Bab 77 Bahas Tentang Kita
Andra ingin memastikan satu hal saja.
Bukan karena ia tak merasa lelah dan lapar sampai rela menggantikan Randu menyiapkan makanan untuk Mahira. Andra merasa harus melakukannya demi memastikan sesuatu.
Seberapa tulus ia menyukai Mahira?
“Ngapain kamu di sini?”
Mahira langsung menyambutnya dengan tampang sinis, tepat ketika ia baru saja muncul di ambang pintu kamar Mahira. Andra sampai tak bergerak sedikit pun dari sana ketika melihat perempuan itu malah turun dari ranjang dan menghampirinya.
Mahira celingukan memandang sekitar ruangan depan kamarnya. Terlihat tampak panik. Dua tangannya membentang di dua sisi pintu.
“Karyawan yang lain ada di sini dan udah pada tidur, Dra!” kata Mahira setengah berbisik. Lebih terlihat panik juga. “Gimana kalau mereka bangun dan lihat kamu di sini? Apa kata mereka nanti? Keluar sana! Keluar!”
Andra tak banyak berontak ketika Mahira mendorongnya menuruni anak tangga menuju lantai bawah. Ia hanya fokus memegang nampan di tangan. Ada beberapa wadah berisi makanan yang harus ia jaga dengan hati-hati.
“Aku bawain makanan buat kamu, Hira. Kamu laper kan tadi pas di pulau?” Andra mengurai alasan yang menurutnya cukup jitu dan dapat diterima Mahira.
“Kenapa gak minta tolong sama Citra aja sih? Ini kan tempat nginep karyawan cewek, Dra! Kamu amnesia atau apa sih?” dumel Mahira yang langsung menutup pintu Rumah Ampa tepat ketika keduanya berhasil keluar dari sana tanpa ketahuan. Itu sih yang Mahira kira dan harapkan. “Bisa-bisanya masuk tempat nginep cewek! Gak sopan!”
Andra jadi malu sendiri. Ia sampai lupa kalau hari sudah malam dan Rumah Ampa khusus karyawan perempuan itu pasti tak kosong. Maklum, beberapa kali menyambangi kamar Mahira, Rumah Ampa kan memang selalu dalam keadaan kosong. Andra jadi mengira kalau Rumah Ampa itu tak lebih dari rumah pribadi Mahira saja.
“Terus ini makanannya gimana dong? Masa gak mau kamu makan?” Andra bersikeras sambil menyodorkan nampan pada Mahira. “Kita makan bareng aja, gimana?”
Ajakan itu tak Mahira tolak. Perempuan itu bahkan tampak begitu bersemangat menyantap makanan yang dibawanya, sementara Andra sendiri yang malah tak berselera.
“Makanannya enak?” tanya Andra sekedar basa-basi. Rasanya aneh karena dari tadi mereka tak bicara.
“Enak.”
“Seenak apa?”
“Biasanya.”
“Jawabnya singkat amat?”
Mahira mendongak dengan mata nyalang. “Aku lagi makan, Dra. Orang makan gak boleh sambil ngomong. Kamu gak tahu aturan itu?”
Sialan! Andra jadi kelihatan begonya kalau begini. Semoga saja Mahira tak menangkap bahwa sekarang Andra sedang bergelung dengan pikirannya yang carut-marut. Berpusat pada Mahira dan kata-katanya yang begitu menghantui sejak tadi.
“Benarkah Mahira tak menyukaiku?” tanya Andra dalam hatinya lagi. Tak sanggup rasanya membuka suara untuk menanyakannya langsung.
Padahal biasanya Andra enteng-enteng saja mengatakan soal rasa sukanya pada Mahira. Sampai mendapatkan penolakan berulang kali pun sudah Andra rasakan. Tapi, kenapa sekarang rasanya ia begitu segan membahas hal ini? Berat sekali rasanya.
“Terima kasih buat makanannya. Enak kayak biasanya, Dra. Kecuali kerang sama jamur laut yang tadi siang kita makan.” Wajah Mahira sampai mengerut kusut.
Membayangkan makanan tadi siang yang sempat ia cicipi dengan Andra waktu di pulau tak berpenghuni itu, Mahira merasa seperti baru saja keluar dari mimpi buruk. Jangan sampai kejadian tadi terulang lagi!
“Pokoknya, jangan sampe kamu bawa aku ke tempat asing tanpa persiapan lagi, Dra! Atau aku bakal cap kamu sebagai penjahat seumur hidupku!”
Peringatan Mahira malah disenyumi oleh Andra. “Oh … kamu ngarep nih ceritanya kalau aku bawa kamu ke tempat asing kayak kemarin lagi? Suka banget kayaknya diculik sama penjahat kayak aku,” godanya begitu senang.
Mahira hanya berdecak sebal sebelum meneguk gelas minumannya. “Terserah kamu aja deh! Siap-siap aja masuk penjara kalau gitu. Beneran aku laporin kamu sebagai penculik loh nanti!”
“Penculik hatimu maksudnya?”
Kening Mahira sampai bertaut setelah mendengarnya. “Idih! Garing banget sih, Dra. Mau ngegombal ceritanya? Huh!”
Mahira memiliki banyak alasan untuk membentengi hatinya dari segala tindak-tanduk Andra kalau-kalau menunjukkan gelagat seperti tengah merayunya. Sudah bisa dipastikan semua itu akan Mahira gagalkan. Andra tak akan pernah bisa membuatnya baper, terenyuh, terpesona, atau bahkan sampai jatuh cinta.
Tak akan!
Cukup lama Andra diam. Tertunduk memandangi sisa makanannya yang masih belum ia habiskan. Selera makanannya mendadak hilang, padahal Mahira bilang masakannya ini enak. Tapi, kenapa lidahnya merasakan hal lain?
“Soal Zahra dan Galang, aku—”
“Kita bahas ini besok aja, Dra,” potong Mahira cepat. “Aku capek. Serius! Kamu emang gak capek yah bahas mereka mulu?”
Andra diam saja. Lebih tepatnya termangu memandangi Mahira yang jadi banyak bicara.
“Lagian, ngapain juga sih bahas lagi soal mereka? Gak penting banget tahu!” sambung Mahira.
Andra mengangguk setuju. “Kalau gitu, ini soal kamu sama aku.”
Mahira menaruh gelas minumannya di meja. Menatap Andra penuh waspada. “Bahas kita?”
“Iya, Ra. Bahas kita.”
Mahira terkekeh tipis. “Mau bahas apa emangnya? Aku kok ngerasa gak ada hal yang penting soal kita yang harus dibahas deh.” Ia berpikir sejenak. “Ah! Soal kapal kamu yang tenggelam itu, yah? Kalau soal itu sih …,” Mahira jadi tak enak hati baru ingat ada masalah antara ia dan Andra yang belum selesai, “kayaknya emang penting buat dibahas. Tapi, bisa kita bahasnya besok gak? Aku capek banget, Dra. Serius!”
Andra menelan salivanya dalam-dalam. Menyendok sisa makanan di piring dengan terpaksa. “Oke,” katanya singkat.
“Lanjutin aja makannya. Biar aku temenin sampai kamu beres.”
Kepala Andra mengangguk macam anak kecil yang baru saja diberikan perintah orang tuanya. Tak bisa mengelak. Menurut saja. Mulutnya seperti terkunci rapat, padahal begitu banyak hal yang ingin ia lontarkan. Tak seperti biasanya ia merasa canggung seperti ini di depan Mahira. Padahal biasanya Andra begitu mudah membalas atau menanggapi perkataan perempuan itu, bahkan sampai cekcok sekali pun ia mampu.
Kenapa sekarang ia mendadak bisu begini?
Semalaman Andra tak bisa tidur nyenyak. Kata-kata Mahira di kapal terus menghantui bersama rasa bersalah yang semakin membesar.
“Mahira. Mahira. Mahira.”
Nama itu terucap begitu saja di mulut Andra, terbayang di dalam kepalanya, terpatri di hatinya.
***
Mahira dikejutkan oleh keberadaan Andra pagi itu di depan Rumah Ampa. Lelaki itu langsung menghampirinya tepat ketika Mahira baru saja turun dari tangga rumah itu.
“Ngapain kamu di sini pagi-pagi?” tanya Mahira keheranan. Ia memandang sekitar pulau yang masih sepi dan gelap.
Andra memindai Mahira dengan saksama dari ujung kaki hingga ujung kepalanya. Balutan kerudung blouse dengan kaos dan celana panjangnya membuat Andra spontan tersenyum lebar. “Bagus! Kamu mau jogging, yah?”
Kening Mahira bertaut. “Kenapa emang? Gak usah ngintilin, yah!” tanyanya sambil memperingatkan.
Mahira perlahan berlari mencoba untuk tak peduli pada Andra. Tapi lelaki itu ternyata malah mengekorinya. Jengkel sih, tapi Mahira juga malah meladeni. Ia berusaha berpikir positif saja kalau mungkin Andra punya tujuan yang sama bangun sepagi ini dengannya.
“Dulu, apa yang bikin kamu akhirnya yakin nerima Galang dari pacarmu, Hira?”
Pertanyaan Andra itu sontak membuat langkah Mahira terhenti. Ia berkaca pinggang saat melirik Andra yang juga menghentikan langkahnya. “Ini yang mau kamu omongin semalam?”
Andra tak mengelak, tapi hanya diam saja. Melihat raut wajah Mahira yang kusut, ia tahu kalau pertanyaannya ini bukan hal yang ingin perempuan itu dengar.
“Aku gak bisa jawab pertanyaan kamu, Dra,” kata Mahira sambil menggeleng. “Bisa gak ke depannya kita hanya bahas kerjaan aja kalau ketemu? Gak usah obrolin hal pribadi, apalagi yang menyangkut Galang atau Zahra. Kamu gak capek apa bahas mereka terus? Move on dong!”
Andra membuang napas kasar. “Aku juga gak mau bahas mereka lagi, Hira. Aku tuh cuma—"
“Ya, terus kenapa jadi bahas mereka lagi kalau emang kamu gak mau?” potong Mahira cepat. “Kamu sengaja ngorek-ngorek luka orang lain? Belum cukup apa kemarin kamu hampir bikin hubungan Galang sama Zahra kacau balau? Sekarang apa lagi? Huh!”
Andra garuk-garuk kepala. Serba salah jadinya. Seharusnya ia tak mengawali pertanyaan dengan mengungkit masa lalu Mahira. Dasar bodoh!
“Ya, udah. Aku ubah pertanyaannya. Apa yang bikin kamu yakin kalau kamu beneran suka sama seseorang, Hira?” Andra hati-hati mengurai tanya. Tak boleh ada nama Galang, nama Zahra, atau bahkan sesuatu yang menyangkut keduanya dalam pembicaraanya dengan Mahira sekarang. “Maksudku, kamu punya alasan gak ketika suka sama seseorang dan kamu yakin kalau perasaan suka kamu ke orang itu tulus.”
Mahira menatap Andra penuh waspada. “Kamu … bukan mau nembak aku, kan?”
Andra tersenyum kaku.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro