Bab 97 Andra Lagi! Andra Lagi!
“Gilaaa!!! Ganteng banget!”
Seorang pelanggan tampak heboh memerhatikan sebuah foto di layar ponselnya.
“Gantengan aslinya ketimbang yang ada di sana!” balas temannya yang malah ikut-ikutan mengintip foto itu.
“Kangen masakannya Chef Andraaa!”
Randu mendelik tajam pada si pembicara saat hendak menyajikan makanan di meja mereka. “Masakan dari Chef yang sekarang emang gak enak?” sinisnya.
“Bukannya gak enak, tapi kayak … ada sesuatu yang hilang gitu loh.” Si pelanggan menjawab enteng tanpa menyadari dengan siapa ia tengah bicara.
Raut wajah Randu langsung berubah kusut. “Gak usah makan kalau gak suka. Masak sendiri aja sana!” Ia dengan kasar menarik paksa piring yang sudah ia sajikan tadi. Menaruhnya kembali di atas nampan dan berjalan ke balik pintu dapur tanpa memedulikan tatapan sinis para pelanggan tadi..
Restoran Ampalove malam ini bukan hanya diramaikan oleh keberadaan para pengunjung, tapi juga para karyawan Pulau Ampalove yang tengah berkumpul di salah satu sudut restoran. Perlahan tapi pasti, situasi yang awalnya memburuk di pulau ini teratasi. Para karyawan yang memilih bertahan bekerja di sini dengan kebijakan baru yang dibuat Pak Satya, lambat laun mulai bisa beradaptasi. Tak terkecuali dengan putusnya Randu dan Citra beberapa hari yang lalu.
Mahira melirik Citra yang duduk di sampingnya setelah melihat Randu pergi dari kejauhan. “Randu jadi pemarah gitu, Cit. Padahal dia itu orangnya menyenangkan loh! Ngapain pake putus segala sih?” dumelnya.
Maunya sih langsung menegur Randu atas sikapnya barusan pada pelanggan, tapi ia urung melakukannya. Bukan solusi yang tepat menegur seseorang di depan umum, kan?
Nanti! Mahira akan bicara baik-baik dengan Randu saat situasi lelaki itu sedang baik-baik saja.
Citra membuang napas kasar. “Terus aku harus gimana? Aku yang resign dari tempat ini atau Mas Randu? Aku gak mau kehilangan pekerjaanku! Mas Randu juga gak mau resign kayak Chef Andra.”
“Loh? Kok jadi bahas Chef Andra?”
Citra sedang malas bicara banyak. Ia memilih menggeleng dan mencoba menyantap makanan di piring yang sedari tadi tak kunjung berkurang jumlahnya. Susah sekali menelan satu sendok makan sekali pun, apalagi ketika ingat kalau yang membuat masakan ini adalah Randu. Perut Citra lapar, tapi mulutnya menolak keras melahap makanan banyak-banyak seperti biasanya.
“Mbak sih ….” Citra tiba-tiba terisak. Ia melirik Mahira sebentar dengan wajah kusut. “Kenapa juga Mbak setuju sama kebijakan barunya Pak Satya? Gak bisa apa minta beliau batalin kebijakan itu?” Ia malah merengek. Kebijakan baru yang dibuat ini sudah merugikannya. Bukan hanya dari segi fisik, tapi juga mental. Memang apa salahnya sih pacaran sama rekan kerja?
“Kebijakan Pak Satya dibuat karena tujuan yang jelas, Cit. Dan–“
“Dan Mbak setuju gitu? Alasannya apa coba? Mbak sama Chef Andra sampai harus LDR-an kayak gini loh! Mbak seneng kayak gini?” sudutnya tanpa ampun.
Mahira mengecap salivanya. “Demi kepentingan tempat kita bekerja, Cit. Pak Satya gak mau kalau karyawan di sini lebih banyak membuang waktunya untuk pacaran ketimbang kerja. Pacaran dengan rekan kerja itu–“
“Aku sama Mas Randu kan gak kayak gitu! Aku pacaran sama dia kalau kerjaan kami udah beres, Mbak.” Citra membela diri cepat-cepat. Tak mau disebut tak profesional saat bekerja meski dengan status pacaran dengan Randu.
“Aku tahu, Cit. Tapi … Pak Satya bukan cuma lihat hal itu aja. Bukan cuma fokus sama kamu dan Randu doang. Yang pacaran di sini tuh dulu banyak banget! Dan gak jarang dari mereka suka ngumpet-ngumpet pacaran di jam kerja.”
“Yah … harusnya mereka aja yang ditegur dong! Jangan langsung buat kebijakan dulu kayak gini! Pecat aja mereka yang emang lalai kerja. Kenapa juga harus bikin aturan yang memberatkan sebagaian orang yang gak bersalah coba?”
Mahira mau mendebat lagi, tapi ia tak cukup mampu menatap Citra yang sudah berurai air mata. Belum lagi suasana ramai yang di restoran pun terasa tak nyaman jika digunakan menjadi ajang debat seperti ini.
“Baik. Aku mengaku salah karena lalai mengurusi masalah ini dengan baik, Cit. Maafin Mbak, yah?”
“Mbak tuh yang harusnya dipecat karena Mbak terlalu sibuk pacaran sama Chef Andra! ke mana-mana berdua aja terus. Kalau Mbak sadar sejak awal kesalahan Mbak itu apa, aturan baru kayak gini gak akan pernah Pak Satya buat. Aku yakin kok kalau aturan ini bukan cuma buat karyawan yang udah terlanjur ngundurin diri dari sini, tapi juga buat Mbak Mahira dan Chef Andra. Untung aja Chef Andra yang secara sukarela resign, jadinya Mbak selamat bisa tetep kerja disini.”
Mahira mematung kelu. Tertohok oleh perkataan Citra yang cukup membuat hatinya teriris. Belum lagi akal sehatnya juga tak menampik perkataan itu. Terlampau masuk akal untuk diterima. Meski Mahira tahu keputusan Andra keluar dari Pulau Ampalove karena alasan lain.
“Eh! Lihat! Lihat! Katanya nanti Chef Andra mau syuting bareng penyanyi dangdut Ayu Kinasih!” Seorang karyawan tampak heboh.
“Siapa sih Ayu Kinasih? Emangnya ada penyanyi dangdut namanya itu?” Yang lain ikut menyahut tak kalah heboh.
“Oh … aku tahu nih! Dia pemenang Akademi RYTV itu, kan? Kemarin sempat lihat beritanya waktu nongkrong di pasar Palapalove.”
“Yang katanya ngefans banget sama Chef Andra, yah? Fans ketemu idolanya dong!”
“Waaahhh!!! Beruntung banget nih bisa ketemu idolanya!”
“Beruntung kita dong pernah ketemu Chef Andra tiap hari!”
“Beruntung Mbak Mahira dong karena bisa diajak pacaran sama Chef Andra!”
Beberapa pasang mata kini beralih memerhatikan Mahira. Bukannya risi, tapi Mahira malah membalas tatapan mereka dengan tatapan sengitnya.
“Saya bukan pacar Chef Andra,” tegas Mahira.
Para karyawan hanya saling berbisik, tertawa, bahkan ada yang tampak menggelengkan kepala. Tak percaya oleh perkataan Mahira barusan, tapi tak berani bersuara lagi. Mereka tahu kalau Mahira pasti akan konsisten mengelak tuduhan ini dengan jawaban tersebut.
“Masalahnya bukan soal Mbak Mahira ini pacar atau bukannya Chef Andra, tapi fakta kalau Chef Andra naksir berat sama Mbak Mahira itu yang bikin Mbak harusnya merasa beruntung. Dari sekian banyak cewek di Pulau Ampalove ini, cuma Mbak Mahira yang berani nolak cintanya dia.” Seorang karyawan berpendapat cukup detail.
“Suka-suka saya dong!” Mahira sewot. “Yang nolak kan saya, bukan kalian. Emang ngerugiin bukan kalian?”
“Ah, ngobrol sama Mbak Mahira kok jadi gak nyambung gini! Kita bukan mempermasalahkan hal itu, kita itu cuma bilang kalau Mbak Mahira itu beruntung banget—”
“Saya gak merasa beruntung dalam hal apapun, apalagi yang disangkutpautkan dengan Andra. Jadi, berhenti nyeret-nyeret nama saya dan Andra lagi. Kalian bisa membicarakan soal Andra, tapi jangan sangkutpautkan dengan saya.” Mahira membalas lagi dengan sengit sebelum kemudian bangkit dari kursinya segera. Pergi dari Restoran Ampalove dengan perasaan jengkel.
Entah sejak Citra menangis dan menuduhnya yang tidak-tidak, sampai gunjingan para karyawan tentangnya. Mahira tak suka! Jengkel sekali rasanya! Kalau ada Andra di depannya sekarang, Mahira pasti akan langsung mendamprat lelaki itu.
Tapi, ada dan tidaknya lelaki itu rupanya tetap menyisakan masalah bagi Mahira. Ia masih saja disangkutpautkan dengan Andra yang bahkan sudah tak lagi bekerja di tempat ini. Macam hantu gentayangan yang punya dendam kesumat saja. Mahira sampai kehabisan akal bagaimana caranya mengatasi permasalahan yang satu ini.
“Hira! Mahira!” panggil seseorang dari kejauhan.
Ketika Mahira berbalik badan, ia dapati Yogi tengah berlari ke arahnya dengan masih mengenakan apron dan topi koki lengkap.
“Ada apa?” Malas-malas Mahira menanggapi. Berharap lelaki itu tak membuat suasana hatinya makin buruk.
“Kamu tahu gak kalau Andra—”
“Andra lagi! Andra lagi!” pekik Mahira dengan suara lantang. “Bisa gak sih sehari aja kalian gak nyebut nama cowok itu di sini?”
Yogi termangu beberapa saat lamanya. “Tapi … aku emang mau bicarain hal penting soal dia, Ra.”
Mahira berkaca pinggang. Siap menyergap Yogi dengan sumpah serapah kalau sampai pembicaraan lelaki itu memang tak penting. Awas saja!
“Apa emangnya? Huh!” sinis Mahira.
Yogi tampak semringah diberikan kesempatan untuk melanjutkan bicaranya. “Jadi gini, Ra. Kamu tahu, gak?” Yogi sampai mendekat ke arah Mahira, memangkas jarak di antara keduanya. “Kalau kakaknya si Ayu Kinasih itu dulu adalah mantan pacar Andra sebelum jadian sama Zahra. Namanya—”
Mahira langsung balik badan tepat sebelum Yogi menuntaskan kalimatnya. Berjalan sangat cepat meski Yogi berulang kali memanggil nama perempuan itu.
Sampai di Ruang Kerja Ampa, Mahira bahkan langsung menutup pintu ruang kerjanya tanpa peduli tatapan Pak Satya yang melihat kedatangannya. Ia sengaja tak menyapa lelaki tua yang sempat diperbincangkan oleh Citra itu tadi.
Mahira berencana ingin menenangkan diri dengan fokus bekerja. Laptop di depannya sudah menyala. Sayangnya, tak ada hal penting yang ia lakukan selain menggigiti ujung jari telunjuknya. Perlahan, layar yang tadinya menampilkan layar kosong, berubah menjadi layar penuh foto-foto sosok Andra. Mahira mengintip sekilas ke arah pintu yang tertutup, sebelum kemudian kembali menatap layar laptop yang sudah menampilkan wajah-wajah Andra.
“Ayu Kinasih. Ayu Kinasih. Siapa sih kamu?” tanya Mahira yang menggerakkan bola matanya untuk menatap pintu dan layar laptop secara bergantian. Gesit sekali.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro