Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 68 Kamu Cantik, Hira


“Kita mau ke mana, Dra?” 

Mahira mulai merasa risi oleh genggaman tangan Andra. Laki-laki itu bahkan tak menoleh sejak mereka berhasil turun dari bukit tadi. Mahira berulang kali melirik Yogi dan Andra yang mengekori. Memasang raut wajah iba untuk meminta bantuan. Tapi keduanya malah memberikan isyarat gelengan dengan jari telunjuk menyentuh bibir seolah meminta Mahira diam saja.

Langkah Andra tak tampak akan melambat. Mereka sudah melewati restoran bahkan sampai menuju bibir pantai. Yogi dan Randu mulai panik. Mereka yang tadinya bersikap tak acuh dan hanya mengekori kini berusaha menyejajarkan langkah dengan Andra yang masih menggenggam tangan Mahira erat.

“Dra, lo mau ke mana?” Yogi melirik Mahira yang tampak kepayahan berjalan diseret oleh Andra.

“Kasihan Mahira. Dia kecapean diseret sama lo!” Randu mempertegas.

Seketika langkah Andra terhenti. Ia langsung menoleh pada Mahira yang sudah memasang wajah jengkel. Segera setelah itu Mahira melepaskan diri dari genggamannya.

“Tinggalin gue sama Mahira. Gue mau ngobrol penting sama dia.”

Tanpa mendengar persetujuan keduanya, Andra kembali menggenggam tangan Mahira dan menyeretnya lagi hingga nyaris terjatuh. 

“Andra! Lepasin! Kalau kamu emang mau ngobrol sama aku, kita bisa bicara baik-baik. Gak perlu pake cara kayak gini!” protes Mahira yang tak terima diperlakukan seperti itu oleh Andra.

Tapi, genggaman tangan Andra malah semakin kuat atas protes Mahira barusan. Keduanya sudah berjalan sampai dermaga. Mahira memandangi speedboat Pak Supri yang tengah terombang-ambing tak jauh darinya. Sayangnya langkah Andra tak kunjung melamban. Sampai tiba-tiba lelaki itu mendorongnya masuk ke dalam speedboat lain yang berada tak jauh dari speedboat milik Pak Supri tadi.

Mahira tak punya cukup banyak waktu untuk menanyakan siapa pemilik speedboat ini sampai Andra mendudukkannya di kursi dalam kapal. “Ini kapal siapa, Dra? Ngapain kita di sini?” protes Mahira takut-takut. “Kamu mau ngobrol apa sampe harus ke kapal orang segala kayak gini? Kita bisa ngobrol di Rumah Ampa atau di ruang kerjaku mungkin? Gak enak kalau kita berduaan doang di tempat sepi kayak gini. Gimana kalau orang salah paham?”

Sebentar Andra menarik napas sebelum kemudian malah bangkit menuju kursi kemudi.

“Mau ngapain kamu? Katanya mau ngobrol, kan? Jadi gak? Kalau emang gak ada yang penting, aku mau balik ke Rumah Ampa!” tantang Mahira.

Selagi Mahira bicara, Andra tampak sibuk di area kokpit. Peringatannya tak digubris, Mahira sudah siap mengambil langkah untuk pergi dari sana. Tapi, baru saja ia hendak bangkit dari tempat duduknya, suara perahu menyala secara tiba-tiba yang berhasil membuat Mahira menoleh pada Andra dengan cepat.

“Andra! Kamu mau ngapain?”

Andra membalik kepalanya sambil melemparkan senyum dari kursi kokpit. “Duduk lagi. Kecuali kalau kamu mau jatoh ke laut tanpa pelampung.”

Belum sempat Mahira mencerna baik-baik peringatan Andra, perahu malah melaju perlahan. Ia sempat tersentak kaget, buru-buru berpegangan pada apapun yang dapat dijangkau tangannya. Sebelum kemudian Mahira duduk kembali di kursi penumpang.

“Dra, kita mau ke mana?” Mahira takut-takut memandangi area luar kapal yang gelap gulita. “Maksudku, sejak kapan kamu bisa nyetir kapal? Dan ini kapal siapa? Gimana kalau yang punya kapal ini nyariin? Kita haus balik ke pulau, Dra. Kita gak boleh pergi kayak gini tanpa meminta izin!”

Andra terlalu fokus memandangi lautan yang gelap gulita. Tapi untuk menghentikan laju kapal dan kembali ke dermaga pun ia enggan. Rasanya jika kembali ke pulau itu artinya ia sudah kalah telak. Meski barusan ia meninggalkan Zahra dan Galang lebih dulu secara sukarela, tetap saja rasanya seperti ia baru saja mendapat kekalahan.

“Pak Satya bisa marahin kita lagi kalau kita ketahuan gak ada di pulau, Andra!”

Andra masih tetap tak menggubris omelan Mahira. Fokusnya sudah teralihkan pada gagang kemudi kapal yang rasanya jadi asing. Padahal dulu sebelum ia bekerja di pulau, Andra sesekali menaiki kapal milik kakeknya ini.

Mahira memandangi Pulau Ampalove yang semakin mengecil di pandangannya. Sedetik kemudian, ia mengalihkan pandanganya pada Andra yang masih tak menoleh. Ada perasaan lega sebenarnya melihat pulau tak lagi tampak saat mengingat apa yang sudah terjadi beberapa saat lalu. 

Mahira merangsek mendekati Andra yang tampak serius mengemudikan kapal ini. “Dra, ayo balik ke pulau! Ini udah malem.” 

“Duduk, Hira!” perintah Andra sebagai bentuk penolakan dari ajakan wanita itu.

“Gak bisa, Dra. Kita harus balik lagi ke pulau. Kita gak bisa pergi kayak gini tanpa ada yang tahu ke mana kita akan pergi. Gimana kalau ada yang nyariin kita?”

“Itu urusan mereka!”

“Gimana kalau Pak Satya ngamuk lagi?”

“Bagus. Sekalian aja dia pecat kita.”

“Andra! Jangan becanda kayak gini dong!”

“Duduk, Hira!” Kepala Andra menoleh sebentar pada Mahira. “Nikmatin perjalanan malamnya. Aku butuh nenangin diri dulu. Setelah ini, baru kita bicara.”

“Kapan? Dimana? Kita lagi ada di atas kapal orang, Andra. Gimana kalau yang punya nyariin?”

“Yang punyanya ada di sini kok.”

“Kamu? Yang punya kapal ini?”

“Bukan aku sih, tapi kakekku.”

“Kok bisa ada di sini?”

Ah, Andra malas kalau harus mengingat kembali kejadian diirnya dan Mahira kebut-kebutan. Pencetus utama ia merengek pada kakek agar salah satu kapal pribadinya dikirim ke Pulau Ampalove demi keperluan pribadiya. Meski harus mendapatkan banyak omelan karena sudah lama tak berkabar dengan rumah, akhirnya kakeknya itu mengalah juga dan berjanji mengirimkan salah satu kapal pribadi untuknya. 

“Bisa aja.” Andra membaas singkat. “Pakai pelampung pengaman kamu!”

“Kamu anak orang kaya tapi mau kerja di pulau ini?”

“Yang kaya itu kakekku, bukan aku.”

“Kakek?”

“Ayahku juga sebenarnya. Tapi lebih kaya si kakek.”

Mahira kembali menoleh ke area pulau yang semakin tak terlihat. Ada rasa syukur juga khawatir karena kapal yang ia tumpangi saat ini terus menjauhi pulau. Tapi beberapa menit kemudian tiba-tiba mesin kapal mati. 

“Kenapa? Kok tiba-tiba mati?” Mahira panik. Takut luar biasa karena kini kapal yang ia tumpangi terombang-ambing jauh dari daratan. Apalagi ini malam hari.

Tapi, Andra malah tersenyum miring dan duduk di kursi kokpit dengan tenang. “Tunggu matahari terbit. Yang penting sekarang udah jauh dari pulau dulu.”

Kening Mahira saling bertaut. “Maksud kamu apa?”

Andra menaruh tangannya ke belakang kepalanya. “Besok kita jalan-jalan pake speedboat ini. Tunggu matahari terbit dulu. Kalau kamu mau tidur, tidur di belakang aja. Maaf gak nyaman karena gak ada selimut. Kakek sih! Malah ngirim speedboat murahan beginian, bukannya yang mewah.” Andra tiba-tiba ngedumel sendiri. “Aku mintanya si Feri, ini malah dikasihnya speedboat murahan. Kakek-kakek pelit emang! Astaga!”

Andra memekik kaget saat mendapati Mahira tiba-tiba duduk di sampingnya dengan susah payah. “Hush!” Mahira menampar pundak Andra spontan sebelum kemudian ia duduk di kursi kokpit yang lain. “Kamu gak boleh ngomong jelek ke orang tua. Meskipun murahan, dia tetep ngelaksanain kemauan kamu juga, kan?”

Andra mulanya cemberut, tapi mendengar omelan Mahira ia malah jadi ingin tersenyum. “Emang. Tapi kok tega banget ngasih rongsokan begini coba? Asal kamu tahu yah. Kakekku itu tajir melintir! Perusahaannya banyak. Tapi kalau cucunya minta ini dan itu, pasti dikasihnya yang jelek. Makannya aku sekarang milih kerja di pulau. Itu karena aku gak bisa numpang hidup sama keluargaku sendiri. Aku harus mandiri dan meraih kesuksesan sendiri.”

Mahira berpikir sejenak. “Bagus dong! Mereka didik kamu biar gak jadi anak manja kayak anak geng pandawa itu yang sukanya foya-foya.”

“Iya sih, tapi ….” 

Andra menjeda kalimatnya cukup lama ketika mendapati Mahira mendongakkan kepala seolah tengah mengintip sesuatu dari kaca depan kapal. Semakin lama ia memperhatikan wajah perempuan berhijab itu, ada desiran aneh yang merongrong ke sekujur tubuhnya. Apalagi ketika ia menangkap bulatan mata Mahira tiba-tiba beralih menatapnya. 

“Tapi apa?” tanya Mahira tiba-tiba.

“Kamu cantik banget, Hira,” ucap Anda dalam hati. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro