Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 72 Hampir Mati

Langkah Andra melamban bersama dengan suara derit pintu yang baru saja ia buka. Lantai rumah yang tengah ia masuki sekarang tampak jelas tak terawat. Ruangan pertama yang menyambut kedatangannya itu dipenuhi banyak potongan kayu yang entah untuk apa fungsinya. Sarang laba-laba bertebaran di mana-mana. 

Dengan hati-hati Andra melangkah. Baru saja ia tersadar jika kakinya tak beralas. Sejenak ia menoleh pada Mahira yang masih berdiri di ambang pintu. Kepalanya tertunduk, tampak menatap kakinya yang juga sama-sama telanjang dengan air mengucur dari bajunya.

Andra masih tak bicara mengenai hijab Mahira yang sepertinya terlepas saat tenggelam tadi. Perempuan itu pun tampak tak menyadari hal itu karena tak protes seperti dulu saat Arjuna dan kawan-kawan pandawa melepas hijabnya secara paksa.

“Hira,” panggil Andra lembut. “Maafin aku.”

Wajah Mahira langsung kusut. “Telat!” sinisnya.

Tapi Andra malah senang dengan reaksi itu. Ini lebih baik ketimbang mendapati Mahira bengong saja.

Mata Andra bergerilya ke sekeliling. Ia tersenyum lebar ke salah satu sudut dan cepat-cepat berjalan ke arahnya. Ada kain putih kumal menggantung di salah satu jendela. Ia menariknya dengan paksa dari jepitan gorden. 

Mahira yang memerhatikan hanya memasang wajah serius. Entah untuk apa Andra mengambil gorden kumal itu. Sementara Andra berjalan ke arahnya lagi, Mahira mengedarkan pandangan ke sekeliling rumah yang lebih mirip sebagai rumah hantu. Entah siapa yang memiliki rumah ini, termasuk pulau ini juga, sampai membiarkan begitu saja rumah besar tanpa jendela ini terbengkalai begitu saja.

“Pakai ini!”

Mahira berjingkat kaget ketika tiba-tiba Andra melilitkan kain usang tadi di kepalanya. “Apaan sih? Kotor tahu!” protesnya tak terima. Mahira jelas-jelas melihat tadi bagaimana kotornya kain gorden yang entah sejak kapan sudah berada di sana. 

Saat Mahira hendak melepas kain gorden yang Andra lilitkan sebarang di kepalanya, buru-buru Andra bicara. “Kerudung kamu gak ada.”

“Hah? Apa?”

Mahira meraba-raba kepalanya di balik kain yang masih menutupi. Ia buru-buru mengeratkan lilitan kain gorden itu di kepalanya sambil berpaling dari Andra. Malu bukan main. Bisa-bisanya ia tak sadar kalau kerudungnya terbawa arus lautan saat tadi tenggelam.

“Pakai itu untuk sementara. Nanti kita coba cari kain yang lebih bersih lagi.”

“Emang ada? Rumahnya aja kotor begini. Jendelanya juga gak ada. Kain gorden ini mungkin lupa dibawa sama pemiliknya.” Mahira malah mengomel.

“Gak ada salahnya coba nyari dulu. Masih ada satu ruangan lagi yang belum kita lihat. Mau ikut atau diem di sini?”

“Ikutlah!” Mahira nyolot. Ia menatap sekeliling dengan wajah takut. Meski masih siang hari, tetap saja rumah tak berpenghuni ini tampak begitu mengerikan.

Andra yang menangkap ketakutan di wajah perempuan itu tak bisa menahan diri untuk tersenyum. “Jangan jauh-jauh. Nanti setan penunggu tempat ini culik kamu! Aku nanti yang repot harus laporin setan mana yang culik kamu ke Polisi. Polisi juga bakalan bingung nangkap pelakunya.”

“Kamu tuh yah!”

Mahira sudah siap memukul Andra jika lelaki itu tak spontan menjauhkan diri. Berjalan cukup cepat meski dengan kaki telanjang, tampak tak takut menginjak lantai kotor rumah itu. Beda halnya dengan Mahira yang susah payah mencoba menyusul, berjalan berjinjit dengan penuh hati-hati karena takut menginjak sesuatu yang mungkin saja akan melukai telapak kakinya.

“Tungguin, Dra!”

Andra sejenak menoleh dengan seulas senyum mengembang melihat Mahira susah payah menyusulnya. Kepalanya lebih sering tertunduk menatap dasar lantai yang hendak diinjak. Andra tiba-tiba mengulurkan tangannya yang membuat langkah Mahira spontan terhenti.

“Butuh bantuan gak?”

Mahira menepis tangan Andra dengan kasar. “Aku bisa jalan sendiri!”

Andra menarik tangannya dengan masih tersenyum. Ia lewati pintu penghubung ruang tadi yang ternyata menuju area dapur. Tak ada apa pun di sana kecuali kekosongan, bahkan tak ada satu hal pun yang menurut Andra cukup bermanfaat untuk digunakan. Sehelai kain pun tak ada.

Andra membuang napas berat. Ia semakin kalut akan keadaan mereka sekarang yang tiba-tiba harus terjebak di pulau tak berpenghuni seperti ini. Mati-matian Andra menyembunyikan kekalutannya ini karena tak mau Mahira semakin panik seperti tadi.

“Gak ada apa-apa di sini. Keluar lagi aja yuk!” ajak Mahira yang kemudian diangguki Andra.

Keduanya celingukan memandang sekitar pulau asing dengan pikirannya masing-masing. Sampai tiba-tiba terdengar bunyi nyaring yang sontak saja membuat Andra dan Mahira sama-sama termenung. 

“Kita harus cari makan, Hira,” kata Andra sambil melirik Mahira yang tengah memasang wajah kusut dengan tangan spontan memegang perutnya. “Kamu tunggu di sini! Aku coba cari sesuatu di sekitar sini!”

“Ikut!”

Belum sempat Andra menyanggah lagi, Mahira sudah berjalan mendahuluinya. Melangkah tanpa tujuan dengan ia mengekori di belakang.

“Itu ada pohon kelapa, Dra! Ayo!”

Mahira tampak begitu bersemangat sampai berlari cepat menuju pohon kelapa yang ia temukan tadi. Tingginya menjulang beberapa meter di atasnya sampai Mahira harus mendongakkan kepala sembilan puluh derajat.

“Tinggi juga nih! Ayo manjat sana, Dra! Buahnya banyak tuh!” perintah Mahira yang semakin bersemangat. Bayangan menyantap buah kelapa yang baru dipetik dari pohonnya langsung membuat kerongkongannya kering.

“Aku bukan monyet, Hira.”

Mahira spontan menoleh dengan wajah kusut. “Kamu gak bisa manjat pohon?”

“Bisa. Tapi bukan pohon kelapa. Butuh keahlian khusus buat manjat pohon itu. Cari pohon yang lebih rendah aja deh! Ini terlalu tinggi! Gimana kalau pas di atas aku malah jatuh ke bawah? Kamu nanti yang repot kalau aku kecelakaan apalagi sampai patah tulang. Mana kita di tempat terpencil begini, kan?”

“Alesan!” dengkus Mahira jengkel. “Salah siapa coba kita ada di sini? Huh!”

Andra terpojok. Buru-buru ia mengambil langkah untuk meninggalkan tempat itu. Sedikit mendongak untuk mencari apakah ada sesuatu yang bisa ia petik dan makan nantinya. Pohon kelapa berjejer rapi sepanjang ia melangkah, namun tingginya nyaris sama persis. Sama-sama menjulang tinggi.

Mahira menoleh ke arah belakang. Jembatan kayu sudah tampak mengecil di pandangannya. Langkahnya spontan melambat sementara Andra masih tampak sibuk mencari sesuatu di depan sana.

“Dra! Balik aja yuk! Kita udah terlalu jauh dari rumah itu. Kalau tersesat gimana?”

Andra menghentikan langkahnya beberapa meter dari Mahira. “Mau tersesat ke mana emang? Kita tetep di pulau ini, Hira. Gampang cari jalan pulang selama kita gak masuk terlalu jauh ke dalam hutan sana,” teriaknya sambil menunjuk ke arah rimbunnya pepohonan tak jauh dari mereka.

“Terus mau nyampe kapan kita jalan gak jelas begini? Aku capek, Dra! Nyari kerang atau apa kek gitu di laut kalau emang kamu gak bisa manjat. Kamu bisa berenang, kan?”

Andra menepuk jidat. “Kenapa baru bilang sekarang sih, Hira?”

“Lah? Kamu sendiri emang gak kepikiran?”

Mana sempat Andra berpikir jernih jika kepalanya hanya diisi oleh kepanikan. Terjebak di pulau tak berpenghuni tanpa perlengkapan apa pun jelas bukan rencananya. Apalagi dirinya bukan terjebak sendirian yang tentu saja menambah beban pikiran Andra. 

Andra tak mau dikira sebagai lelaki pengecut atau tak bertanggung jawab karena membuat Mahira terjebak juga di sini. Andra akui! Ini memang salahnya. Tapi, kapal yang tenggelam tentu bukan murni kesalahannya. Mau menyalahkan Mahira tentu saja bukan solusi terbaik. Hal itu akan membuat suasana semakin panik dan keduanya pasti akan cekcok nantinya.

Andra masih bisa menahan diri untuk tak mendebat. Meski imbasnya ia kehilangan cara untuk fokus dan berpikir jernih.

“Ya, udah. Ayo cari ikan atau apa pun di laut! Biar nanti aku yang masak enak.”

Kepercayaan diri Andra perlahan muncul. Ide Mahira cukup ampuh membuatnya merasa sedikit berguna sekarang.

“Masak ikan mentah maksudnya? Aku gak suka, Dra,” keluh Mahira.

“Ya enggaklah! Pasti dimasak mateng dong!”

“Pake apa? Emang ada apinya? Ada alat-alat masaknya juga?”

Sial! Andra baru sadar kalau dia tak punya peralatan memasak lengkap sekarang.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro