Bab 94 Menyadari Perasaan Rindu
“Pak Rangga nguntit saya?”
Rangga menarik dua ujung bibirnya mendapatkan tuduhan demikian dari Mahira. “Sepertinya Bu Mahira mengira kalaus saya ini Andra?”
Mahira menggeleng mantap. “Bukan! Bukan! Maksud saya,” ia tergagap, “saya tidak bermaksud untuk—“
“Saya mengerti, Bu Mahira.” Rangga belum beranjak dari ambang pintu. “Boleh saya masuk?” pintanya.
“Oh!” Mahira tampak bingung. “Silakan, Pak Rangga. Silakan.”
Mahira jadi gugup dan malu sendiri karena sudah melayangkan tuduhan kurang ajar begitu pada Rangga. Padahal kan Rangga bukan Andra yang biasa ia tegur, kritik, bahkan hina. Rangga pasti tersinggung karena tuduhannya tadi. Ya ampun … malu sekali Mahira. Bisa-bisanya ia tak bisa menjaga ucapannya itu di depan orang asing.
“Sudah satu minggu yah Chef Andra pergi?” tanya Rangga yang sudah mengambil posisi duduk di salah satu sofa. “Rasanya ada yang berbeda dari pulau ini ketimbang dengan para karyawan yang mengundurkan diri sebelumnya.”
Nyaman tak nyaman Mahira tetap mendengarkan Rangga. Maunya sih ia tak membahas laki-laki itu lagi. Dengan tidak diganggu olehnya, dengan tidak adanya keberadaan Andra, Mahira benar-benar merasa menjadi orang baru di tempat ini. Bekerja jadi lebih fokus sampai terkadang lupa waktu. Meski memang ia juga merasa ada yang berbeda setelah kepergiannya.
“Bedanya memang apa, Pak Rangga?” Mahira menanggapi enteng. “Bagaimana dengan pekerjaan Pak Rangga di sini? Sepertinya masih ada beberapa cottage yang belum selesai.”
“Beda saja. Saya jadi lebih sering melihat Bu Mahira sendirian ketimbang dulu saat selalu bersama Andra dan itu hal aneh di mata saya.” Rangga tampak tak peduli akan pertanyaan terakhir Mahira. Ia lebih senang menanggapi balasan pertanyaan Mahira yang pertama. “Apa Bu Mahira tidak merasa kesepian atau merasa ada kekosongan karena ketidakhadiran Chef Andra?”
“Enggak tuh!” Mahira menjawab tak acuh. Bersemangat sekali. Jangan sampai Rangga berpikir yang macam-macam kalau dia tak bisa menjawab pertanyaan yang mudah ini. “Saya ngerasa biasa aja, malah lebih seneng sekarang sih setelah Chef Andra gak ada. Saya jadi gak ada yang ganggu lagi dan bisa fokus kerja dengan baik.”
“Sampai Anda tak sadar kapan waktunya sarapan, makan siang, dan bahkan makan malam?” serang Rangga.
“Saya makan dengan baik dan saya baik-baik saja, Pak Rangga.”
Andra menyemai senyum miring. “Semakin baik-baik saja, berarti Bu Mahira tidak baik-baik saja.”
“Maksud Pak Rangga apa?” sinis Mahira. Ia merasa percakapannya dengan Rangga jadi tak menyenangkan sejak mulai membicarakan Andra. Padahal ia sudah berusaha mengalihkan topik pembicaraan tadi, tapi lelaki itu tampaknya tak terpancing sama sekali. “Kalau tidak ada hal penting yang ingin Pak Rangga bicarakan di sini, lebih baik Pak Rangga keluar saja.”
Rangga menganggukkan kepala seolah mengerti. “Maaf jika saya sudah lancang pada Bu Mahira. Kedatangan saya kemari hanya ingin mengajak Bu Mahira makan malam di restoran. Jika Bu Mahira keberatan, saya akan pergi.”
Rangga membalas bentakan Mahira dengan tetap bersikap tenang. Hal itu cukup ampuh membuat Mahira jadi merasa bersalah. Apalagi ketika Rangga benar-benar memutuskan pergi, tanpa mengatakan apapun lagi padanya. Mahira benar-benar jadi tak nyaman meski ia merasa sikapnya ini memang normal-normal saja. Tapi reaksi Rangga begitu berbeda dengan Andra.
Ya Tuhan! Kenapa jadi Andra lagi dan Andra lagi sih yang jadi Mahira ingat?
Buru-buru Mahira bangkit dari duduknya, keluar dari ruang kerjanya sambil memijit kepalanya. Seperti ada yang salah. Mengingat Andra yang sudah tak ada di sini jelas keliru. Terlebih sampai membandingkannya dengan Rangga. Apa hubungannya coba?
“Pak Rangga! Tunggu!”
Mahira berlari menyusul Rangga yang masih dapat terlihat olehnya dari kejauhan. Berharap dengan cara ini ia bisa melupakan segala hal tentang Andra.
***
Mahira termangu memerhatikan Randu yang tampak sibuk mengaduk sesuatu di wajan. Tangannya begitu cekatan menggoyangkan wajan yang sesekali menyembulkan api. Suara desisannya menyeret Mahira yang lagi-lagi harus mengingat Andra. Sosok Randu yang tadinya ada di depan matanya pun kini malah berubah sebagai Andra.
Mahira mengucek matanya. Jengkel sekali ketika pandangannya yang tadi sempat kabur ternyata hanya berupa bayangannya saja. Anehnya, yang terbayang itu malah sosok Andra.
“Maaf, Hira. Kamu harus nungguin dulu makanannya siap. Tak masalah, kan?” tanya Randu disela-sela kesibukannya.
“Gak apa-apa. Citra udah makan malam juga? Kalau belum, suruh gabung aja di sini.” Mahira melirik Rangga yang juga ada di ruangan itu, tampak tengah memerhatikan Randu tengah menyiapkan nasi goreng untuk mereka karena menu yang ada di restoran sudah habis. “Kita bisa makan bareng.”
“Dia udah kok tadi. Tinggal kalian aja kayaknya yang belum makan. Gak masalah nih nasi gorengnya gak pake toping aneh-aneh? Maksudnya, cuma pake telor doang?”
“Gak apa-apa, Ran.” Mahira tak mau protes. Sudah untung Randu mau menyiapkan makanan untuknya di jam tengah malam begini.
Ya! Mahira baru sadar kalau waktu sudah menuju tengah malam yang artinya dia lagi-lagi lupa jadwal makannya.
“Karena akhir-akhir ini kayaknya kamu sering telat makan, gimana kalau aku suruh karyawan buat nganterin makanannya langsung ke ruang kerjamu, Hira?” Randu sejenak menarik napas. “Seperti yang sering Andra lakukan dulu.”
Lagi dan lagi. Kenapa nama Andra malah disebut lagi di sini? Tak adakah hal yang bisa tidak disangkutpautkan dengan Andra? Tolong! Mahira bosan rasanya sampai mau muntah.
“Gak perlu, Ran.” Mahira menjawab enteng.
“Seriusan? Soalnya—“
“Gak perlu!” Mahira menegaskan dengan nada sedikit meninggi. “Kalau kamu kerepotan nyiapain makanan terpisah untukku, kamu gak perlu bersedia ngelakuin hal itu. Salahku sendiri kok makan di jadwal yang gak tepat, kan?”
Randu jadi tak enak hati mendengar jawaban Mahira barusan. Ia bisa menangkap gurat tak nyaman dari tatapannya ketika melihat nasi goreng yang sudah ia buat tersaji.
“Terima kasih, Ran. Lain kali, kamu gak perlu khawatir soal jadwal makanku. Nanti biar aku saja yang banyakin stok makanan ringan di kantor.” Mahira sampai membuat keputusan demikian demi menegaskan kalau jawabannya tadi memang serius. Ia baik-baik saja!
Mahira mengambil piring berisi nasi goreng dan berjalan ke arah pintu belakang dapur. Namun ketika ia hendak menyentuh gagang pintunya, Mahira malah diam cukup lama. Randu memerhatikan dari kejauhan dengan raut wajah bingung. Sampai tiba-tiba Mahira malah balik badan dan berjalan ke area depan restoran. Batal menuju area belakang restoran.
“Kenapa dia jadi aneh begitu?” Randu bertanya-tanya. “Apa cuma perasaan aku aja? Apa karena gak ada lagi yang merhatiin jadwal makannya kayak si Andra? Apa aku perlu diam-diam menyuruh karyawan mengantar makanan buat dia?”
Randu jadi bingung sendiri padahal ini bukan urusannya seperti yang Mahira katakan tadi. Tapi tetap saja ini begitu mengganggu.
Citra muncul tiba-tiba dari arah pintu depan area restoran. Tampak tergesa-gesa menghampiri Randu.
“Kok Mbak Mahira sama si Rangga itu sih? Dia selingkuh dari Chef Andra?” sergap Citra.
Randu termangu kaget. “Kamu ngomong apa sih? Jangan aneh-aneh. Mereka gak lagi selingkuh, tapi makan malam.”
“Berduaan gitu maksudnya apa?”
“Udah deh, Cit. Ngapain pake curigaan begini segala. Lagian apa alasannya Mahira selingkuh sama si Rangga? Emangnya dia pacar siapa sampe kamu ngiranya selingkuh?”
“Chef Andra lah! Emang siapa lagi?”
Randu membung napas kasar. “Mereka gak pacaran, Citra. Kamu kan tahu sendiri kalau Mahira nolak Andra terus.”
Bibir Citra mengerucut tajam. Ia tak suka mendengar fakta ini. “Aku tetap percaya kalau mereka pacaran dan lagi LDR. Habis tiap malem itu Mbak Mahira sering mengigau nyebut nama Chef Andra. Itu artinya apa coba? Mbak Mahira sama Chef Andra pasti pacaran, tapi diam-diam.”
Mata Randu membeliak sempurna. “Kamu serius?”
Citra mengangguk mantap. Meyakinkan sekali!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro