
1 | Chit Chat
CANTIK TANPA OPLAS GRUP 👠💋
Karlina Nafza
Serius lo digituin? Sialan!
Karlina Nafza
BERUNTUNG BGT LOO! Ini kita masih jadi maba loh. Eh lo udah digaet senior aja. Asem.
Niken Priscilia
Ladies, Kafe Atmosfer yang di deket museum itu keknya keren. Ke sana yuk!
Novalia Rastanti
Iy, gue serius. Namanya Aji ya?
dia nawarin gue pulang bareng malah. Gilaks gak tuh? Gue tolak sih, kagak enak lah, baru kenal sehari juga.
Karlina Nafza
GUE SIAP KAPAN AJA HAYOOK ASAL MINGGU!!
Novalia Rastanti
Nik, lo udah coba kafe Paradise nggak? Yang di deket tugu pahlawan itu. Mending ke sana aja. Bar boy nya ganteng2
Karlina Nafza
Gilaks emang si Aji itu. Eh Vo, lo jual mahal dikit YEE! Biar doi makin penasaran.
Karlina Nafza
Btw, doinya doi gue baru putus sama pacarnya. Kayaknya doi gue bakal mulai deketin dia lagi. tadi gue liat di IG, dia boom like doinya itu. Hah.
Niken Priscila
Cuma bar boy yg ganteng. Bartender nya gak. Ke Atmosfer aja yuk, gue pengen coba. Sekalian survei buat party gue.
Niken Priscila
Poor Nana
sampe kapan lo jadi stalker gitu. Parah lo ya. Itu doinya doi elo sampe lo pantau.
Karlina Nafza
SAMPE DOI GUE BERHENTI STALKING DOINYA DOI GUE
Karlina Nafza
SAMPE DOI SADAR KALO ADA GUE YANG TULUS MENCINTAI. MUNTAH MUNTAH DAH LO PADA
Novalia Rastanti
Okey. Kita ke atmosfer. Malam minggu besok. Yes?
Niken Priscila
Yes!
Karlina Nafza
SIP
Novalia Rastanti
Sarah mana sih?
Niken Priscila
Sarah lo bisa join kan? Masa ga bisa ikut terus sih, Sar.
Karlina Nafza
Sarah lagi boker mungkin.
Hari ini
Saraha Gusmaida
Girls,
Saraha Gusmaida
Soriii gue tanya bokap dulu yaa. Semoga bisa ikut
😭😭😭
Saraha Gusmaida
Kalian tau sendirilah, gue udh sering cerita soal tiga aturan papa kan? Papa nggak pernah mau kasih keringanaaaan
Saraha Gusmaida
Asli girls, gue sebel banget sama Dindot. Kenapa sih dia nyebelin banget! Gara-gara omongan dia juga, Papa makin ngomelin gue.
Saraha Gusmaida
Girls,
Saraha Gusmaida
Girls?
Saraha Gusmaida
woiiiiiiiiiii
***
Dinda berulang kali mengangkat tangan setelah Pak Boris—dosen Biopsikologi—bertepuk tangan, meminta perhatian. Beberapa saat yang lalu, pria dengan rambut nyaris botak itu memancing kelas dengan sebuah pertanyaan terkait hubungan antara psikologi dan agama. Ada banyak pandangan. Namun, ada satu yang paling mencuri perhatian. Seorang mahasiswa bernama Ellen mengungkapkan bahwa psikologi bertentangan dengan agama.
"Begini, akan saya jelaskan." Ellen menyingkap helai rambutnya yang jatuh menutupi mata. "Menurut saya, agama adalah sebuah paham yang sudah lama bahkan ada sebelum abad Masehi. Hal itu menyebabkan banyak aturan yang tidak lagi selaras dengan masa kini, apalagi untuk agama-agama yang mencoba mengatur secara detail tingkah laku pemeluknya."
Semua memerhatikan.
"Nah, di lain sisi, agama datang dengan dogma sebagai dasar hukumnya. Dogma adalah sebuah ketetapan yang pemeluknya HARUS memercayainya," Ellen memberi intonasi tinggi pada kata harus. Kemudian, dia melanjutkan, "Agama ini teman-teman, banyak mengatur banyak hal yang tak akan pernah bisa dibuktikan secara ilmiah."
"Izin bicara!" Dinda memotong.
"Tidak, Dinda. Tunggu." Pak Boris menggeleng. Lelaki itu kembali memusatkan perhatiannya pada Ellen. "Lanjutkan, Ellen."
Ellen tersenyum dan mengangguk. "Sementara itu, Psikologi datang dengan berbasis kepada sains, yang mempelajari cara kerja otak kita dalam merespons impuls yang mempengaruhinya. Hal itu akan melibatkan cara berpikir dan juga tingkah laku, serta sistem kontrolnya, entah itu alam sadar dan tidak sadar. Karena berdasarkan sains, maka semua paham psikologi bisa didebat dan dipertanyakan sesuai dengan kaidah keilmuwannya. Perdebatan ini menghasilkan perkembangan yang dinamis dan tidak berhenti mati seperti agama ataupun dogma. Kesimpulan saya, psikologi dan agama nggak bisa bersatu karena jelasnya keduanya beda jauh."
Semua mengangguk-angguk. Beberapa ada yang tidak setuju, namun tak punya gagasan untuk menyanggah. Mereka diam, memberikan ruang hening di kelas itu.
"Izin bicara!" Dinda mengulang.
"Sudah selesai, Ellen?" tanya Pak Boris. "Karena sepertinya masih ada yang ingin berpendapat."
"Sudah, Pak," jawab Ellen. Gadis itu menoleh ke Dinda yang sudah siap berbicara sejak tadi. Pak Boris dan semua orang pun menunggu Dinda bicara.
"Mohon maaf, saya kurang sepakat dengan pernyataan Ellen barusan, Pak. Mengenai Agama tidak bisa dikaitkan dengan psikologi. Menurut saya, bisa. Saudara Ellen tadi berkata kalau agama itu paham lama dan nggak dinamis, kan? Padahal, Agama, dalam hal ini yang saya maksudkan adalah Islam, bukan sekadar dogma. Islam juga tentang ideologi, tatanan, dan mesin penggerak umatnya yang mengatur seluruh aspek hidup. Termasuk meng-counter ilmu duniawi. Islam cuma bersifat 'saklek', atau kita bisa katakan nggak bisa diganggu gugat lagi, kalau itu udah soal akidah, ibadah pokok, dan moralitas. Tapi, sebenarnya islam itu dinamis dalam hal adab, tata perilaku, dan lainnya. Makanya kita sering menemukan perbedaan pendapat antar ulama. Bahkan kita punya empat imam yang semuanya beda. Syafi'i, Hanafi, Hambali, dan Ahmad."
Dinda berhenti. Lalu kembali menjelaskan. "Bahasa Tuhan yang tertuang dalam Qur’an maupun hadist memang sering nggak ‘literal’, jadi dalam proses penginterpretasian pun muncul berbagai pendapat. Perbedaan itu juga dibolehkan, asal tidak melenceng dari dasar hukum islam yang saya jelaskan tadi. Akidah. Contohnya, Al-Quran nggak terang-terangan bilang narkoba itu haram. Tapi, narkoba sudah diputuskan haram karena merusak. Itu lah yang saya maksud tadi, psikologi sama seperti islam. Mereka dinamis."
Ellen mengangkat tangan lagi. "Ya, itu tadi saya bilang ... Agama islam memang mengatur segala aspek, tapi beberapa ada yang tidak bisa dibuktikan secara ilmiah. Contohnya hal paling biasa aja. Dalam islam jagat raya diciptakan oleh Allah, entah dengan cara bagaimana dan entah berapa lama tidak jelas. Buktinya? Nggak ada, kan? Kecuali hanya percaya aja. Terus, agama bilang kita berasal dari Adam dan Hawa, tapi kenapa sains mengatakan kita bermula dari monyet? Sains punya bukti. Agama nggak, kan? Terus soal kesurupan, di psikologi itu cuma stress aja. Dan ada teorinya. Ada buktinya."
"Loh, Al-Quran, as-sunnah itu buktinya. Itulah teorinya. Ada di surat Al-A'raf kalau Allah menjelaskan tentang—"
"Please, Dinda." Ellen memotong. "Ini kelas sains bukan kelas agama. Cobalah sanggah gue dengan sains dan ilmiah. Bukan sesuatu yang rohaniah."
Dinda menghela napas. Heran mengapa dia bisa satu kelas dengan perempuan itu. "Ada ungkapan yang dikemukakan oleh seorang muslim, yaitu jika kita mengenal diri kita, maka kita mengenal Allah. Dan, psikologi adalah ilmu memanusiakan manusia. Jadi, agama dan psikologi sama sekali tidak bertentangan."
Mendengar itu, Ellen menggeleng tak puas. "Itu sama sekali bukan sesuatu yang ilmiah yang gue maksud. Yang gue harapkan adalah sebuah penjelasan ilmiah."
"Memang seperti itulah, Ellen. Ada beberapa hal yang tidak akan bisa kita jangkau. Nggak bisa dijelaskan secara nalar. Kejadian Rasulullah isra mi'raj aja itu di luar nalar. Ada hal-hal yang nggak bisa dijelaskan. Ghaib. Sama seperti perasaan kebahagiaan, kesepian, kesedihan yang nggak bisa dilihat tapi bisa dirasakan. Manusia kodratnya butuh sesuatu yang bersifat batiniah. Dan, urusan percaya atau nggak, itu tergantung keimanan seseorang. Sengaja Allah jadikan seperti itu untuk menguji kita."
"Kayaknya ini udah mulai melenceng dari pembahasan, deh." Ellen memotong. "Kita tadi lagi bahas apakah agama dan psikologi itu bisa disatukan, kan?"
Dinda menghela napas. "Ini masih terkait kok, ini kan—"
"Pak Boris! Kelas kita udah abis loh, sejak lima menit yang lalu." seorang cowok bertampang songong, duduk di bangku paling belakang, tiba-tiba berteriak. Membuat beberapa orang tersenyum dan beberapa lainnya jengkel. Termasuk Dinda dan Ellen.
Dia adalah Rama. Lebih senior satu tahun dari Dinda. Tapi, beberapa kali mengambil kelas yang sama dengan Dinda lantaran mengoleksi nilai K di kartu kuliahnya.
"Ya, Rama? Sebelum kita tutup, saya mau denger pendapat kamu." Pak Boris menunjuk cowok itu. Rama, dengan ekspresi malas, rambut acak-acakan, dan jauh dari layak jika disebut sudah mandi, terlihat keberatan. "Sedikit saja, Rama."
Dinda menatap cowok itu, menunggu dengan khawatir. Entah kalimat macam apa yang akan keluar dari mulut cowok itu. Dinda pernah duduk di samping cowok itu, dan tidak akan pernah mau lagi. Sebab, saat itu, dia merasakan bau aneh seperti campuran antara rokok dan sesuatu yang lain, yang Dinda yakin itu adalah minuman keras.
"Yang lain aja, Pak." Rama kembali menolak. Membuat mahasiswa lain berbisik-bisik. Berani sekali dia menolak permintaan dosen.
Bahu Pak Boris mengedik. Dia beranjak ke mejanya, lalu menarik selembar kartu kuliah—yang bertuliskan Rama—dan menunjukkan gelagat akan merobeknya. Dengan cepat, Rama mengangkat tangan dan menegakkan badan, tanda akan memberi pendapat. Semua yang melihat tertawa kecil.
Pak Boris mengangguk. "Nah, coba. Kami mau dengar."
"Menurut saya, psikologi dan agama itu memang berbeda." Rama mengedikkan bahu dan menatap Pak Boris seolah berkata udah itu aja. Paham kalau dosen itu belum puas, Rama melipat tangan dan berbicara lagi, "Bener kata Ellen, Psikologi itu masih dedek gemes. Psikologi jauh lebih muda dari ilmu filsafat yang dari Yunani itu, jauh lebih muda dari ilmu kedokteran. Otomatis gagasan di psikologi masih bisa diperbaharui dan jatuhnya ya dinamis. Dan jelas teorinya." Rama menukas. Di bangku depan, Ellen tersenyum. Sementara Dinda duduk lemas mendengarnya. Seperti tumbuhan putri malu yang disentuh, yang membuatnya langsung layu. Ya. Sudah Dinda duga cowok itu akan berbicara seperti itu.
Dinda menelan ludah. Dinda sadar. Berdebat ilmu harus dengan ilmu. Ada beberapa orang yang langsung menerima jika didakwahi dengan menggunakan ayat-ayat suci. Namun, ada beberapa yang harus menggunakan pendekatan ilmiah. Ya, Dinda sadar dia harus menyanggah mereka dengan sebuah teori. Tetapi apa? Dia tidak cukup pandai. Dia memang tidak sebanding dengan Ellen. Dia hanya punya satu hal; Rasa sedih dan marah jika ada seseorang yang berbicara hal buruk tentang islam. Bahkan menuduh tidak relevan dengan dunia yang sekarang.
"Tapi, Pak, bagi saya," Rama mengangkat tangan lagi. "Psikologi dan agama memang sulit disatukan. Tapi bukan berarti mereka musuhan. Dua-duanya menyelesaikan masalah dengan level beda."
Pak Boris tersenyum. "Lanjutkan."
"Psikologi dan Agama jadi bertentangan kalo kita memahami keduanya secara parsial alias sepotong-sepotong. Misalnya, keyakinan Freud bahwa hanya desakan purbawi hasrat dan dorongan seksual-lah yang menentukan isi sepenuhnya kejiwaan manusia. Atau keyakinan dia yang lain, Freud berpendapat Tuhan hanyalah pantulan dari otoritas hukum dan orang tua kita sendiri."
"Tapi, keyakinan Freud ini perlu disatukan dengan paham dari Jung yang berbalik dengan keyakinan Freud. Jung berpandangan kalau isi kejiwaan manusia itu sudah ada dari sononya. Isi jiwa itulah yang jadi kekuatan motivasi manusia. Seperti kehendak akan Tuhan, kebajikan, kepahlawanan, kecintaan pada alam, kutub laki-perempuan, dan yah ... lain-lain. Jadi, kalau disatukan, kita bisa dapet kesimpulan bahwa beragama bukan cuma tuntutan hukum tapi juga kebutuhan batin seseorang."
"Nah, contoh lain. Pandangan Skinner yang bilang kalau manusia itu cuma hasil dari tindak otomatis yang berkaitan dengan rangsangan dan ganjaran. Itu juga perlu penyempurnaan, loh. Soalnya Skinner cuma melihat manusia dari sisi binatangnya aja. Memangnya kita lahir cuma karena orangtua kita terangsang buat nge-seks terus kelar?" Rama berhenti sebentar. Sebab, beberapa temannya tertawa. "Teori Skinner ini perlu dikombinasi lagi dengan teori Maslow yang ... yah, katakanlah lebih positif. Maslow ngeliat manusia berdasarkan sisi kesadaran dan pertimbangan, bukan cuma manusia yang bereaksi otomatis atas dasar rangsangan. Manusia juga punya pikiran untuk menimbang dengan siapa dia mau bikin dedek bayi. Ya kali, asal nemu cewek saya langsung terangsang dan ajak bikin anak? Saya juga punya tipe cewek lah."
Semua tertawa lagi. Dari depan terlihat Dinda yang menatap Rama dengan skeptis.
"Nah, jadi, Pak, temen-timin sekalian, di dunia psikologi ini, kalau kita cuma berpegang pada satu pandangan saja. Kita beresiko memahami psikologi itu secara parsial. Sama kayak agama yang dibahas si anu tadi ... siapa?" Rama menunjuk ke arah Dinda. Dia lupa nama gadis itu. Terdengar beberapa orang mengucapkan Dinda, namun, dengan gaya tak peduli, Rama kembali melanjutkan, "Ya, dia menjelaskan kalau sebenarnya islam itu dinamis. Namun, orang-orang yang memahami islam secara parsial pasti menganggap islam itu saklek."
"Jadi, kesimpulan saya adalah agama dan psikologi memang ilmu yang berbeda. Mereka, dua hal ini, menyelesaikan masalah dengan level beda. Psikologi ngelarin masalah pake eksperimen dan teori, sementara agama pake cara berdoa, ibadah, atau renungan. Dan bagi saya, itu nggak menutup kemungkinan kalau suatu hari nanti mereka bisa diselaraskan. Karena kalo kita memahami dua ilmu ini secara menyeluruh, kita akan temukan bahwa sebenarnya mereka berdua ini sejalan. Sekian dari saya."
Semua menatap takjub ke arah Rama. Bagaimana bisa cowok yang sering dapat nilai K itu bisa mengungkapkan banyak teori dengan gamblang. Bagaimana bisa dia yang jarang kuliah malah yang sudah menyelesaikan diskusi ini. Di depan, Pak Boris mengangguk dan tersenyum senang. Dia, sambil merentangkan tangan, meminta semua mahasiswanya bertepuk tangan untuk diskusi hari ini.
"Well done! Well done! Diskusi seperti ini yang saya mau." Pak Boris bertepuk tangan lagi. "Dan, perlu kalian tahu, sekarang ini sudah banyak riset-riset psikologi yang mengambil inspirasi dari pengalaman-pengalaman religius, kok. Misalnya meditasi. Itu sudah menjadi bahan riset psikologi dan neurosains. Mereka menemukan manfaat meditasi buat membantu pasien-pasien psikologis dengan kondisi kecemasan tinggi. Jadi, benar. agama dan psikologi itu beda, tapi bisa dikaitkan."
"Pak Boris, kelas kita udah berakhir sejak 15 menit lalu loh," Rama mengangkat tangan. Namun, kepalanya langsung disundul Justin, temannya yang duduk di samping. Pak Boris hanya tertawa dan mengisyaratkan kelas untuk bubar.
Semua beranjak keluar. Namun, Dinda masih diam di tempatnya. Merenungkan semua yang barusan terjadi. Harus Dinda akui, dia menyesal sudah berpikir buruk tentang cowok bernama Rama itu.
"Astaghfirullah ...."
Dinda menghela napas dan menoleh ke pintu. Dan, tanpa bisa dicegah, pandangannya bertemu dengan Rama.
**
A/n
ILYU balik lagi. Sorry kalo ada kesalahan sumber atau dalil dalam teori saya. Bisa kasih krisan. Aku masih belajar juga. Tapi yang sopan dan beradab ya.
Oya. Vote dan commentnya ya
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro