Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

6 | Bohong

"Sarah mana, Din?"

Dinda yang hendak menyuapkan nasi ke mulutnya berhenti.

"Di kamar, Pa."

"Anak itu kok belum turun makan malam, sih. Nanti Mag-nya kambuh," Zulfikar geleng-geleng kepala. "Inem," panggilnya pada Inem yang meletakkan segelas air minum untuknya.

"Iya, Pak?"

"Kamu ke bawah ya. Anter Sarah buat ke sana. Minum."

Maksudnya, kamu ke atas ya. Jemput Sarah buat ke sini. Makan.

Inem mengangguk mantap. "Siap laksanakan!!" katanya lantang.

Melihat tingkah ART mereka yang unik, Zulfikar dan Dinda tertawa. Baik Zul dan Dinda sudah hapal bagaimana cara berkomunikasi dengan Inem. Hanya Manda yang masih suka lupa dengan karakter Inem. Otomatis mereka berdua lebih sering berantemnya ketimbang cocoknya. Beda dengan Sokat yang lugu, Inem cenderung centil, norak dan punya kesalahpahaman pendengaran.

Dinda menyeruput air putih. Ketika Inem datang lagi sambil tergopoh-gopoh. ART itu terlihat menangis tersedu-sedu.

"Kenapa, Nem?" Zul menatap Inem bingung.

Dinda menggeleng pelan. Jangan bilang kalau Sarah minggat.

"Nganu, Pak. Neng Sarah bilang nggak mau makan selama-lamanya."

"Hah?"

"Betul, Pak. Saya nggak bohong. Neng Manda juga kasar. Saya disuruh pulang kampung, Pak ... saya mohon Pak jangan pecat saya ..."

"Ini gimana maksudnya? Dengerin ke saya Nem." (Jelasin ke saya Nem)

Inem mengusap air matanya, "Saya kan ketuk pintu kamarnya. Terus saya bilang neng makan malam neng, Bapak sama neng Dinda sudah nungguin," cerita Inem sambil memeragakan. "Terus, neng Sarah tereak Pak, Diem lo! Pulang! Gue nggak bakal makan sampe besok atau selama-lamanya! Pulang lo! Pulang!"

Zulfikar menganga. Untung Dinda cepat paham. Pasti maksudnya Sarah tadi mau bilang Pergi Lo! Pergi!

Dengan sigap, Gadis itu menepuk bahu papanya, lalu berkata. "Inem salah denger. Biar Dinda susul ya, Pa..."

Zulfikar mengangguk cepat. Biar Dinda yang menghadapi Sarah. Sedangkan dirinya punya tugas menjelaskan pada Inem soal pulang kampung. Tapi dia mulai bingung melihat Imem yang menangis tersedu-sedu.

Zulfikar menggaruk kepala. Tanda sedang mencari kosakata yang tepat untuk menjelaskan pada Inem tentang yang sebenarnya.

***


WILAYAH BIDADARI
MAU MASUK BISMILLAH DULU

Dinda tersenyum membaca tulisan yang tergantung di tali pembatas antara tempat tidurnya dan tempat tidur Sarah. Tali pembatas itu sengaja Sarah pasang sebagai batas teritorial, maksudnya supaya Dinda tidak seenaknya masuk dan mengetahui apa pun jal yang dilakukan Sarah.

Dinda ingat sekali. Stiker itu Sarah beli saat Mama mengajak mereka ke mall. Mereka bertiga menghabiskan waktu bersama. Itu tiga tahun yang lalu. Sebelum Mama berjuang keras melawan sakit asam lambungnya lalu akhirnya meninggal dunia.

"Sar? Aku boleh masuk?" Dinda membuka tirai pembatas. Dilihatnya Sarah sedang menulis di meja belajarnya.

Sarah mendongak. "Lo udah masuk."

Dinda tersenyum. "Lagi apa?" tanyanya sambil berdiri di samping Sarah. Lalu memusatkan perhatiannya pada buku yang Sarah tulis. Kumpulan Soal IELTS. Dinda tertegun. "Kamu ... masih pengen kuliah di sana?"

Sarah membuka kacamatanya. Dia mengangguk. "Of course. UK itu negara impian gue. Ini gue latihan tiap hari. Do'ain ya."

"Tapi kamu kan udah lolos di univ yang sekarang. S2-nya aja di sana."

"Haduh, entah ya. Gue udah muak di sini. Gue pengen cepet-cepet aja."

"Tapi Papa kan nggak boleh..." Dinda menggigit bawah bibirnya.

"Papa larang karena aku belum membuktikan kalau aku bisa lulus."

Dinda menatap Sarah intens. "Bukan. Kamu salah paham. Papa nggak pernah meremehkan kemampuan kamu, Sar. Kami semua tau kamu pinter. Cuma, Papa larang karena London terlalu jauh. Papa pasti nggak akan tahan kalau kamu jauh."

Sarah duduk menyamping, menghadap Dinda. "Gue nggak peduli. Kalau kangen bisa video call. Itu cuma akal-akalan Papa aja," katanya sambil memainkan rambut panjangnya.

"Tapi sayangnya itu bukan akal-akalan Papa."

"Lo kenapa sih? Sebagai saudara, lo harusnya support gue dong!"

Mata Dinda membola. "Eh, iya, sori. Aku cuma nggak mau kamu mikir Papa larang karena ngeremehin."

Sarah mengedikkan bahu. "Ngeremehin gue juga nggak papa. Itung-itung jadi mood booster. Jujur, gue makin kuat kalau ada yang ngeremehin. Entah ya ... respon mental gue kok keren abis."

Dinda tersenyum. "Tapi aku nggak mau meremehkan. Kamu pasti bisa kok."

Sarah mengangguk. Pertanda setuju. "Thanks. Kalo lo? Masih pengen jadi traveler?"

Dinda mengerjapkan matanya. "Iya, kadang aku berencana mau ikutan backpacking. Ada banyak tawaran. Tapi, papa nggak boleh. Lagian aku cewek sendirian."

"Papa tuh apa sih yang boleh? Semuanya nggak boleh."

"Wajar kok. Dalam islam, pergi jauh tanpa mahram juga dilarang."

"Hm ... jadi lo mau bilang kalau kuliah jauh ini termasuk dilarang, gitu?"

Dinda menggeleng. "Sebenarnya nggak boleh. Tapi kalau emang ilmu yang kamu kejar itu nggak ada di sini. Dibolehkan asal kamu memenuhi tiga syarat, pertama, punya ilmu yang cukup yang bisa memelihara dirinya dari syubhat, kedua punya agama yang kuat untuk menjaga agar tidak terjatuh dalam syahwat. Ketiga, dia memang benar-benar berkepentingan untuk pergi."

Sarah menatap Dinda datar. Tapi Dinda tetap melanjutkan. "Dan sebagai perempuan, kita harus wara, hati-hati. Tapi kalau bisa cari suami untuk nemenin. Kalau bisa ... kalau nggak bisa, berangkat ke sana pun harus diantar sama orang yang amanat. Dan sesampainya di sana, kamu emang terjamin nggak akan dalam bahaya. Ada orang amanah yang bersama kamu. Dan di sana kamu punya teman yang semahram. Dan itu pun jadi terlarang kalau dikhawatirkan agama kita bisa rusak."

Sarah menghela napas. "Oke thanks penjelasannya. Helow, gue nggak akan mendadak jadi atheis cuma karena kuliah di London."

"Bukan atheis, Sarah. Yang ditakutkan itu syariatnya nggak terjaga. Bisa jadi salah gaul, mabuk-mabukan, zina ..."

"Stop, Din. Atau kita berantem lagi. Gue di sana mau kuliah."

Dinda tersenyum. "Aku nggak nuduh kamu akan seperti itu, kok. Aku kan cuma kasih tau apa yang emang terjadi di sana. Tapi, bukan berarti semua kena pengaruh juga sih. Ada kok yang jadi berhijab karena kuliah di luar negeri. Karena di sana pun, ada kok warga lokal yang muslim."

Kembali fokus ke bukunya, Sarah bicara pelan. Dia rasa percakapan ini harus dihentikan sebelum Dinda mulai cerita panjang lebar soal berhijab. "Sekarang gue mau belajar lagi. Jadi lo tau kan mesti apa?"

Dinda menegakkan badannya. "Oh. OK," katanya sambil berjalan ke arah pintu.

"Satu lagi," Sarah bersuara, sambil tetap memandang bukunya. "Gue tau lo ke sini cuma mau ngecek gue masih ada atau udah cabut ke pesta kan? Congratulation, gue susah keluar. Jadi jangan sok pantau gue."

Dinda tersenyum tawar. Sebenarnya dia benar-benar ingin ajak Sarah makan malam. Tapi, sudahlah. Dinda memilih diam, lalu membuka kenop pintu. Meninggalkan Sarah di kamarnya sendirian.

Tak berapa lama, Sarah menghentikan aktivitas menulisnya. Dia menjatuhkan kepalanya ke meja. Entah kenapa dia merasa tidak kenal lagi dengan Dinda. Dinda yang dulu akan selalu berkata Ya padanya tanpa ada embel-embel apa pun. Dinda yang dengan seru mengajaknya karaoke-an, nonton konser, ke mana pun.

Sekarang Dinda yang seperti itu tidak ada lagi.

Sarah menghela napas lagi. Sebuah pesan masuk. Dari grup Cantik Tanpa Oplas. Entah ide siapa itu.

Karlina Nafza:
Saaar jadi ke sini?
GILA party Niken bukan main! NYESEL LO ABSEN!

Sarah menegakkan punggungnya. Dia mengetik untuk membalas, tapi chat baru masuk lagi.

Nova :
Ada Kak Andra nih.
Sar
mau gue minta doi jemput lo?

Sarah membekap mulutnya. Senang bukan main. Matanya mulai liar mencari cara agar bisa ikut pesta. Kalau menyusup bisa saja, tapi Sarah takut naik gojek atau taksi malam-malam. Dia belum pernah melakukan itu sebelumnya. Dengan cepat, Sarah memutuskan.

Saraha Gusmaida:
Jangan!
Papa gue mana boleh.
Gue nyusul
pake Vespa nya Ipin ya!


Karlina Nafza:
Ipin lo ajak?
Awas aja klo dia norak.

Karlina Nafza:
Yakin lo nggak mau dijemput Andra? Sayang banget.
Dia kayaknya mau aja tuh.

Saraha Gusmaida:
Harus mau lah dia.
Ipin nganter aja kok.

Saraha Gusmaida:
Mau banget dijemput Andra
Omg!

Novalia :
Ipin suruh masuk juga dong Sar. Kasian tuh anak lo peralat mulu.

Sarah mengernyit. Memperalat? No. Demi Tuhan Sarah tidak pernah bermaksud memanfaatkan Ipin. Cowok itu temannya sejak kecil. Cuma Ipin yang setidaknya, Papa tidak menaruh curiga sama sekali. Meskipun Papa juga melarang terlalu dekat dengan Ipin (lantaran dia laki-laki). Tapi, cuma Ipin yang pernah bantu Papa benerin mobil. Cuma Ipin yang--satu-satunya cowok--di kompleks ini yang mengantarkan bubur kacang ijo buatan Emaknya ke rumahnya. Lalu cuma Ipin yang akhirnya bisa ngobrol ngalor ngidul di teras rumah bersama Papa. Cuma Ipin.

Ya, ini namanya teman. Saling tolong menolong.

Sarah mengangguk. Dia mulai menghubungi Ipin.

***

Tepat pukul 20.00, Ipin datang mengetuk pintu. Dia disambut oleh Sokat, yang lari terburu-buru ke ruang tamu. Takut kalau-kalau mie-nya dimakan Inem. Soalnya, malam ini mereka sedang melakukan pesta mie di dapur.

"Assalamualaikum. Selamat malam, Mas Ipin. Hah-hah-hah ... Inyong kira siapa, Mas." Sokat mengusap dada.

"Wa'alaikumsalam. Malem, Sokat. Kamu kok menges gini, Kat?" Ipin mengangkat alis.

Sokat tersenyum sambil mengangguk-angguk, persis seperti burung dara kepunyaan tetangga sebelah.

"Iya Mas Ipin. Inyong lagi lomba makan mie rasa baru sama si Iyem. Tadi aja kita ngundi dulu siapa yang harus buka pintu."

"Mie rasa baru?"

"Iya, Mas. Yang kayak di tipi tipi itu loh. Mie goreng Aceh. Mie goreng Teri. Macem-macem, Mas. Ini kita berdo'a semoga ada rasa baru lagi,"

Ipin tertawa. "Nunggu rasa apa?"

"Rasa ikan asin mas!"

"Hah?"

"Tapi Inem bilang dia pengen rasa yang ini juga Mas ... mmm .... anu ... "

"Rasa apa?"

Sokat mengetuk-ngetuk dagunya. "Rasa ... rasa ... rasa cinta sama Mas Ipin."

Kontan Ipin terbahak-bahak. Membuat Sokat ikut tertawa. Di balik dinding ruang tamu, diam-diam Inem memukul-mukul tembok. Dia kesal pada Sokat. Soalnya, yang sampai di telinganya, Sokat lagi gombalin Mas Ipin.

"Sarah mana Kat?"

"Oh, saya panggilin ya, Mas."

Bersamaan dengan itu, Sarah muncul dengan pakaian sehari-hari dan sebuah tas punggung. Gadis itu terlihat cemas. Merasa tidak ada kepentingan lagi, Sokat menyingkir, kembali ke dapur. Entah badai macam apa yang menanti Sokat di dapur. Masalahnya, Inem sedang cemburu berat.

"Ipin!" Sarah tercekat. Nyaris sangat keras." Gue kan bilang tunggu di gang depan ..." katanya lagi sambil memelankan volume suaranya.

"Emang kenapa sih? Nggak pernah-pernahnya lo gini." Ipin duduk di sofa, lalu menyilangkan kaki. "Terakhir kita jalan, itu pas konvoi kelulusan SMA lo, dan Om Zul marah sama gue. Udah semestinya dong, gue sekarang minta izin dulu."

"Eh, nggak usaaah. Gue udah izin tadi."

Ipin merasa sangsi. "Beneran? Kok bisa Om kasih izin?"

"Emm .... gini, mending kita berangkat aja. Daripada Papa berubah pikiran. Papa aja tadi marah-marah. Untungnya kasih izin ... terpaksa sih," Sarah memainkan jari-jarinya. "Gue tuh lupa ada tugas presentasi besok. Dosen gue killer abis lagi. Lo tau kan kalo gue satu grup sama Nijen? Dan masalahnya dia lagi party. Nah, Papa paling nggak suka kalau anaknya bikin malu di kampus. Jadi ..."

"Lo gimana sih, Sar. Kok bisa ceroboh gitu. Tugas kelompok ya kelompok dong ngerjainnya. Lagian masih aja lo mau temenan sama Niken."

Sarah mengepalkan jarinya. Dia kesal.

"Lo mau nolong gue apa nggak? Kalo nggak, ya udah. Balik sana lo!"

Seketika, Ipin bangkit dari duduknya. "Jangan ngambek dong Sar ... iya, gue bantu," katanya lembut.

Sarah menghela napas. Sebenarnya tidak tega kalau harus memarahi Ipin. Tapi apa boleh buat. Ipin kadang suka ikut campur urusan orang. Kadang-kadang.

"Tunggu di depan."


***


Dentum suara musik terdengar nyaring. Sarah meliukkan badannya mengikuti irama. Sementara Ipin terduduk diam dalam keramaian itu.

"Lo bilang kerja kelompok, Sar? Kok ke tempat ini?" kata Ipin sepuluh menit yang lalu saat ia dan Sarah tiba di depan sebuah bangunan bergaya eropa.

Mendengar itu, Sarah hanya tertawa nyaring. "Iya, ini kerja kelompok juga kok namanya. Kita bekerja sama membuat sukses party-nya Niken!" Sarah mengangkat tangan dengan riang.

"Sar, lo kelewatan!" Ipin menghela napas kasar. Dia mengusap kepalanya yang tidak gatal.

"Lo masuk duluan aja. Gue nyusul." Ucap Sarah tak peduli. Lalu gadis itu beranjak dari motor, hendak ke toilet untuk berganti pakaian dress. "Jangan tinggalin gue ya. Inget, anak perempuan nggak baik jalan sendirian."

Belum selesai Ipin menjawab. Sarah sudah lebih dahulu ngeloyor. Gadis itu meninggalkan Ipin seperti orang bodoh. Persis saat ini, ketika Ipin hanya diam saja duduk menatap Sarah, Niken dan yang lain berseru heboh. Tampak Andra sedang membawakan lagu di depan sana. Jujur, Ipin bukannya tidak punya selera berpesta. Dia hanya tidak punya siapa pun yang dia kenal di ruangan ini. kecuali Andra dan teman –temannya. Tapi mereka sedang sibuk sendiri.

Ipin mengusap lagi kepalanya. Apa yang harus dia lakukan kalau Papa Sarah tahu hal ini?

"Eh yang jadi drummernya boleh juga ya."

Ipin menoleh. Sekelompok gadis kini tengah duduk di dekatnya, memesan minuman ke bartender. Mata mereka tak lepas memandang sosok ganteng yang sedang mengiringi Andra bernyanyi.

"Oh. Itu namanya Rama."

"Rama?"

"Iya. He is the perfect one. Ganteng, pinter tapi ngeselin."

"Maksudnya?"

"Lo hati-hati kalo ngobrol sama dia. Orangnya sinis. Pacar gue aja habis dibabat sama dia pas debat pemilihan ketua HMJ."

"Njir... seriously?"

Cewek dengan dress merah itu mengangguk. "Ngeliat tingkah dia yang angkuh itu. gue rasa, tipe cewek dia bukan kayak lo."

Ipin mengernyitkan dahi. Dia mengikuti pandangan gadis-gadis itu. Bukan karena dia memiliki ketertarikan pada lelaki. Tapi, sebagai seorang lelaki—yang saat ini sedang duduk di dekat para gadis—lalu mendengar lelaki lain jadi bahan gosip para perempuan di sampingnya, membuat Ipin sentimen saja. Sekeren apa sih, yang namanya Rama Rama itu.

"Oh. Itu." Ipin mengangkat alis.

Memang, Rama terlihat beda dari kumpulan orang yang saat ini berada di sekitarnya. Cowok itu memiliki mata yang hitam legam dengan rahang sedikit naik ke atas. Lalu gaya berpakaiannya yang over size dan bagaiaman dia merespon siapa pun yang menyapanya, menunjukkan dia seorang yang songong. Lebih songong dari pada Andra.

Ipin ingat. Beberapa bulan yang lalu cowok itu memang mengikuti pemilihan ketua HMJ. Tingkahnya yang angkuh dan kejam itu yang membuat dia gagal terpilih. Mereka bilang, HMJ memang butuh pemimpin. Tapi seorang yang mengayomi, bukan yang suka memandang orang dengan tatapan intimidasi sejenis Rama.

"Satu lagi makhluk songong di dunia ini," desah Ipin sekenanya.

Dan mendadak, dia ingat ini sudah jam 23.00. Sarah harus pulang!

**



An

Yaampun Alhamdulillah bisa update.
Mungkin ini adalah update paling dramatis dalam sejarah.
Alhamdulillah ya :) btw chapter Chit-chat aku revisi

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro