitulah kisah mereka. Dan begitu jugalah awal mula istilah pacaran dikenal banyak masyarakat hingga saat ini.
Ya. Tadinya cinta adalah keyakinan tapi jadi lumpuh karena tak punya kemampuan.
***
SRAK
Sarah membuka paksa tirai yang menghalangi tempat tidurnya dengan tempat tidur saudaranya, Dinda.
"Stop baca dongeng itu! Yang namanya pacaran ya pacaran! Gak ada asal usulnya!"
Dinda menutup bukunya, lalu menoleh. "Apa sih? Aku kan cuma baca."
"Pokoknya dongeng itu nggak ada!"
"Ini apa sih? Kok kamu yang emosi."
"Nggak ada!"
"Ya Allah, Sarah—"
"NGGAK ADA!!"
"Ada!
"NGGAK ADA! NGGAK ADA!"
SRAK
Sarah menutup kembali tirai itu. Lalu mematikan lampu di nakas. Ia menarik selimut, lalu memaksa tidur tanpa memedulikan Dinda yang memanggil-manggilnya.
Dia benar-benar kesal.
***
AN
Assalamualaikum, readers!
Selamat membaca. Semoga ILYU bisa menjadi salah satu bacaan yang mencerahkan buat kamu ya.
Syukron :)
Judul bisa kapan saja berubah karena saya labil.
...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro