05.
Alex membawa Jena masuk ke mobilnya tanpa menunggu perempuan itu tenang.
Berhenti di Simpang Susun Semanggi adalah hal yang dilarang. Dan Alex tak mau berurusan dengan polisi.
“Sudah membaik?” Pemuda itu membuka suara setelah hampir 15 menit ia biarkan Jena menangis. Kendaraan ia lajukan tenang tak tentu arah. Bingung hendak membawa perempuan itu ke mana.
Jena menyeka sisa air mata di pipi lalu mengangguk. “Maaf, aku sedang bertengkar dengan suamiku dan ... ini kebiasaan burukku. Aku selalu pergi tanpa tujuan bila kami sedang bertengkar,” jawabnya.
“Dan senantiasa menangis seperti ini dan di tempat sepi seperti itu pula?” Alex berujar ketus.
Mendapat respon anggukan kepala, wajah Alex diselimuti amarah.
“Bagaimana kalau tante bertemu dengan orang jahat?” Suaranya sedikit tertahan.
Tak ada jawaban.
“Aku akan mengantarkan tante pulang,” ucap Alex kemudian.
Jena menggeleng.
“Tidak. Aku belum siap kembali ke rumah,” jawabnya dengan suara serak.
Alex mengernyit.
“Apa Tante tidak ingin berbicara dengan suami Tante dan segera menyelesaikan masalah?” Ia bertanya bingung.
“Dia tidak ada di rumah.”
“What? Apa dia juga punya kebiasaan pergi tanpa tujuan bila sedang bertengkar?” Alex mendesis kesal.
Jena mengangguk.
“Astaga, orang dewasa macam apa kalian?” rutuk Alex lirih. Ia memutar kemudi dan mengambil keputusan ke mana ia akan mengakhiri perjalanan ini.
***
“Ini indekosku, Tante. Masuklah.” Alex membukakan pintu sebuah apartemen mewah dan menyilakan Jena masuk.
Jena ternganga. Tatapannya menyapu bagian dalam ruangan yang luas dan dipenuhi furniture berkelas.
Sebuah apartemen mewah di Pacific Place Resident.
“Harga apartemen ini nyaris sekitar 40 milyar. Kau menyebut ini indekos? Apa otakmu sudah tidak waras?” ucapnya.
Akex tertawa. “Well, kalau begitu selamat datang di apartemenku,” ralatnya. Ia membimbing Jena untuk duduk di sofa.
“Aku akan membuatkan minuman hangat untuk tante.” Pemuda itu beranjak beranjak.
Jena kembali menatap sekelilingnya dengan takjub. Elegan, privat, dan nyaman. Seluruh furniture dan perabot di ruang tersebut terlihat mahal. Ruang bergaya aristokrat dengan sentuhan warna gold di mana-mana.
“Kau seorang pengangguran, tapi kau mengendarai mobil mewah dan tinggal di apartemen mewah pula. Kau bukan anak haram seorang pengusaha kaya, kan?” cetus Jena asal.
Alex yang muncul membawa secangkir teh hangat tertawa terbahak-bahak.
“Kenapa Tante bisa berpikir begitu?” Ia meletakkan cangkir tersebut di depan Jena, lalu duduk di sofa yang berada di seberangnya.
"Aku ingat, dulu ketika di Bali, kau menginap di Sheraton yang tarifnya hampir tiga juga per malam," ucapnya.
“Dan sekarang, lihatlah ini, kau hidup sendiri dengan bergelimang fasilitas yang lebih dari cukup. Ini mencurigakan sekali. Selain itu, Kalau kau anak baik-baik mestinya kau tinggal dengan keluargamu.” Jena berucap seraya mengarahkan kedua tangannya ke arah sekelilingnya.
Alex kembali tertawa.
“Tante terlau banyak menonton film,” ujarnya.
“Lantas, siapa kau?” Kali ini Jena menatap lurus ke arahnya.
Alex kembali tertawa.
“Tante amnesia? Apa kita harus berkenalan lagi?”
“Kau menyembunyikan identitasmu dariku?” Jena menyipitkan matanya dan menatap Alex dengan penuh selidik.
Lagi-lagi Alex terbahak.
“Astaga, tidak. Aku Alex, Tante. Rui Alexander. Apa aku harus mengumpulkan foto kopi KTP-ku pada tante?” Alex menyandarkan punggungnya dengan santai.
“Kau bukan simpanan tante-tante, kan?”
Dan tawa Alex pecah lagi. Ia tergelak, keras. "Ya Tuhan," desisnya. “Tapi ... bolehlah tante menjadikanku simpanan. Aku mau,” godanya.
Jena manyun. Bibirnya mengerut sebal.
“Keluargamu?” Tatapannya masih lurus ke arah Alex.
“Mereka di rumah.” Pemuda itu menjawab santai.
“Pekerjaan?”
“Apa ini wawancara?”
“Jawab saja.” Jena berjengit.
Alex tak berhenti tertawa.
“Well, keluargaku memang punya bisnis kecil-kecilan, Tante. Dan aku menerima semua fasilitas ini,” jawabnya kemudian.
“Bisnis kecil-kecilan? Kau pasti bercanda. Apartemen ini harganya milyaran. Dan SUV yang kau kendarai tadi, harganya juga milyaran. Pastinya bisnis keluargamu bukan bisnis kecil-kecilan,” desisnya.
Alex kembali terkekeh. Ia mengibaskan tangannya cuek.
“Ah, sudahlah, Tante, tak perlu membahas itu. Minumlah dulu teh hangatnya dan istirahatlah sejenak di sini. Kalau tante sudah siap, aku akan mengantarkan tante pulang.” Ia beranjak.
Jena tak menjawab.
“Apa tante ingin makan sesuatu lagi?” Alex berbalik dan menatap ke arahnya. Perempuan itu menggeleng.
“Baiklah, aku ingin ke kamar mandi dulu. Kalau tante butuh sesuatu, dapur ada di sebelah sana.” Alex menunjukkan arah dapur. Jena hanya mengerucutkan bibir, tak mengangguk.
***
Ketika Alex kembali dari kamar mandi, ia menyaksikan Jena telah tertidur pulas di sofa. Ia berniat membangunkannya agar perempuan itu bisa berbaring di ranjang dengan nyaman. Tapi, melihat sosoknya yang tertidur pulas, hal itu urung ia lakukan.
Alex memutuskan untuk mengambil selimut lalu menyelimutkannya ke tubuh Jena.
Sekian detik kemudian, Alex sempat terpaku di depan sosok itu, menatap wajahnya dengan saksama. Hatinya berdebar.
Perempuan itu tetap terlihat luar biasa cantik meski sedang tertidur pulas. Tanpa mampu ia bendung, jemarinya bergerak, membelai wajah Jena dengan lembut.
“Sebenarnya apa yang tante alami sehingga tante merasa kelelahan seperti ini?” gumamnya lirih. Ia menyapukan jemarinya di rahang Jena dengan perlahan sembari mengagumi betapa cantiknya dia.
Momen itu ambyar ketika Alex tersentak oleh ponsel dari dalam tas Jena yang berdering pelan.
***
Ketika Jena membuka mata, cahaya matahari pagi menerobos masuk melalui jendela-jendela ruang tengah dan ventilator. Ia mengerjapkan mata dan menikmati pemandangan tersebut beberapa saat.
“Tante sudah bangun?”
Suara itu membuat Jena tersentak. Ia beranjak bangun. Tampak Alex berdiri di depan wastafel, sedang mencuci tangan.
“Apa semalam aku ketiduran di sini?” tanya Jena.
Alex menoleh dan mengangguk.
“Astaga, kenapa kau tidak membangunkan aku?” Jena protes seraya merapikan rambut dengan jemari.
Alex mengangkat bahu. “Sudah. Aku sudah membangunkan tante beberapa kali tapi tante tetap tak mau bangun. Tante tidur begitu pulas, mendengkur lagi.”
“Hah.” Jena melotot. Kali ini Ia sibuk mengusap pipi dan bibirnya lalu membenahi pula letak bajunya.
“Oke, maafkan aku karena ketiduran di sini. Aku akan segera pulang.” Ia beranjak.
“Sebaiknya tante mandi dulu,” cegah Alex.
“Tidak perlu --- ”
“Tante terlihat berantakan seperti orang yang habis kena bencana. Lihat, rambut tante acak-acakan dan muka tante terlihat kusut. Apa tante mau pulang dengan keadaan seperti ini? Jorok sekali.” Pemuda itu bergidik jijik.
Jena mengerjapkan matanya.
“Aku sudah membelikan handuk, sabun, dan sikat gigi baru buat tante. Sudah kuletakkan di kamar mandi. Mandilah, agar tante merasa lebih segar,” ucap Alex lagi.
Jena terkesiap mendengar ucapannya. Ia menatap pemuda itu sekian detik tanpa berkedip. Dan Alex hanya meringis.
“Tante tidak perlu terharu seperti itu. Aku hanya tidak mau berbagi peralatan mandi dengan tante,” jawabnya.
Jena mencibir seraya beranjak. Melihat handuk, sabun dan sikat gigi baru yang terletak di kamar mandi, tiba-tiba saja Ia tersenyum.
Dan, entah kenapa, hatinya terharu.
***
“Aku sudah menyiapkan sarapan buat tante,” ucap Alex.
Jena menatap hidangan yang tertata rapi di meja makan dengan takjub.
“Kau membuatnya sendiri?” Ia terpana.
“Apa tante melihat ada orang lain di sini?” balas Alex sewot.
“Ya ... siapa tahu saja kau memesannya di restoran.”
“Aku sudah bilang pada tante, kan? Aku tinggal di sini sendirian. Aku memasak, bersih-bersih, mencuci, semua kulakukan sendiri.” Alex terdengar sewot. Ia duduk di salah satu kursi. “Jadi bagaimana menurut tante? Aku punya mobil mewah, tinggal di aparteman mewah, dan bisa dipastikan aku berasal dari keluarga yang berkecukupan. Tapi aku biasa mandiri. Memasak, mencuci, bersih-bersih, itu hal yang mudah bagiku. Aku juga suka makan dan nongkrong di warung pinggir jalan. Dan jangan kaget karena aku juga suka bepergian naik kendaraan umum daripada mobil mewahku. Berbanggalah karena tante bertemu sorang lelaki yang ter-aaamaaat istimewa.”
Bibir Jena mencibir. Ia duduk di kursi yang berada di seberang pemuda itu sembari menyahut, "Gombal."
Ia meraih sendok dan mulai mencicipi hidangan tersebut. Dan segera kedua matanya berbinar.
“Wow, ini lezat sekali,” ucapnya girang. Alex tersenyum bangga.
“Ini benar kau yang membuatnya sendiri?” Jena menatap pemuda itu tak percaya.
Alex kembali memutar matanya dengan kesal. "Iya," sahutnya.
Jena meringis. “Ya, maaf. Hanya saja, ini terlalu enak jika dibuat oleh seorang lelaki,” balasnya.
“Lelaki? Kemampuan memasak itu tak bisa dibedakan berdasarkan gender. Memangnya suami tante tidak pernah membuatkan makanan untuk tante?”
Jena mengangkat bahu, masih dengan makanan di mulutnya.
"Pernah. Waktu kami baru menikah. Dan setelah itu dia terlalu sibuk,” jawabnya santai. Kembali menyendok makanan ke mulutnya dan Ia terlihat senang sekali ketika menyantap makanan itu.
Alex urung melanjutkan pertanyaan. Ia hanya menatap perempuan di hadapannya yang asyik menikmati masakan buatannya.
“Apakah dulu Rachel sering datang kemari?” Jena segera mengalihkan topik pembicaraan.
“Mm, tidak juga. Hanya beberapa kali.” Alex tampak enggan menjawab. “Dan, aku tidak pernah memasak untuknya.” Ia melanjutkan.
Jena berhenti mengunyah makanan di mulutnya.
“Serius?” Ia menatap pemuda di depannya dengan keheranan.
Alex tersenyum.
“Biasa saja, Tante. Tante tidak perlu sekaget itu. Kami memang telah lama berpacaran dan memang benar kalau aku belum pernah memasak untuknya. Rachel lebih suka makan di restoran. Jadi kami sering Hang Out dan Hunting kuliner ke mana-mana. Dia jarang kemari karena kami lebih sering ketemu di rumahnya atau dia yang main ke rumahku. Maksudku, rumah Papa dan Mamaku. Well, aku anggap itu salah satu kelebihannya. Dia orang yang supel dan ramah. Dia pintar mengambil hati seluruh keluargaku, terutama Mamaku,” ujarnya lagi.
“Lantas, sebetulnya kau tinggal sendiri di sini untuk apa? Kau punya keluarga yang bahagia dan kekasih yang baik. Kau malah menyendiri di sini? Apa untuk bertemu wanita-wanita yang lain? Kau mengajak mereka kencan di sini?” Jena menduga-duga.
Alex mengeram. “Aku bukan playboy, Tante. Dan aku tidak pernah berkhianat.” Ia menatap Jena dalam.
“Aku hanya merasa bahwa kadang-kadang aku ingin menikmati hidupku sendiri. Tidur sepuasnya, memasak sendiri makanan yang kusuka, menata ruang apartemen sesuai seleraku, membaca buku dengan tenang, dan ... menikmati hidup,” belanya.
Jena manggut-manggut.
“Aku bisa melihatnya bahwa kau sangat menikmati hidupmu,” desisnya.
“Tentu, hidup harus dinikmati,” jawab Alex ceria.
“Wah, aku kenyang sekali. Makananmu benar-benar enak.”
“Terima kasih.” Alex tersenyum dengan bangga.
“Biar aku yang cuci piring,” ucapnya kemudian seraya beranjak mengambil piring-piring kotor.
“Akan kubantu.” Jena ikut beranjak dan mengikuti Alex, jadilah mereka mencuci piring berdua. Alex yang membasuh dengan spon, Jena yang membilas dan meletakkannya ke rak piring.
“Kelak ketika kau menikah, istrimu pasti begitu bangga padamu. Di luar apakah kau playboy atau bukan, kau pasti akan jadi suami yang baik. Kau pintar memasak, kau pintar mengurus rumah, kau pandai berpetualang, kau pintar memijit, kau pintar mengurus orang sakit, dan kau ---”
“Apakah suami tante bukan orang yang baik?” potong Alex.
“Tentu saja baik. Kalau tidak baik, aku tidak akan menikah dengannya.” Jena asyik membilas piring tanpa menyadari bahwa Alex tengah menatapnya dengan saksama.
“Tante, aku minta maaf. Aku bohong pada tante.” Pemuda itu bersuara.
Jena mendongak dan menatap pemuda di sampingnya dengan keheranan.
“Kenapa?”
“Semalam aku tidak pernah membangunkan tante. Aku membiarkan tante tertidur pulas di sofa. Tante terlihat sangat kelelahan sehingga aku tak tega untuk membangunkan tante.”
“Lalu?”
Alex tak segera menjawab. Keduanya matanya menyiratkan kebingungan. Seolah ingin mengatakan sesuatu, tapi urung.
“Sudahlah, tak apa-apa. Kau sudah menolongku untuk kesekian kalinya.” Jena mengibaskan tangannya.
“Dan ... semalam Bibi Yaya telpon ke sini.”
Kalimat Alex membuat Jena terhenyak. “Dia tahu nomor telponmu?” Mereka bersitatap.
“Tidak. Maksudku, dia telpon ke ponsel tante. Dan, aku mengangkatnya. Maaf.”
“Dan ... ?”
“Dan aku menyuruhnya untuk tidak perlu khawatir karena tante ada bersamaku,” jawab Alex.
Jena tertegun sesaat, namun akhirnya ia manggut-manggut.
“Aku pasti telah membuatnya khawatir. Kasihan sekali dia, dia sudah seperti keluarga bagiku,” desisnya.
“Dia ... juga menceritakan padaku tentang kepergian suami tante ke Pittsburgh bersaman Alea,” ucap Alex, ragu.
Jena merasakan punggungnya kaku.
“Kuharap tante tidak marah pada Bi Yaya. Aku yang mamaksanya untuk menceritakan tentang tante karena aku khawatir setelah apa yang terjadi semalam.” Alex memberikan pembelaan.
Keduanya kembali berpandangan.
“Aku memang tidak berhak mencampuri urusan keluarga tante. Tapi kalau tante membutuhkan teman untuk berbagi, aku siap mendengarkan,” ucap Alex lagi.
Perlahan Jena tersenyum kaku.
“Alex, kau sudah banyak membantu, entah kau menyadarinya atau tidak. Tapi untuk saat ini, aku tak bisa bercerita banyak padamu,” jawabnya pelan.
Alex mengangguk.
“Oke, tak masalah. Jangan takut bercerita jika suatu saat nanti tante ingin berbagi keluh kesah.”
Jena tersenyum. “Oke,” jawabnya.
Setelah acara cuci piring bersama, Alex mengajak Jena ke sebuah ruangan di samping ruang tengah.
Dan perempuan itu ternganga karena yang Alex tunjukkan adalah sebuah perpustakaan pribadi. Ada ratusan --- atau mungkin ribuan buku --- di sana.
Menyaksikan antusiasme di wajah Jena, Alex tersenyum bangga. “Bukankah aku sudah bilang bahwa kita memiliki banyak kesamaan. Salah satunya, buku. Semua koleksi bukuku ada di sini. Tante tinggal pilih ingin membaca buku apa. Sastra, sejarah, politik, novel, apa pun.”
“Novel ada di sebelah mana?”
Alex menunjukkan rak buku di sebelah kanan. Sekian detik kemudian Jena sudah pindah tempat dari sebelah Alex ke barisan rak buku yang dipenuhi novel petualangan. Dan mata beningnya kembali berbinar-binar ceria.
Menyaksikan ekspresi perempuan itu, hati Alex berdesir.
Dan ia yakin pada satu hal; Wanita itu telah menjerat hatinya.
***
Bersambung...
Ayo, Lex... Rebut aja si Tante 😁
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro