Bab 8 Kebahagiaan Semu
Sejak Mahira memutuskan pergi, Zahra dapat merasakan suasana yang berbeda di rumahnya. Ibu jadi pendiam, Bapak apalagi. Zahra bukannya tak sadar diri, ia hanya sedang berusaha untuk memperbaiki kesalahpahaman yang terjadi.
Kalau memang orang tuanya mau mencoba memahaminya, bukan hanya pada Mahira saja.
Memangnya hanya Mahira saja yang terluka di sini?
Zahra juga terluka!
Setelah ia berusaha membahagiakan orang tuanya dengan akhirnya menikah, bukan sambutan hangat yang ternyata ia dapatkan. Ibu dan Bapak tak perlu lagi risau ketika ada yang berkata:
“Kenapa Zahra belum menikah juga?”
“Udah mau kepala tiga kok belum menikah?”
“Awas jadi perawan tua!”
“Kalau terlalu tua nikahnya nanti, bisa susah punya anak loh! Tuh kayak si artis itu tuh yang nikahnya pas mau kepala empat.”
Siapa yang tak terbebani ditanyai demikian? Bukan hanya oleh sanak saudara yang ketemunya cuma setahun sekali aja. Tapi juga oleh tetangga yang nyaris tak bosan mengangkat topik yang sama.
“Kapan Zahra menikah?”
“Nanti dilangkahi adiknya loh! Pamali! Ayo buruan nikah!”
“Jangan pacaran lama-lama! Dosa!”
“Awas rahimnya kering nanti!”
Sungguh. Sesak sekali hati Zahra. Apalagi Andra tak kunjung memberikannya kepastian yang jelas. Banting tulang bekerja sebagai Chef di sebuah Restoran, padahal dia terlahir dari keluarga kaya raya, ternyata tak menjamin seorang lelaki pantas menyandang sebagai calon suami idamannya. Andra terlalu tak acuh akan beratnya beban Zahra sebagai perempuan berkepala tiga.
“Nikah itu bukan ajang balapan, Zahra. Kita harus benar-benar siap secara fisik dan mental. Dan meskipun aku mampu menafkahimu, tapi mentalku masih belum siap ke arah sana. Santai aja! Hmm? Aku tak akan meninggalkanmu kok! Mau kamu umur tiga puluh tahun atau lima puluh tahun sekali pun, kita akan tetap menikah.”
Ucapan manis Andra hanya berlaku beberapa saat. Zahra tak kuat lagi. Ia tak bisa bersikap bodo amat terhadap omongan orang lain padanya yang serupa cemoohan dan hinaan. Apalagi ketika Ibu dan Bapak juga ikut-ikutan menanyai.
“Kapan Andra mau ngelamar?”
“Kapan kalian mau nikah?”
Tapi, apa yang terjadi sekarang? Setelah Zahra berhasil mewujudkan ekspektasi orang-orang di sekitarnya, kenapa justru hal itu seolah tak cukup memuaskan? Kenapa keputusannya ini seolah sebuah kesalahan?
“Kamu yakin kita akan pergi sekarang?”
Pertanyaan Galang membuyarkan lamunan Zahra. Ia segera menguncir rambut sepinggangnya sambil mengangguk, menatap pantulan Galang dari balik cermin.
“Iya. Lebih cepat lebih baik, kan?” Zahra sebisa mungkin menyemai senyum lebar. “Aku pengen cepet-cepet tinggal di rumah kita sendiri. Karena di sini sebagian pekerjaan rumah malah dikerjain sama Ibu.”
“Baiklah. Tapi kita ke rumah orang tuaku dulu, yah?”
Zahra mengangguk malas. “Setelah itu langsung ke rumah kita, kan?” Zahra ingin memastikan.
Galang melangkah menghampiri. Dua tangannya melingkar dari arah pundak sampai dagunya tepat berada di ubun-ubun Zahra. Satu kecupan singkat terukir di sana.
“Iya. Kita langsung ke rumah kita setelah ketemu orang tuaku. Tapi, aku takut kalau kamu masih mau kangen-kangenan sama Ibu dan Bapak, Ra. Aku gak masalah kok harus bolak-balik Jakarta-Bandung. Serius!”
Zahra menggeleng. “Enggak, Galang. Kita harus mulai tinggal di rumah kita sendiri. Biar status suami-istrinya makin kerasa.”
Tadinya Zahra dan Galang berencana tinggal di rumah ini selama seminggu setelah pernikahan. Bermaksud untuk mendekatkan Galang sebagai suami Zahra, bukan kekasih Mahira. Tapi, rencana itu harus Zahra batalkan mengingat ia sudah tak kuat lagi harus menerima sikap tak acuh kedua orang tuanya.
Lihat saja! Kepergiannya pun bahkan tak mendapatkan penolakan. Ibu dan Bapak tampak begitu rela melepaskannya pergi, diboyong oleh Galang. Senyuman yang terukir di wajah Ibu dan Bapak tak terasa tulus. Malah seperti orang yang senang melihat kepergian mereka.
Sepanjang perjalanan menuju Jakarta, Zahra malas sekali bicara. Ia lebih sering mendengarkan Galang bercerita ini dan itu. Dari mulai proyek di kantor, rancangan masa depan mereka, sampai kapan mereka bisa melakukan honeymoon yang tak bisa dilaksanakan sekarang.
Pagi itu mereka tiba di sebuah perumahan yang ada di Jakarta. Mobil berhenti di depan salah satu rumah bertingkat dua. Itu yang membuat Zahra heran. Karena yang ia tahu, rumah Galang ada di samping rumah ini.
“Kok kita berhenti di sini sih, Lang?” tanya Zahra yang masih enggan melepas seatbeltnya. Ragu.
“Kita udah sampai.” Galang tersenyum semringah. Sangat lebar.
“Di rumah kita.”
“Hah? Rumah kita?” Zahra pasti salah dengar. “Rumah kamu kan yang di depan itu, Lang!”
Galang melirik rumahnya sebentar. “Iya. Itu emang rumah aku. Lebih tepatnya, rumah Mamah sama Papah dan Nando. Kalau ini,” Galang menunjuk rumah asing itu, “rumah untuk kita. Rumah kita sendiri!”
Zahra harusnya senang. Siapa yang tak senang selepas menikah sudah langsung punya rumah sendiri?
Ketika pasangan muda seperti mereka harus tinggal di kontrakan, mati-matian membayar cicilah KPR yang lebih dari setengah gaji, Zahra harusnya senang karena ternyata diam-diam Galang sudah memiliki rumah sendiri.
“Kamu kapan belinya?” tanya Zahra penasaran.
“Baru-baru ini kok. Cuma aku gak pernah bilang siapa-siapa. Mamah yang urus.”
“Tapi, Lang ….” Zahra batal melanjutkan kalimatnya karena Galang sudah terlanjur keluar dan menutup pintu mobil.
Ketika lelaki itu susah payah membuka gerbang, kembali ke dalam mobil untuk memasukkan mobil itu ke garasi, Zahra sibuk dengan kemelut yang ada di pikirannya.
Zahra ragu-ragu memasuki rumah yang konon akan menjadi rumahnya dan Galang. Ruang tamu sudah dipenuhi sofa. Terdiri dari tiga kamar dengan dua kamar di lantai pertama dan satu kamar di lantai atas. Dapur luas yang didominasi warna ungu. Ada area belakang rumah yang ternyata adalah kolam renang. Zahra bergerilya ke setiap sudut rumah itu dan Galang membiarkannya.
Senang. Tapi ada perasaan sedikit khawatir pada Zahra. Ia sampai tak bisa mengungkapkannya.
“Kita temui Mamah sama Papah dulu yuk! Nando juga kayaknya ada di rumah. Ini hari libur, jadi mereka pasti gak ke mana-mana.”
Ajakan itu tak bisa ditolak oleh Zahra. Keluarga Galang sudah menjadi keluarganya juga, begitu juga sebaliknya. Pernikahan bukan hanya mengikat sepasang suami istri, tapi juga dengan keluarga masing-masing. Orang tua suami artinya orang tua istri juga. Saudara suami berarti saudara istri juga.
“Mah! Pah! Do!”
Galang menuntun Zahra masuk ke dalam rumah keluarganya. Ada hawa dingin tiba-tiba menjalari sekujur tubuh Zahra. Ia jadi ingat waktu pertama kali diperkenalkan oleh Galang ke orang tuanya. Suasana yang ia rasakan nyaris sama. Grogi bukan main.
Mamah Lia, Papah Roy, dan Nando ternyata tengah asyik berbincang di dapur. Tampak ada beragam camilan di meja yang sudah mereka habiskan. Namun, gelak tawa mereka seketika lesap ketika Galang dan Zahra menjejakkan kaki di area itu.
Zahra mendengarnya dengan jelas. Suara tawa renyah dari tiga anggota keluarga Galang sesaat sebelum mereka datang. Lesapnya tawa itu, berganti tatapan sinis, cukup memberikan Zahra peringatan bahwa suasana di sini tak baik untuknya.
Dan benar saja. Baru bertegur sapa saja, Nando sudah memilih balik ke kamarnya dengan alasan belajar. Papah Roy beralasan ada kerjaan yang harus segera ia bereskan meski ini hari libur. Hanya Mamah Lia yang tampaknya tak punya alasan untuk pergi dari sana karena ia harus segera membersihkan sampah-sampah sisa camilan di meja.
Zahra spontan membantu. Mamah Lia tak bicara. Ia biarkan Zahra melakukan apa yang bisa dilakukannya sampai meja kembali bersih tanpa noda satu pun.
“Gimana kalau malam ini kita makan malam di luar, Mah?” tanya Galang sambil memijit pundak ibunya. “Biar Mamah gak perlu masak. Anggap aja ini sebagai ajang penyambutan Zahra di rumah kita. Bagaimana, Mah?”
Mamah yang sedang mencuci piring kotor hanya diam. Membisu. Zahra yang berdiri tak jauh dari mereka serba salah. Rasanya ia seperti berubah menjadi batu, nyaris tak berdaya. Harusnya ia menawarkan diri untuk membantu Mamah mencuci piring, tapi Zahra mendadak tak punya keberanian untuk mengeluarkan sepatah suara pun.
“Acara pesta pernikahan kemarin emang gak cukup meriah untuk kalian?” celetuk Mamah. Delikan sinis yang sejenak dilemparkan pada Zahra cukup membuat perasaan Zahra bergejolak hebat. “Sudah buat malu, gaduh pernikahan, sekarang mau ada acara penyambutan segala?”
“Mah ….” Galang jelas tak terima mendengar perkataan itu. “Kok Mamah ngomongnya gitu sih?”
Mamah Lia duduk di kursi ruang makan dengan melipat dua tangan yang ia taruh di atas meja. “Gara-gara pernikahan itu, keluarga kita harus menanggung malu, Galang. Kamu tahu apa yang kerabat kita omongin ke Mamah waktu kami pulang dari acara pernikahan?”
Galang dan Zahra berdiri berdampingan seolah tengah mendapatkan penghakiman karena sebuah kesalahan fatal. Keduanya hanya bisa membisu mendengarkan Mamah bicara.
“Kenapa kalian bisa tega berselingkuh? Sampai-sampai Zahra tega mengkhianati adiknya sendiri. Apa kalian itu gak punya hati? Gak punya perasaan? Lantas, Mamah harus jawab apa? Mamah harus bagaimana? Mamah sendiri aja bingung kenapa anak Mamah sendiri sampai begitu keras kepala untuk menikah dengan kakak dari kekasihnya sendiri.”
Mamah beranjak dari kursi setelah itu. Pergi meninggalkan Zahra dan Galang di ruang dapur. Saling diam.
Saling menahan rasa sakit.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro