Bab 75 Dia Sering Bilang Suka
“Astagfirullaah!!!”
Mahira memekik nyaring saat menyadari tangannya menggamit erat lengan Andra. Buru-buru ia melepaskan diri dan menjauh dari lelaki itu. Malu bukan main! Sampai-sampai Mahira tak bernyali untuk melirik Andra barang sedetik pun.
“Loh? Kenapa dilepasin, Mbak? Gak usah malu-malu gitu. Santai aja kali!” olok Citra yang diangguki oleh Randu dan Yogi juga.
Melihat gelagat salah tingkah Andra dan Mahira, mana mungkin ketiganya tak menaruh curiga kalau di antara dua orang yang baru saja terjebak di pulau tak berpenghuni itu tak terjadi sesuatu. Semalam. Bisa jadi, kan?
Mahira dan Andra saling bersitatap sebentar. Canggung sekali saat mengingat apa yang sudah terjadi beberapa detik yang lalu. Sungguh! Mahira tak sadar melakukannya. Semoga saja Andra tak berpikir yang macam-macam tentangnya.
Dan sungguh! Jantung Andra sampai berdetak tak karuan gara-gara gamitan tangan Mahira tadi. Beda halnya ketika semalam ia memeluk Zahra yang sama sekali tak menimbulkan debaran atau bahkan getaran apapun di hatinya. Aneh sekali.
Kalau Mahira sampai memeluk bahkan mungkin menciumnya, itu sih wajar kalau membuat Andra berdebar-bedar. Tapi, kalau hanya gara-gara sentuhan kecil seperti tadi membuat perasaannya terpengaruh, apa itu mungkin?
Perasaan Andra malah kecewa ketika Mahira akhirnya melepaskan gamitannya sambil mengucap istigfar keras sekali. Dia pikir Andra ini sejenis setan atau apa sih sampai harus mengucapkan kalimat itu segala?
“Jadi, ini pilihan lo, Dra?” tanya Randu sambil menepuk pundak Andra pelan. “Selamat, yah!”
“Awas lo kalau berubah pikiran lagi!” tuduh Yogi. “Kalau maunya sama si Mahira, yah Mahira aja. Kalau mau sama si Zahra, mending gak usah deh ngejar cewek yang udah beristri. Gue gak mau temenan sama pebinor! Aura negatif lo bisa jadi nular ke gue, Dra.”
Andra tak enak hati mau membuka suara menanggapi olokan dua sahabatnya ketika mendapati Mahira menatapnya sengit dari kejauhan. Mirip seperti seorang predator yang tengah memantau mangsanya. Cukup lama ia bungkam sampai memastikan jarak antara ia dan Mahira yang sudah berjalan lebih dulu dengan Citra.
“Udah! Udah! Bantu gue jalan aja mendingan daripada malah ngomong ngaco begini.” Andra meraih pundak Yogi dan Randu bersamaan. Sengaja mengalungkannya dengan erat hingga ketiganya harus berjalan saling bersisian.
“Ngaco darimananya coba? Justru ini obrolan serius, Bro! Ini masalah elo yang masih belum yakin milih antara milih si Zahra atau si Mahira,” balas Yogi tak terima mendapatkan tuduhan demikian.
Andra langsung membekap mulut Yogi erat. “Mending lu diem aja deh! Pusing pala gue! Gak tahu apa lo kalau gue hampir mati tenggelam tadi?”
Yogi menepis tangan Andra yang membekapnya. “Tahu! Makannya gue sama yang lain dateng ke sini buat nyelametin elo! Eh … tahunya lagi mesraan sama si Mahira setelah kemarin mesra-mesraan sama kakaknya di puncak Bukit Ampalove. Brengsek emang lo!” cecar Yogi puas sekali.
Tangan Andra sudah siap mencomot mulut sahabatnya itu, namun Yogi sudah buru-buru lari sambil menjulurkan lidah. Mengejeknya yang kepayahan berlari untuk menyusul.
“Sialan tuh anak! Nyindir gue atau apa sih? Siapa juga yang mesra-mesraan?” dumel Andra tak terima. “Iya gak, Ran?” tanyanya pada Randu yang masih mau berjalan di sampingnya.
Namun, beberapa detik kemudian lelaki itu juga ikut-ikutan melepaskan tangan Andra yang mengalung di leher. “Itu peringatan, Dra. Kalau emang lo gak mesra-mesraan sama tuh adik-kakak, terus maksud dari kebersamaan lo sama mereka apa dong?” Randu ikut-ikutan menyudutkan Andra.
“Yang kemarin itu kan lo tahu sendiri alesannya apa, Ran.” Andra mencari-cari alasan. “Cuma buat nguji si Zahra aja! Bukannya mesra-mesraan. Gue bawa misi penting!” katanya yakin. “Kalau yang sekarang ini murni ketidaksengajaan. Serius! Tadinya gue mau ajak Mahira jalan-jalan aja buat nenangin diri. Kasihan kan dia udah disakitin sama kakak plus kakak iparnya. Eh … tahunya kita malah kecelakaan. Itu juga salah si Mahira!”
“Loh? Kok ujungnya jadi salah si Mahira?”
“Dia yang bikin kapal gue tenggelam!” Panjang lebar Andra bercerita kronologi kejadian yang sebenarnya. Tak ada yang ditutup-tutupi. Bahkan soal hijab Mahira yang juga terlepas gara-gara insiden itu.
“Coba lo pikir! Mesra-mesraan dari mana coba? Sama si Zahra malah berantem dan berakhir cewek itu nangis. Sama si Mahira malah kecelakaan yang hampir aja bikin kita berdua mati. Gak ada adegan mesra-mesraan tuh!”
“Yang pegangan tangan tadi apa dong? Itu tuh yang si Mahira pegang tangan lo!” Randu mengingat kejadian tadi.
“Itu kan dia yang pegang-pegang gue. Gue gak pernah nyuruh apalagi minta. Tanya aja sama dia kalau gak percaya!”
“Tapi, lo diem aja tadi? Suka dong berarti digituin sama si Mahira?”
“Bukan karena suka sih, tapi ….”
Andra tergagap harus mmeberikan alasan apa kali ini. Ia sudah mati-matian membela diri dari tadi kalau kebersamaannya dengan Zahra dan Mahira tak mengandung unsur kemesraan sedikit pun. Kalau Andra mengaku sengaja diam saja dipegang oleh Mahira, nanti Randu bisa berpikir aneh-aneh tentangnya.
Duh! Andra harus beralasan apa kali ini?
“Tapi apa?” desak Randu.
“Gak sengaja juga kali dia. Dikiranya gue batang pohon mati atau apa gitu. Maklumlah! Habis kecelakaan! Dia mungkin agak linglung gitu sampe gak sadar udah pegang tangan gue tadi. Pas sadar langsung dia lepas, kan? Malah nyampe istigfar segala.”
“Gue nanya soal elo, bukannya si Mahira.” Randu tak menemukan jawaban yang baru saja Andra lontarkan berhubungan dengan pertanyaannya. “Gak usah ngalor-ngidul! Kenapa elo diem aja? Suka lo dipegang sama Mahira?”
Andra tersudut. Randu sulit sekali dikibuli. “Normal kan kalau gue diem aja digituin sama cewek? Gue cowok normal, Bro. Punya hawa nafsu!”
“Oh … karena hawa nafsu rupanya. Bukan karena suka?”
“Bukan lah!”
“Berarti omongan lo waktu itu cuma bualan lo doang dong?”
“Omongan yang mana?”
“Yang elo suka sama si Mahira, Dra. Gue masih inget! Waktu si Mahira jatoh di tangga pas nganterin fans lo ke bukit. Inget gak lo sama omongan lo sendiri?”
Andra garuk-garuk kepala. Mencoba mengingat-ingat perkataan Randu barusan yang bisa saja hanya sekedar bualan doang.
“Kacau lo, Dra!” gerutu Randu yang kemudian berlari cepat meninggalkan Andra. “Plin-plan banget omongan lo!” oloknya.
“Woy! Tungguin gue!” teriak Andra mencoba mencegah langkah Randu.
Sayang, Randu hanya melambaikan tangan tak peduli. Ia sudah lebih dulu menyusul Yogi, Mahira, juga Citra yang sudah menunggu di dalam kapal. Didapatinya Mahira yang tengah menggigil kedinginan berselimut kain tebal tengah menyantap makanan ringan yang diberikan oleh Citra. Wajahnya tampak pucat.
“Lo gak apa-apa, Ra?” tanya Randu khawatir.
Mahira hanya mengangguk sambil tersenyum tipis. Dipaksakan.
“Andra gak ngapa-ngapain lo, kan?” tanya Randu kemudian.
“Kagak!” Malah Yogi yang menyahut. “Tadi dia udah cerita ke gue kejadian kapal bisa tenggelam tuh kayak gimana.”
“Bukan itu maksud gue,” elak Randu cepat.
“Terus maksud pertanyaan lo tadi apa? Jangan bikin gue neti deh, Ran.” Yogi jadi memaknai lain pertanyaan Randu tadi. “Lo beneran gak apa-apa kan, Hira? Si Andra gak ngapa-ngapain elo? Maksud gue itu loh … aw!”
Randu menendang tungkai Yogi cukup keras sampai membuat lelaki itu memekik kesakitan. “Mikir apa sih lo? Otak elo aja tuh yang neti!” omel Randu pada Yogi. “Maksud gue, Andra gak bikin lo baper, kan?” tanyanya pada Mahira. “Maksud gue, dia ngelakuin hal yang bikin lo baper atau suka misalnya. Soalnya ….” Randu hati-hati melanjutkan kalimatnya.
“Soalnya apa?” potong Mahira yang berusaha ingin mengerti maksud dari pertanyaan Randu itu sebenarnya apa. Ia juga tadinya mau menjawab hal yang sama seperti Yogi.
“Soalnya gue belum yakin kalau dia beneran suka sama lo, Hira. Yah … meskipun dia pernah ngaku sih kalau dia suka sama lo,” kata Randu sambil melirik Andra yang masih berjalan tertatih mendekati kapal.
“Itu cuma perasaannya Mas Randu kali. Gimana kalau Chef Andra beneran suka sama Mbak Mahira?” sela Citra ikut angkat bicara.
“Gue sih setuju sama Randu. Tapi, gue juga setuju sama kata-katanya Citra barusan. Gue belum yakin sama perasaan dia ke elo, Hira.” Yogi tampak hati-hati bicara. “Tapi, gak menutup kemungkinan juga kan kalau dia beneran suka sama elo. Menurut lo sendiri gimana, Hira?”
Mahira tersenyum miring. “Oh … soal itu sih aku juga tahu. Dia udah bilang soal rasa sukanya itu. Sering banget! Aku sih ngiranya dia lagi ngelantur gara-gara belum bisa move on dari Kak Zahra. Kayak cuma omong kosong doang gitu. Andra juga pernah cerita deh kalau gak salah, soal dia sendiri yang sebenernya emang brengsek kayak ayah sama kakeknya. Terus kemarin juga aku sempet denger dia ngomong sendiri kalau dia masih suka sama Kak Zahra.” Mahira sampai tertawa seolah semua itu adalah hal lucu yang patut ditertawakan. “Tenang aja! Aku bisa jaga hati biar gak nyampe beneran suka sama mantan kakakku sendiri. Dia itu emang orang yang sukanya iseng kan, yah?”
Penuturan Mahira barusan berhasil membuat Randu, Yogi, bahkan Citra tak bisa berkata apapun. Tak beberapa lama kemudian Andra masuk ke dalam kapal.
“Lagi pada ngapain sih? Serius amat suasananya. Ngomongin gue, yah?”
Semua mata tertuju pada Andra sekarang. Kecuali Mahira yang spontan membenamkan diri dibalik selimut tebalnya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro