Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

3 | Setelah Hijrah

"Itu muka apa jeruk purut, jelek amat."

Sarah menoleh. Ipin yang sejak tadi ditunggu akhirnya datang. Cowok dengan kemeja biru dan celana jeans itu mematikan mesin motor matic-nya. Lalu membuka helm. Membuat wajahnya yang cerah terlihat. Ini, kalau Sarah boleh sebut, gaya Ipin adalah gaya anak kuliahan yang disayang Mang Toyib-yang biasa dagang soto di kantin fakultas. Rapi dan wangi. Seperti itulah Ipin, teman sepermainannya sejak kecil itu selalu memiliki gaya yang membosankan sejak dulu. Itu menurut Sarah.

"Woi, ini gue nanya loh."

"Au ah!" Sarah langsung naik ke motor. "Ayo, berangkat!"

"Tumben nebeng. Bukannya harus berangkat sama Dinda ya?" Ipin bertanya. Lalu nyengir. "Oh, ini pasti berantem sama kakak lo lagi ya?"

Sarah mengangguk. "Gue sebel banget sama dia! Jadi orang kok nggak suka banget klo gue seneng."

"Emang lo ngapain lagi? Ini pasti lo yang cari gara-gara."

Sarah memukul helm yang menutupi kepala Ipin. "Gue nggak cari gara-gara! Dia yang cari gara-gara!"

"Tapi biasanya emang elo yang cari masalah."

"Ini lo ngajak tawuran ya? Mau ke kampus nggak?"

Ipin cengengesan. Lalu ia segera menghidupkan mesin motor kesayangannya itu. Siap membelah jalan Sudirman. Akan tetapi, baru beberapa menit berkendara. Suara klakson mobil mengagetkan mereka. Mobil itu tampak memepet seolah meminta Ipin berhenti.

"Apa lagi sih? Ah elah!" Sarah memaki. Perasaannya makin tidak keruan saat Ipin menuruti kemauan pemilik mobil.

Mereka berhenti. Dari dalam mobil, Dinda keluar sambil memasang wajah tidak enak. Sarah sudah siap dengan omelannya.

"Assalamualaikum, Pin."

"Wa'alaikumsalam ... kenapa Din?" Ipin tersenyum. Antara dirinya, Dinda dan Sarah memang hanya selisih setahun. Sejak kecil mereka sering main bertiga. Jadi, sudah terbiasa panggil nama.

"Maaf ya, Pin. Aku mau ajak Sarah berangkat sama-sama."

Ipin menoleh ke Sarah dan Dinda bergantian. "Iya ... silakan, sih. Nggak masalah kok. Lagian, gue jadi lega. Soalnya baru sebentar aja sama dia gue udah dianiaya."

Dinda tersenyum. Tapi Sarah sudah menginjak kaki Ipin.

"Ayo, Sar." Dinda mengangguk ke Sarah.

"Gue nggak mau."

"Ini Papa yang suruh aku, Sar ..."

"Gue nggak mau ya nggak mau!"

Dinda melonjak kaget. "Sar ... kalau kamu nggak nurut, nanti bisa panjang urusannya. Aku juga nggak suka kamu kena omel. Lagian-"

Sarah menghela napas kasar. "Ikut pesta. Baru gue nurut."

"Sar ... jangan gitu dong. Aku nggak bisa ke kafe itu."

"Lo tinggal ikut aja, lo nunggu gue kelar di toko buku atau apa, kek."

"Sar, kan itu namanya bohongin Papa..."

Sarah menendang-nendang ban motor Ipin. Dia frustrasi. Masa bodoh dengan Ipin yang sudah menegurnya.

"Ya udah, elah. Lo tinggal ikut. Duduk di pojok. Pesen air mineral. Udah kelar!"

Dinda menggeleng lemah. "Sar ... di sana banyak mudharatnya. Orang-orang menari, buka-buka aurat, belum lagi ada minuman kerasnya. Kamu pun juga nggak pantes ke tempat kayak gitu."

"Ya ampun Din ... gue cuma mau pesta. Gue nggak bakalan mabok-mabokan! Gini-gini gue ada otaknya juga. Pokoknya lo tinggal ikut, duduk aja di pojok. Lo bisa pesen orange juice atau soft drink di sana!" sergah Sarah sambil menunggu reaksi Dinda.

Gadis berkerudung itu menggeleng lagi. "Nggak bisa Sar ... dalam Islam kan kita dilarang duduk di perjamuan makanan yang di sana disediakan khamr-nya. Minuman keras, maksudnya. Meski nggak ikutan minum, tapi mendatangi, berdiam diri di tempat yang ada jual minuman kayak gitu, juga nggak boleh ..."

Mendengar itu, Sarah dan Ipin terhenyak. Tapi hanya sebentar sampai mereka berdua saling pandang dan Sarah mulai bersikap seperti biasa. Gadis itu mengedikkan bahunya ke Ipin. Seolah berkata, Lo liat sendiri kan? Udah aneh dia.

Lalu Dinda melanjutkan. "Kalau kamu nggak tau di tempat itu ada khamr-nya ya nggak papa. Tapi masalahnya, kamu tahu kalau di Cafe itu ada ..."

"Cukup Din." Sarah memberi isyarat dengan telapak telapak tangannya. Wajahnya terlihat semakin kesal. "Lo nyadar nggak sih, lo tuh aneh sekarang! Lo bukan Dinda yang dulu gue kenal. Dulu kita ke mana-mana bareng. Have fun bareng, Tapi, sekarang-" Sarah berhenti. Dilihatnya Dinda dari atas sampai bawah. Kakaknya itu sudah terlihat asing dengan baju serba tertutupnya.

Sarah melipat tangan dan berdecih. "Nggak heran kenapa orang-orang yang mendadak berubah kayak lo bisa kehilangan temen. Sebenarnya lo sendiri yang bikin mereka menjauh. Lo tuh lebay! Fanatik!"

"Aku nggak fanatik. Itu lah yang sebenarnya diatur dalam agama kita."

"Lo fanatik! Islam itu ya yang biasa-biasa aja."

"Yang biasa-biasa aja tuh gimana? Islam ya gini. Kita aja yang selama ini nggak tau."

Sarah tertawa kecil. "Lo siapa sih?" tanyanya sarkas.

"Ha? Ma-maksudnya?"

"Siapa sih lo? Gue ... nggak kenal lagi sama lo." Sarah menggeleng sedih.

Hening. Ada kekosongan sebentar sampai Sarah mundur ke belakang, menepuk helm Ipin.

"Ayo, Pin," kata Sarah sambil naik ke motor Ipin. "Pokoknya gue bakal ke pesta itu. Dan gue nggak peduli kalo lo laporin ini ke Papa! BODO AMAT!" bentak Sarah sambil melempar pandangannya dari Dinda ke jalan di depannya.

Ipin menatap Dinda sebentar. Ia tersenyum kecil lalu mengangguk mohon diri. Sebagai teman yang baik, sebenarnya dia tidak ingin dua saudara itu bertengkar terus. Tapi, Ipin tak bisa berbuat banyak.

Cowok itu menghidupkan mesin, lalu meninggalkan Dinda yang masih berusaha menghentikan Sarah.

"Sar, Sarah!"

Dinda memanggil pelan. Tubuhnya bergetar. Dia harus menghentikan Sarah. Dengan cepat dia meraih ponselnya dan mengirim pesan pada seseorang.

Bisa minta tolong?

Dinda menggigit bibirnya. Menunggu jawaban dari pesannya. Tapi selang beberapa menit pesan itu belum juga terbalas.

Dinda termangu. Perlahan dia menatap dirinya di spion mobil. Dari kaca itu, seorang perempuan berkerudung panjang terlihat nyaris ingin menangis. Dia tidak pernah menyangka kalau setelah dia memutuskan hijrah. Masalah pertama yang dia hadapi berasal dari keluarganya sendiri.

"Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi? (Alankabut :2 )

Dinda menghela napas lalu mengangguk. Dia terbayang sebuah ayat yang dia baca subuh tadi.

"Ini belum apa-apa, kok. Belum." racaunya seorang diri.


***


.
.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro