Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

5 | Kata Hati

"O ... M ... G."

"Keluarga lo parah banget sih, Sar."

Sarah menjatuhkan kepalanya ke meja. Beberapa saat yang lalu, dia mengungkapkan semua alasan kalau kemungkinan besar dia tidak akan bisa datang pesta ulang tahun Niken. Dan itu sangat menyebalkan. Ini, kalau Sarah bisa menjabarkannya, kemungkinan besar dia pun tidak akan bisa datang ke pesta-pesta selanjutnya. Papa dan kakaknya benar-benar kompak untuk soal program pingit ini.

"Padahal gue pengen banget gabung sama kalian ..."

"Bokap lo norak sih, ya, Sar." Niken berceletuk.

"Dan, Dinda juga sama noraknya." Nana menimpali.

Nova yang lebih dewasa mengembuskan napas. "Well ... Jadi rencana lo apa, Sar?"

Sarah menegakkan punggungnya. Lalu mengepalkan tangan. "Pokoknya gue bakal dateng. Gue udah capek. Dari kecil gue diginiin and the result is ... gue pun jadi norak."

"Of course, baby." Niken meraih jus apelnya yang baru tiba. Lalu melanjutkan, "Kalo gue jadi lo pun, gue pergi diem-diem aja. Lagian lo udah mahasiswa. Udah bukan anak SMA lagi. Kenapa mesti dilarang-larang sih? Iuhh ... "

Sarah mengangguk kencang seperti mainan di dashboard mobilnya. Tak beberapa lama dia diam." Tapi ... Kalo ketauan gimana dong?"

"Ya ampun Sarah ... Lo belum pernah minggat ya sebelumnya. Keluar malem kek, atau apa."

Sarah menggeleng dengan bengong. Kali ini seperti Sokat saat ditanya letak kaus kakinya di mana atau seperti Inem yang terlihat dramatis saat menonton sinetron Orang Keempat.

"HAH?"

Semua mengerjapkan matanya ke Sarah. Mereka mulai tertawa menghina. Sarah kesal dan malu, jadi dia memercikkan air mineral ke teman-temannya. Jadilah meja mereka meja yang paling berisik di kantin. Tapi, tidak ada satu pun yang berani menegur mereka. Atau lebih tepatnya tertarik untuk menegur. Sebab, tidak ada yang ingin punya urusan dengan Niken dan teman-temannya.

Terakhir, Niken pernah adu mulut dengan salah satu senior di kepanitiaan PKK tempo hari. Alhasil, gadis itu mendapatkan hukuman. Cuma, kelakuan Niken yang berani dan ceplas-ceplos membuat orang malas.

"Guys, guys." Nana memukul-mukul meja.

"Apaan, sih?"

Nana menunjuk-nunjuk ke depan. Seorang cowok kini sudah berdiri di samping Sarah. Penampilannya sangat cool dengan longfit T-shirt dan jeans skinny hitam. Cowok itu tersenyum kecil. Cukup membuat empat gadis itu terpana.

"Hei." tegur cowok itu.

Semua tergagap. Tidak salah lagi. Cowok yang di depannya ini adalah Andra. Senior ganteng di kampus mereka.

"Hei," Andra melambaikan tangan. "Gue boleh gabung?"

"Ee-eh, boleh kak. Boleh." Nana senyum-senyum. Disusul Nova yang menyilakan duduk.

Niken apa lagi. Cewek itu merapikan bentuk rambutnya. Tadinya, rambutnya yang super panjang itu di belakang telinga semua. Kini gadis itu mulai mengibas-ibaskan ke depan.

"Ada apa ya, kak?" tanya Niken sambil memberi isyarat pada Nova untuk pindah duduk di samping Sarah. "Duduk di sini, Kak."

Andra tersenyum lembut. Untuk sesaat, dia menoleh ke belakang, Agus sudah memberikan dua jempol kepadanya. Sementara Ipin cowok itu terlihat meremehkan.

"Gue duduk di samping Sarah aja, ya." Andra melirik ke arah bangku kosong yang ada di samping Sarah. Mendengar perubahan itu, dengan jengkel Nova kembali ke bangku awalnya.

"Hai, Sarah."

Sarah menoleh. Rasa-rasanya, dia belum pernah kenalan dengan cowok di sampingnya. Tapi kenapa cowok itu tahu namanya.

"Kok tahu nama saya, Kak?" tanya Manda polos. Sebetulnya sok polos.

"Lo cantik, siapa yang nggak kenal."

Sarah mengangkat alis. Lalu mengangguk. Gadis itu tersipu-sipu. Yah, gue emang cantik dari orok sih, ya.

Niken berdeham. Mencoba membuyarkan suasana yang membuatnya serasa ngontrak itu. Sementara dunia hanya milik Andra dan Sarah. "Sarah, ini kak Andra. Satu tahun di atas kita. Dia vokalis September Movement band yang kemarin tampil di PKK kita."

"Oh? Ehm ... maaf kak. Saya nggak tahu."

"Nggak papa." Andra mengangguk santai. "Kalian belum ada kelas?"

"Belum kak." Nana menjawab cepat. Anak-anak cerdas cermat bisa kalah cepat karenanya.

Niken mendekatkan kepalanya ke Nana, lalu berbisik, "Inget doi lo. Inget." Tapi tidak ada gunanya, Nana sudah terpesona dengan cowok di depannya.

"Ini kok, pada senyum-senyum aja?" Andra bicara lagi. "Kalian tadi kayaknya seru banget, sampe ribut-ribut. Tadi bahas apa?"

"Oh!" Nijen menjentikkan jarinya. Dia punya ide. "Ini, lusa gue ngadain party kak. Nggak gede sih. Cuma ngundang anak seangkatan aja. Kakak mau join?"

"Hmm ... kayaknya seru."

"Seru banget pastinya!"

"Gue boleh ajak temen-temen band gue?"

"Boleh kak! Boleh!"

"Sarah ikut kan?"

Sarah bengong. Tapi sebuah serangan mendadak di kaki membuat dia mengaduh pelan. Niken yang menginjak kakinya. Gadis itu juga yang sekarang meminta Sarah memberi jawaban.

"Belum pasti, sih, kak."

Andra mengangkat alis. "Kok gitu?"

"Tau tuh kak. Sarah kan anak pingit!" potong Nana. Gadis itu makin jadi saat Sarah memintanya untuk diam.

"Gue tau, kok."

Sarah tertegun. "Eh, ta-tau apa kak?"

"Lo pengen banget dateng kan?"

"Iya."

"Kalau gitu, dateng aja. Ikuti kata hati lo."

"Ha?"

"Kayaknya gue mesti pamit. Kelas gue bentar lagi mulai." Andra mengangguk sopan ke semua orang di meja. Lalu kembali mengalihkan pandangannya ke Sarah. "Lo dateng ya. Kalau lo nggak dateng, nanti gue bingung."

Bicara seperti itu, Andra beranjak pergi. Meninggalkan Manda dengan degupan di dadanya. Niken, Nana, dan Nova memekik pelan. Mereka melantunkan kalimat Kalau lo nggak dateng, nanti gue bingung dengan norak. Lalu heboh menggoyang-goyang bahu Sarah.

"Gila lo beruntung banget, Sar!"

"Itu Andra, Sar! Cowok yang punya mobil merah itu loh!"

"Ha? Yang mana?" Sarah masih kliyengan.

"Heleh. Yang sering kita jadiin kaca dadakan kalo lewat fakultas hukum."

"Eh, sial. Norak banget sih lo, Na. Itu kan elo!"

"Sarah! Pokoknya lo harus dateng ke party. Itu kak Andra pasti bakalan bawa temen-temen bandnya. Aarrkhhh!!! Astaghfirullah, gue nggak sanggup bayanginnya! Tolongin gue, tolong!" Nana panik pada imajinasinya sendiri.

"Oh, God." Niken bergidik.

Sarah tertawa melihat teman-temannya. Untuk sementara, dia ingin merasakan perasaan yang aneh ini. Sarah mengelus pipinya yang panas. Refleks, dia menoleh ke belakang, mencari sosok Andra yang barangkali masih ada di sekitar kantin.

Di ujung sana, Andra terlihat. Cowok itu tengah berjalan menjauhi kantin bersama dua cowok lainnya. Salah satunya, Sarah kenal sekali.

"Itu kan, Ipin."

Sarah tersenyum. Itu artinya, Ipin kenal Andra. Itu artinya ada begitu banyak kesempatan.

Arifin Dahnial. Gue bersyukur kita temenan.

Sarah menjentikkan jari. Dia punya rencana hebat.

***

Berjalan di koridor fakultas ekonomi memang paling menyenangkan. Selain ngobrol, mahasiswa juga disuguhkan pemandangan taman yang asri. Terutama Dinda. Gadis itu selalu suka suasana seperti ini.

Dia berjalan sambil berusaha tetap berdzikir dengan ruas-ruas jarinya. Dia melafalkan tasbih, tahmid, tahlil, dan takbir. Labirin-labirin di otaknya membawa Dinda mengenang sebuah diskusi di mesjid kampus. Sudah lama. Tapi rasanya benar-benar terjadi beberapa menit yang lalu.

"Ada pertanyaan?" tanya Ustadz Ilyas, saat sesi pertanyaan dibuka.

Dinda mengangkat jarinya. Gadis itu terlihat percaya diri di antara para akhwat di sekitarnya. Setelah moderator menyilahkan, Dinda mulai bicara. Tak lupa mengucapkan salam.

"Ustadz, saya sering dengar kalimat ikutilah kata hatimu. Baik itu di film, diskusi, atau di buku sekalipun. Dan bahkan, baru-baru ini saya pernah membaca hadist Rasulullah yang bunyinya--mohon maaf jika salah," Dinda berdeham. "Mintalah fatwa pada hatimu, mintalah fatwa pada hatimu, mintalah fatwa pada hatimu, karena kebaikan adalah yang membuat tenang jiwa dan hatimu. Dan dosa adalah yang membuat bimbang hatimu dan goncang dadamu. Walaupun engkau meminta fatwa pada orang-orang dan mereka memberimu fatwa."

"Yang ingin saya tanyakan adalah, Ustadz ... jika kita mengikuti kata hati kita. Misalnya, jujur, sampai saat ini, saya merasa untuk pakai jilbab itu tidak sama sekali. Nggak buat saya. Entah kenapa itulah perasaan saya. Saya nggak nyaman. Saya merasa seperti inilah, kata hati saya. Perasaan saya mengatakan kalau saya memang seperti inilah adanya. Saya merasa tidak tutup aurat juga tidak papa. Saya pikir beginilah cara saya mencintai Tuhan saya. Apakah itu dibolehkan? Apa saya dosa?"

Terdengar suara kasak-kusuk dari para hadirin. Sambil tersenyum, Ustadz Ilyas mengangguk-angguk. Sebelum akhirnya dia menjawab pertanyaan itu.

"Dinda ya? Betul nama kamu?"

"Iya." Dinda mengangguk.

"Jangan kaget ya Nak, pertanyaan kamu ini pernah ditanyakan kaum liberal. Tapi bedanya kamu dan mereka, kamu bertanya untuk menemukan kebenaran. Sedangkan mereka bertanya untuk menemukan pembenaran." Ustadz Ilyas berdeham. Lalu lelaki itu mengedarkan pandangannya. "Hadist itu diriwayatkan oleh Ahmad, hadist sahih. Artinya benar. Memang benar Rasulullah pernah bilang mintalah fatwa dalam hatimu. Dan itu diucapkan sampai tiga kali. Ibaratnya ya, kalau sampai diucapkan tiga kali itu artinya?"

"Penting," jawab beberapa hadirin.

Ustadz Ilyas mengangguk. "Ya, penting. Kalau anak muda zaman now bilang, hadist itu sama saja seperti istilah yang lagi tren sekarang ini, ikutilah kata hatimu. Tapi ... yang saudara kita baca ini belum lengkap."

"Belum lengkap?" Dinda membeo pelan.

"Ketahuilah ikhwah, hadist itu diperuntukkan pada salah satu sahabat Rasulullah bernama Wabishah. Siapa Wabishah? Ada yang kenal?"

Semua menggeleng.

"Ya ... wajar kalian nggak kenal. Wabishah bukan selebgram." canda Ustadz.

Kontan semua yang ada di mesjid itu tertawa. Tak terkecuali Dinda.

"Jadi Wabishah itu ..." Ustadz Ilyas memperbaiki posisi duduknya. "Orang shalih. Wabishah hatinya bersih, jauh dari dosa. Lah kita?" tanya lelaki itu sambil pandangannya menyapu semua orang. "Para Ulama sepakat kalau hadist itu tidak berlaku bagi semua orang dan semua keadaan. Kecuali ... pertama, orang yang shalih, bukan pelaku maksiat yang hatinya kotor. Kedua, orang yang memiliki ilmu agama. Dan ketiga, hadist ini berlaku bagi perkara-perkara syubhat, bukan perkara yang sudah jelas hukumnya."

"Menutup aurat itu sudah jelas hukumnya wajib. Sholat hukumnya wajib. Jadi, suka tidak suka, harus dipatuhi. Capek tidak capek harus dilaksanakan. Dalam keadaan terpaksa atau sukarela. Karena Allah pun pernah berfirman dalam surat At-Taubah ayat 41 yang bunyinya, Berangkatlah kalian, baik dalam keadaan merasa ringan ataupun merasa berat."

"Maaf Ustadz, kapan kita menuruti kata hati dan kapan tidaknya?" Seorang pemuda mengangkat tangan.

Ustadz Ilyas mengangguk. "Kita boleh mengikuti kata hati. Tapi hati tidak menjadi hakim bagi keputusan kita. Keputusan final tidak terletak dari hati. Tapi dalil. Misalnya kamu suka gadis A, kamu ingin lamar. Itu kata hati kamu. Tapi ternyata dia bukanlah muslim. Apa boleh kamu tetap mengikuti kata hati kamu?"

"Kalau semua orang pakai prinsip ikuti kata hati, lantas apa gunanya dalil? Apa gunanya agama bagimu, wahai pemuda? Jadi jangan berpatokan dengan apa kata hati, tapi ikuti dalil. Kata hati tidak selalu benar. Hati kita sering sakit ... sering tanpa sadar bergunjing dalam hati. Dalam diri setiap anak manusia ada jin qarinnya. Sering sekali dia mengusik hati kita." Ustadz Ilyas memandang sedih para hadirin. Lalu melanjutkan. "Kalau hati kita berkata zina itu sah-sah saja, mencuri sah-sah saja, perilaku LGBT itu sah-sah saja. Sementara dalam agama perilaku itu jelas-jelas terlarang, apa kita masih mau mendengarkan kata hati? Lantas kapan kita mendengarkan Allah?"

"Di mana Allah kalian tempatkan?"

Semua terdiam. Lalu menundukkan kepala mereka.

Dinda terpaku di tempat duduknya. Bahkan saat ini, di koridor fakultas, Dinda masih terpaku jika mengingat apa yang ustadz Ilyas sampaikan. Dinda menitikkan airmatanya. Dia teringat pada semua tingkah lakunya dulu.

"Ya Allah, maafin saya."

***

vote dan commentnya ya :)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro